IKSHAN HASAN

LightBlog

Breaking

TGM

loading...
loading...

Sabtu, 07 Maret 2020

MAKALAH PRINSIP PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DAN TANGGUNG JAWAB KORPORAT (Etika Bisnis dan Profesi Akuntan)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kesuksesan perusahaan dalam memperoleh laba dan meningkatkan kemakmuran pemegang saham dipengaruhi oleh peran optimal dari banyak pihak, selain manajamen, yaitu seperti investor, kreditor, pelanggan, pemasok, masyarakat, pemerintah, dan lainnya. Kepercayaan investor dan kreditur terhadap perusahaan akan menekan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan. Kepuasaan pelanggan atas produk yang dihasilkan perusahaan akan meningkatkan penjualan perusahaan. Kerjasama yang baik dengan pemasok dapat menjamin kualitas, kontinuitas, dan harga bahan baku yang optimal. Kepedulian terhadap masyarakat akan meningkatkan respek masyarakat terhadap keberadaan dan produk perusahaan.
Ketaatan terhadap peraturan pemerintah akan menghindarkan perusahaan dari berbagai permasalahan hukum. Seluruh hubungan positif perusahaan dengan para pemangku kepentingannya memiliki dampak ekonomi yang positif pula untuk kelangsungan usaha dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan perlu untuk mengakui dan menghormati hak para pemangku kepentingannya dalam seluruh aktivitas dan pengambilan keputusan perusahaan, serta bekerjasama dengan pemangku kepentingan dalam mencapai tujuan jangka panjang bersama.
Hal tersebut ditegaskan dalam prinsip OECD ke-4 tentang peran pemangku kepentingan dalam tata kelola perusahaan yang menyatakan bahwa kerangka CG harus mengakui dan menghormati hak-hak pemangku kepentingan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan atau melalui kesepakatan bersama, dan mendorong kerjasama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kemakmuran, lapangan kerja, serta kelangsungan hidup perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Tanggung jawab korporat,  Akuntabilitas dan Pelaporan Korporat ?
2.      Bagaimana pengakuan dan penghormatan terhadap kepentingan para pemengku kepentingan ?
3.      Bagaimana peran aktif korporat dalam memberantas korupsi ?
4.      Bagaimana peran aktif korporat dalam melestarikan lingkungan ?
5.      Bagaimana penyaluran pengaduan oleh pemangku kepentingan terhadap kemungkinan pelanggaran aturan/etika oleh orang dalam korporat ?
6.      Bagaimana peran akuntan profesional ?
7.      Bagaimana pelaksanaan prinsip peran pemangku kepentingan di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan/penyusunan makalah ini adalah untuk menjelaskan hal-hal yang menjadi rumusan masalah di atas.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tanggung Jawab Korporat, Akuntabilitas dan Pelaporan Korporat
Seperti dijelaskan di atas, perusahaan/korporat memiliki tanggung jawab yang lebih luas, yaitu bukan hanya kepada para pemegang sahamnya saja, melainkan kepada seluruh pemangku kepentingan. Tanggung jawab korporat tidak hanya meningkatkan kekayaan pemegang saham, melainkan juga menjamin hak-hak pemangku kepentingan lainnya tidak dilanggar, yaitu diantaranya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab berikut ini:
1.         Menghasilkan produk yang berkualitas dan aman.
2.         Menggunakan sistem produksi yang ramah lingkungan dan menggunakan sumber daya secara efisien.
3.         Memperlakukan tenaga kerja sesuai peraturan perundang-undangan dan azas kemanusiaan, termasuk misalnya tidak mempekerjakan anak di bawah umur.
4.         Menggunakan bahan baku yang berkualitas, aman, dan tidak merusak lingkungan.
5.         Memenuhi kewajiban kepada kreditor atas dana yang ditanamkan di perusahaan.
6.         Menghindari praktik persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat merugikan masyarakat.
7.         Mentaati seluruh peraturan perundang-undangan, seperti peraturan perpajakan, serta menghindari praktik yang melanggar ketentuan yang berlaku, seperti transaksi penyelundupan, pelanggaran hak cipta, dan lainnya.
8.         Mentaati seluruh perjanjian dan/atau komitmen dengan berbagai pihak.
9.         Mengarahkan pembangunan yang bersifat berkelanjutan.
Menurut teori pemangku kepentingan, tanggung jawab korporat mencerminkan kebutuhan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan dalam menjalankan perannya sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan (Freeman dan Phillips (2002) dalam Utama, 2011). Utama (2011) menyebutkan bahwa upaya manajemen sangat mempengaruhi pemenuhan tanggung jawab korporat. Oleh sebab itu pemangku kepentingan membutuhkan informasi tentang pertanggungjawaban peran manajemen dalam memenuhi tanggung jawab korporat tersebut.
Keterbatasan akses informasi menyebabkan pemangku kepentingan tidak dapat mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab korporat. Pemangku kepentingan tidak dapat memberikan apresiasi atas perusahaan yang telah menjalankan tanggung jawab korporat dengan baik, dan memberikan hukuman atas perusahaan yang tidak memenuhinya. Kondisi ini akan menurunkan motivasi perusahaan memenuhi tanggung jawab korporat. Selain itu, keterbatasan akses informasi juga menyebabkan perusahaan dapat melakukan tindakan yang menciderai hak pemangku kepentingan. Oleh sebab itu diperlukan pengungkapan informasi upaya manajemen/perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab korporatnya (Utama, 2011).
Utama (2011) menyebutkan terdapat beberapa infrastruktur yang perlu dimiliki untuk mendukung terciptanya pelaporan tanggung jawab korporat yang transparan dan akuntabel, yaitu sebagai berikut:
1.         Standar pelaporan tanggung jawab korporat yang berterima umum sebagai acuan pelaporan;
2.         Struktur dan mekanisme tata kelola yang mendorong pelaporan tanggung jawab korporat yang akuntabel dan transparan;
3.         Pihak eksternal dan independen yang memberikan asersi atas pelaporan tanggung jawab korporat;
4.         Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban pelaporan tanggung jawab korporat; dan
5.         Tekanan publik akan praktik dan pelaporan tanggung jawab korporat

2.2 Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para pemangku Kepentingan
Sebagian kepentingan atau hak pemangku kepentingan diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Sebagian lainnya hanya diatur dalam kesepakatan bersama antara perusahaan dan pemangku kepentingan. Pemenuhan atas kepentingan atau hak pemangku kepentingan tersebut akan menghindarkan perusahaan dari permasalahan hukum dan pelanggaran terhadap kesepakatan. Oleh sebab itu perusahaan harus mengakui dan menghormati kepentingan para pemangku kepentingan tersebut.

Hal tersebut ditegaskan dalam beberapa sub-prinsip OECD ke-4. Sub-prinsip A menyatakan bahwa hak- hak pemangku kepentingan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dihormati. Sub-prinsip B menyebutkan bahwa pengakuan dan penghormatan atas hak-hak pemangku kepentingan tersebut harus disertai dengan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan jika hak-haknya tersebut dilanggar. Secara khusus, sub-prinsip C menggarisbawahi wujud penghormatan dan pengakuan peran karyawan sebagai salah satu pemangku kepentingan perusahaan melalui pengembangan mekanisme peningkatan kinerja melalui partisipasi karyawan. Demikian juga dengan sub-prinsip F yang secara khusus mengatur tentang pengakuan dan penghormatan hak kreditur melalui keberadaan kerangka penyelesaian kebangkrutan yang efektif dan efisien serta penegakan hukum yang efektif atas hak-hak kreditur.

Pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam tata kelola perusahaan diatur di sub-prinsip D, yaitu melalui jaminan akses informasi yang relevan, memadai, andal, tepat waktu, dan reguler. Di sisi lain, sub-prinsip E, bentuk pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan juga ditunjukkan oleh kebebasan pemangku kepentingan, khusunya orang dalam perusahaan, untuk mengkomunikasikan dugaan tindakan pelanggaran aturan/etika kepada pihak berwenang.
Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur hak-hak pemangku kepentingan perusahaan, yaitu diantaranya sebagai berikut (World Bank, 2010):
1.      UU PT:
a.       Kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab korporat (Pasal 74)
b.      Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris (Pasal 61, 97, dan 114) serta mengajukan pemeriksaan terhadap Perseroan (Pasal 138)
c.       Pengungkapan informasi kepada kreditur atas keputusan RUPS terkait penurunan modal dan hak kreditur untuk menolak keputusan RUPS tersebut (Pasal 44 dan 45)

2.      UU PM
a.       Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan kesalahan informasi yang disampaikan perusahaan (Pasal 80)
b.      Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran undang-undang pasar modal (Pasal 111)
c.      Kewajiban Akuntan yang terdaftar pada OJK yang memeriksa laporan keuangan Pihak-pihak yang melakukan kegiatan di bidang pasar modal, untuk menyampaikan pemberitahuan yang bersifat rahasia kepada OJK jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan perundang- undangan terkait pasar modal atau hal-hal yang membahayakan keadaan keuangan pihak yang dimaksud atau kepentingan para nasabahnya.
3.   Peraturan Bapepam-LK X.K.1 tentang keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada publik.
4.   UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur hak-hak tenaga kerja dan hubungannya dengan pemberi kerja (pengusaha/perusahaan).
5.   UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjadi dasar hukum penyelesaian sengketa pemangku kepentingan selain melalui penuntutan dan mekanisme pengadilan.
6.      UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
7.      UU No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan Peraturan Pemerintah terkait:
1.      Keterwakilan pekerja dalam Dewan Pengawas (Pasal 12 dan 13).
2.      Tanggung jawab manajemen atas kerugian dana pensiun yang disebabkan karena kelalaian manajemen (PP No. 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja dan PP No. 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan)

8.   UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
      Khusus untuk emiten atau perusahaan publik, OJK menerbitkan peraturan X.K.6 yang mengatur beberapa aspek terkait pengungkapan tanggung jawab korporat yaitu:
a.       Kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan laporan keuangan kepada OJK serta memuatnya dalam website perusahaan yang dapat diakses setiap saat;
b.      Kewajiban laporan tahunan perusahaan memuat tanggung jawab sosial perusahaan (tanggung jawab korporat). Informasi tentang tanggung jawab korporat tersebut mencakup kebijakan, jenis program, dan biaya yang dikeluarkan, antara lain terkait aspek:
a)      Lingkungan hidup, seperti penggunaan material dan energi yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, sistem pengolahan limbah perusahaan, sertifikasi di bidang lingkungan yang dimiliki, dan lain-lain.
b)      Praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan kerja, seperti kesetaraan gender dan kesempatan kerja, sarana dan keselamatan kerja, tingkat perpindahan (turnover) karyawan, tingkat kecelakaan kerja, pelatihan, dan lain-lain;
c.       Pengembangan sosial dan kemasyarakatan, seperti penggunaan tenaga kerja lokal, pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, perbaikan sarana dan prasarana sosial, bentuk donasi lainnya, dan lain-lain; dan
d.      Tanggung jawab produk, seperti kesehatan dan keselamatan konsumen, informasi produk, sarana, jumlah dan penanggulangan atas pengaduan konsumen, dan lain-lain. Emiten atau Perusahaan Publik dapat mengungkapkan informasi tersebut di atas pada laporan tahunan atau laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan kepada OJK, seperti laporan keberlanjutan (sustainability report) atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility report).

Selain berbagai ketentuan di atas, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang juga terkait dengan perlindungan hak-hak pemangku kepentingan, yaitu:
9.   UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
10. UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Pratik Usaha Tidak Sehat.
11. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 tahun 1999.
12. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pengakuan dan penghormatan atas hak pemangku kepentingan tersebut telah diakomodasi dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pemangku kepentingan mendapatkan perhatian serius dan disebutkan pada hampir seluruh bab dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Empat kelompok pemangku kepentingan menjadi fokus perhatian Pedoman Umum GCG Indonesia, yaitu karyawan, mitra bisnis, pengguna produk dan jasa, serta masyarakat. Mitra bisnis yang dimaksud dalam pedoman ini adalah pemasok, distributor, kreditur, debitur, dan pihak lainnya yang melakukan transaksi usaha dengan perusahaan.

2.3 Peran Aktif Korporat dalam Memberantas Korupsi
Korupsi merupakan salah satu tindakan kejahatan ekonomi yang luar biasa. Korupsi memiliki dampak negatif yang sangat besar dan juga sulit untuk diberantas. Korupsi merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak-hak pemangku kepentingan, khususnya masyarakat/publik karena dana yang dikorupsi merupakan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat/publik dan dikelola negara.
Tindakan kejahatan korupsi pada umumnya tidak hanya melibatkan pejabat publik, melainkan juga dunia usaha. Dunia usaha (korporat) sering kali menjadi pendorong tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Oleh sebab itu upaya pemberantasan korupsi harus mengikutsertakan peran aktif korporat. Upaya korporat dalam menghindari penyuapan akan menekan peluang pejabat publik melakukan korupsi. Korporasi juga dapat berperan aktif melaporkan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik.
Prinsip OECD tidak secara eksplisit mengatur tentang peran aktif korporat dalam memberantas korupsi. Namun demikian, sub-prinsip A dan E mengandung semangat anti korupsi yang harus dilaksanakan perusahaan. Upaya korporat dalam menghindari tindakan korupsi merupakan penghormatan korporat terhadap hak pemangku kepentingan, yaitu negara dan masyarakat (society). Sementara itu, peran aktif korporat menjadi whistleblower atas dugaan tindakan korupsi merupakan salah satu bentuk implementasi sub-prinsip E.
Peran korporat dalam memberantas korupsi juga dinyatakan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia.  Pada Bab 1 tentang Penciptaan Situasi Kondusif untuk Melaksanakan Good Corporate Governance, bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk Peranan Dunia Usaha, disebutkan bahwa dunia usaha berperan dalam mencegah terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada yang secara khusus mengatur peranan korporasi atau dunia usaha dalam memberantasi korupsi. Namun UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 tahun 1999, Pasal 20, menyebutkan bahwa korporasi dapat terlibat dalam tindakan korupsi. Korporasi melakukan tindakan korupsi jika korporasi melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri (korporasi) atau orang (korporasi) lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengelolaan/ penggunaan dana dari pemerintah yang tidak sesuai dengan peruntukannya merupakan salah satu bentuk tindakan korupsi yang dapat dilakukan oleh korporat (misalnya korporat memberikan barang/jasa yang kualitasnya lebih rendah dari spesifikasi yang telah disepakati pada harga yang sama). Tindakan korupsi oleh korporat dapat dilakukan dalam bentuk pemberian suap kepada pejabat publik untuk mempengaruhi keputusan pejabat publik sehingga mengambik keputusan yang menguntungkan korporasi namun merugikan keuangan negara (misalnya pemberian suap terkait pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintahan). Pemberian gratifikasi oleh korporasi kepada pejabat publik termasuk tindakan korupsi. Penerimaan dan pengelolaan dana hasil korupsi oleh korporat sebagai upaya tindakan pencucian uang juga termasuk rangkaian tindakan korupsi.
Uraian di atas menunjukkan korporat dapat melakukan berbagai tindakan korupsi atau mendukung tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Oleh sebab itu korporasi memegang peranan penting dalam mencegah tindakan korupsi tersebut. Peran aktif korporasi untuk tidak terlibat tindakan korupsi serta mencegah dan/atau melaporkan tindakan korupsi akan berdampak signifikan terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi.

2.4 Peran Aktif Korporasi dalam Melestarikan Lingkungan
Korporasi dihadapkan pada persaingan yang kompetitif, keterbasan sumber daya, dan tujuan perolehan laba untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Oleh sebab itu korporasi melakukan berbagai upaya yang tidak jarang memiliki dampak negatif kepada pihak lain, termasuk lingkungan. Tidak sedikit aktivitas korporasi menimbulkan kerusakan terhadap alam. Kerusakan alam tersebut pada akhir akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan mahluk hidup di dalamnya, termasuk kepada manusia. Tindakan korporasi seperti ini pada akhirnya akan mengancam kelangsung hidup alam, manusia, dan pada akhirnya perusahaan itu sendiri. Oleh sebab itu diperlukan prinsip dan upaya yang mendorong peran korporasi dalam mencegah hal tersebut. Korporasi justru harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan.

Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan secara tersirat terkandung dalam prinsip OECD ke- 4, sub-prinsip A. Lingkungan dan komunitas masyarakat dimana korporasi berada merupakan salah satu pemangku kepentingan dan menurut sub-prinsip A, seluruh hak pemangku kepentingan yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dipenuhi. Oleh sebab itu, sesuai dengan sub-prinsip A, korporasi harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan dan memberdayakan komunikasi masyarakat disekitarnya.

Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan juga tertuang dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pedoman Pokok Pelaksanaan asas Responsibilitas menyatakan bahwa perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Selain itu, pada bab tentang organ perusahaan, bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk organ Direksi, sub-bagian tanggung jawab sosial, salah satu fungsi pengelolaan perusahaan yang diemban Direksi adalah terkait dengan tanggung jawab sosial, yaitu:
1.      Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha perusahaan, Direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggung jawab sosial perusahaan;
2.      Direksi harus mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

Dalam UU PT juga terdapat beberapa pengaturan terkait peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial, yaitu sebagai berikut:
1.      Pasal 66 ayat 2 menegaskan bahwa laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan informasi minimum yang harus disajikan perusahaan dalam laporan tahunannya.
2.      BAB V secara khusus membahas tentang kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.

Selain mematuhi UU PT, peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan juga dilakukan dengan memenuhi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan lingkungan. Peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan dapat diwujudkan melalui beberapa aktivitas sebagai berikut:
1.      Penciptaan produk yang ramah lingkungan (misalnya produk yang mudah untuk didaur ulang).
2.      Penggunaan sistem produksi yang efisien dalam mengkonsumsi sumber daya (misalnya hemat bakar bakar, hemat listrik, air, dan lainnya).
3.      Penggunaan sistem pengelolaan polusi yang aman dan efektif.
4.      Penggunaan bahan baku secara efisien dan bahan baku ramah lingkungan.
5.      Pelaksanaan program restorasi sumber daya alam yang dikonsumsi dalam proses produksi (misalnya restorasi hutan atau restorasi kawasan tambang).
6.      Pemberdayaan ekonomi komunikasi dan masyarakat berbasis kemandirian dan pembangunan berkelanjutan.


2.5 Penyaluran Pengaduan oleh Pemangku Kepentingan terhadap Kemungkinan Pelanggaran Aturan/Etika oleh Orang Dalam Korporat
Berbagai skandal keuangan terbesar pada umumnya melibatkan pimpinan perusahaan dan banyak pihak yang berkolusi. Keterlibatan manajemen tingkat atas dan/atau kejahatan secara berkolusi menyebabkan sistem pengendalian internal perusahaan tidak dapat berjalan optimal. Kejahatan kerah putih tersebut pada umumnya diketahui oleh orang dalam perusahaan. Namun orang dalam yang mengetahui kejahatan tersebut akan menghadapi risiko tinggi terhadap keselamatan diri dan/atau keluarganya jika berupaya melaporkannya. Selain itu, mereka akan menghadapi kendala mencari pihak independen untuk menangani laporan mereka karena kejahatan melibatkan pimpinan puncak dan banyak pihak. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk membangun mekanisme penyaluran pengaduan oleh berbagai pihak (pemangku kepentingan) terhadap kemungkinan kejahatan dan/atau pelanggaran aturan/etika yang dilakukan oleh orang dalam korporat. Mekanisme tersebut harus menjamin independensi penanganan laporan dan menjamin keselamatan pihak pelapor.
Prinsip OECD ke-4, sub-prinsip E, menegaskan bahwa untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik, maka perlu dilakukan upaya yang memungkinkan para pemangku kepentingan, termasuk karyawan secara individu dan lembaga yang mewakilinya, dapat secara bebas mengkomunikasikan kemungkinan tindakan pelanggaran aturan/etika kepada Board (Dewan Komisaris atau lembaga yang diberi kewenangan ini, misalnya Komite Audit) dan mendapatkan perlindungan atas pelaksanaan haknya tersebut. Pelanggaran aturan/etika oleh pimpinan perusahaan memiliki dampak negatif yang sangat besar, baik bagi perusahaan maupun pemegang saham. Oleh sebab itu perusahaan dan pemegang saham seharusnya memiliki kepentingan yang sama atas penerapan prinsip ini.
Menurut OECD, di beberapa negara, peraturan perundang-undangan mendorong Dewan Komisaris untuk memberikan perlindungan kepada pihak pelapor atau whistleblower, dan memberikan akses langsung yang bersifat rahasia kepada anggota komisaris yang independen, anggota komite audit, atau komite etika. Beberapa perusahaan juga dapat mengembangkan unit yang berperan sebagai ombusman atas keluhan- keluhan yang disampaikan. Beberapa regulator juga membuat jalur telepon dan email pengaduan yang bersifat rahasia. OECD menegaskan perlindungan yang sama harus diberikan baik kepada whistleblower yang merupakan institusi maupun individu. Jika mekanisme di dalam perusahaan tidak dapat memfasilitasi mekanisme whistleblowing atau penangangan tidak dilakukan dengan memadai, maka whistleblower dapat melaporkannya kepada pejabat publik yang berwenang. Perusahaan tidak boleh melakukan tindakan hukuman atau tindakan diskriminatif terhadap whistleblower.
Pedoman Umum GCG Indonesia telah mengatur tentang whistleblower pada beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
1.      Bab 1 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan Peranan Negara, disebutkan bahwa Negara didorong memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor (whistleblower) yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain.
2.      Bab 3 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, Fungsi Pedoman Perilaku, disebutkan bahwa pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis.
3.      Bab 3 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, pelaporan atas pelanggaran dan perlindungan bagi pelapor, disebutkan bahwa:
a.       Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan bahwa pengaduan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan, diproses secara wajar dan tepat waktu;
b.      Setiap perusahaan harus menyusun peraturan yang menjamin perlindungan terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanannya, Dewan Komisaris dapat memberikan tugas kepada komite yang membidangi pengawasan implementasi GCG.

Pedoman Umum GCG Indonesia mendorong keberadaan mekanisme whistleblowing dan perlindungan terhadap whistleblower secara sukarela (voluntary) dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk menerapkannya. Namun demikian, dalam Peraturan Bapepam-LK X.K.6 disebutkan bahwa jika emiten atau perusahaan publik memiliki sistem whistleblowing, maka perusahaan wajib mengungkapkannya dalam laporan tahunan sebagai komponen dari informasi tentang tata kelola perusahaan. Informasi tentang sistem whistleblowing yang wajib diungkapkan antara lain meliputi: (a) cara penyampaian laporan pelanggaran; (b) perlindungan bagi pelapor; (c) penanganan pengaduan; (d) pihak yang mengelola pengaduan; dan (e) hasil dari penangangan pengaduan.
Saat ini belum terdapat UU yang secara khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi whistleblower. UU yang ada saat ini baru mengatur tentang perlindungan saksi dan korban secara umum, yaitu UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lebih lanjut, pada tahun 2011, terdapat beberapa aturan kesepakatan yang diterbitkan untuk memberikan perlindungan kepada whistleblower, namun hanya untuk tindak pidana tertentu, yaitu:

1.      Peraturan Bersama: (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; (2) Jaksa Agung Republik Indonesia; (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (4) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan (5) Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor: (1) M.HH-11.HM.03.02.th.2011; (2) PER-045/A/JA/12/2011; (3) 1 Tahun 2011 ; (4) KEPB-02/01-55/12/2011; dan (5) 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
2.      Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

2.6 Peran Akuntan Profesional
Akuntan profesional dapat berperan aktif dalam mewujudkan prinsip peran pemangku kepentingan, diantaranya, namun tidak terbatas pada:

1.      Mendorong pengungkapan tentang pemenuhan tanggung jawab korporat.
2.      Membangun sistem pengendalian internal perusahaan yang menjamin ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan, kontrak perjanjian, serta norma-norma yang berlaku.
3.      Membangun sistem yang menghubungkan remunerasi karyawan dengan kinerja jangka panjang perusahaan sehingga dapat meningkatkan partisipasi karyawan dalam tata kelola perusahaan.
4.      Membangun sistem informasi yang menjamin pengungkapan informasi yang tepat waktu dan andal kepada seluruh pemangku kepentingan.
5.      Membangun sistem whistleblowing yang andal dan aman bagi para pihak yang menjalankan peran sebagai whistleblower dan informatif bagi pihak berwenang untuk menindaklanjuti informasi yang diperoleh.
6.      Mendorong pengungkapan informasi yang relevan dan andal dalam kerangka penyelesaian kebangkrutan perusahaan, untuk melindungi para pemangku kepentingan, khususnya kreditur.

2.7 Pelaksanaan Prinsip Peran Pemangku Kepentingan di Indonesia
Reviu pelaksanaan prinsip peran pemangku kepentingan di Indonesia akan menggunakan hasil penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard. Tabel 2.1 mengikhtisarkan hasil penilaian Bank Dunia yang tertuang dalam Report on the Observance of Standards and Codes (ROSC) (World Bank, 2010).
Tabel 2.1
ROSC: Pelaksanaan Prinsip Peran Pemangku Kepentingan di Indonesia
Prinsip
Pencapaian
Keterbatasan




4.A
Terdapat kerangka hukum yang mengatur bahwa hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja antara perusahaan (pengusaha) dan pekerja.
Terdapat kerangka hukum yang mewajibkan Dewan memastikan pemenuhan hak dan kewajiban terkait pemangku kepentingan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kerangka CG mendorong Dewan untuk memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan, walaupun tidak diatur secara tersurat dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam parktik, perusahaan taat terhadap perjanjian kerja dengan karyawan.
Dalam praktik, perusahaan taat terhadap perjanjian dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya.



Dalam praktik, terdapat kemung- kinan pelanggaran terhadap pe- menuhan perjanjian kerja jika perjanjian kerja tersebut mem- berikan beban yang berlebihan terhadap perusahaan.








4.B




Ketentuan hukum memungkinkan pemangku kepentingan melakukan penuntutan kepada perusahaan atas pelanggaran hak-haknya.
Ketentuan hukum telah memfasilitasi mekanisme lain, selain pengadilan, yang dapat ditempuh pemangku kepentingan dalam memperjuangkan hak-haknya.
Ketentuan hukum memungkinkan Dewan dimintai pertanggungjawaban dan/atau dituntut secara pidana atas pelanggaran terhadap hak pemangku kepentingan yang dilakukannya.
Ketentuan hukum memungkinkan pemangku kepentingan menuntut pe- langgaran atas hak memperoleh informasi yang diatur dalam peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
Dalam praktik, tidak banyak ditemukan pemangku kepent- ingan yang menuntut ke pen- gadilan atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan terha- dap hak-haknya.
Sistem pengendalian lebih bi- rokratis, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian kasus, serta membutuhkan bi- aya yang tinggi.
Dalam praktik, mekanisme selain pengadilan, tidak ban- yak digunakan oleh para pe- mangku kepentingan dalam mencari keadilan.
Pedoman Umum GCG In- donesia mendorong perusa- haan untuk mengembangkan whistleblowing system, namun karena pedoman ini bersifat sukarela, maka penerapannya belum banyak dilakukan.

Prinsip
Pencapaian
Keterbatasan





4.C
Tidak terdapat ketentuan hukum yang melarang perusahaan menghubung- kan remunerasi karyawan dengan kinerja perusahaan dan dalam praktik hal ini dilakukan perusahaan, baik sebagai kebijakan perusahaan maupun ter- masuk dalam kontrak kerja antara perusahaan dan karyawan.
Tidak terdapat ketentuan hukum yang melarang perusahaan memberikan insentif kepada karyawan melalui pemberian saham perusahaan dan dalam praktik ditemukan beberapa perusahaan go public yang memiliki program ESOP.
Pemberian saham kepada karyawan harus melalui persetujuan pemegang saham.
Karyawan yang memiliki saham perusahaan memperoleh hak yang sama seperti pemegang saham lainnya.
Ketentuan hukum mewajibkan pengelolaan dana pensiun dilakukan oleh pihak yang independen dari perusahaan. Pihak independen tersebut diwa- jibkan bertindak sesuai dengan kepentingan karyawan, menghindari konflik kepentingan, dan bertanggung jawab penuh atas kegagalan dalam melak- sanakan tanggung jawabnya.



4.D

Ketentuan hukum mendorong perusahaan mengungkapkan informasi material kepada para pemangku kepentingan.
Peran serta kreditur dalam tata kelola masih terbatas, misalnya ditunjukkan oleh ketentuan yang hanya mewajibkan pelaksanaan rapat tahunan kreditur pada pe- rusahaan yang mengalami finan- cial distress.







4.E

Tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan perusahaan memiliki sistem whistleblow- ing (kewajiban untuk memili- ki kebijakan yang melindungi karyawan yang berperan se- bagai whistleblower atas tinda- kan pelanggaran yang dilaku- kan oleh Dewan dan/atau ma- najemen puncak)
Walaupun terdapat ketentuan hukum yang melindungi kor- ban dan saksi, serta terdapat perlindungan tambahan untuk pelapor kasus korupsi dan pen- cucian uang, namun belum ter- dapat ketentuan hukum yang mengatur khusus tentang whis- tleblower.




4.F
Ketentuan hukum telah mengatur tentang hak masing-masing kelompok kreditur pada saat perusahaan mengalami kebangkrutan.
Ketentuan hukum telah mengatur tentang restrukturisasi utang.
Ketentuan hukum telah semakin baik berupaya agar penyelesaian restrukturisasi dan likuidasi dilakukan dalam waktu yang lebih  cepat  dan tidak berbiaya tinggi.
Dalam praktik, kreditur berpartisipasi dalam proses restrukturisasi perusahaan bermasalah.
Dalam praktik, kreditur juga dapat menyita jaminan atas pinjaman yang dilakukan perusahaan.


Berdasarkan Strength of Legal Rights Index yang dikeluarkan oleh World Bank, Indonesia masih termasuk negara dengan hak hukum kreditur yang lemah. Indonesia mendapatkan skor
5 dari skala 0-10. (http://data. worldbank.org)



Hasil lain dari penilaian oleh IICD-ASEAN CG Scorecard (2012-2013) menunjukkan rerata skor penerapan prinsip OECD ke-4 pada perusahaan Indonesia adalah 52,2 pada tahun 2012 dan 58,5 pada tahun 2013.

Dibandingkan prinsip lain, dispersi skor penerapan prinsip ke-4 ini juga sangat lebar. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa perusahaan secara ekstensif mengungkapkan kebijakan dan program terkait pemangku kepentingannya, sedangkan beberapa perusahaan lainnya justru sangat sedikit mengungkapkan informasi yang sama dalam laporan tahunan atau website perusahaannya. Temuan ini merupakan catatan penting bagi regulator, mengingat UU PT dan peraturan OJK mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan dalam laporan tahunannya.

IICD-ASEAN CG Scorecard mengidentifikasi beberapa praktik tanggung jawab sosial perusahaan yang lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan go public di Indonesia, yaitu:
1.      Kebijakan dan aktivitas terkait interaksi dengan komunitas;
2.      Kebijakan terkait kesehatan, keamanan, dan kemakmuran karyawan;
3.      Kebijakan terkait program pelatihan dan pengembangan karyawan; dan
4.      Pengungkapan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan sebagai salah satu bagian dalam laporan tahunan perusahaan.

IICD-ASEAN CG Scorecard juga mengidentifikasi beberapa tanggung jawab sosial perusahaan yang belum banyak dilakukan perusahaan-perusahaan go public di Indonesia, yaitu:
1.      Kebijakan dan aktivitas dalam proses seleksi pemasok;
2.      Kebijakan dan aktivitas anti korupsi; dan
3.      Mekanisme whistle-blowing.

ASEAN CG Scorecard
Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian praktik CG untuk prinsip peran pemangku kepentingan di perusahaan terbuka dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard:

Tebel 2.2
ASEAN CG Scorecard: Peran Pemangku Kepentingan
No.
Item Penilaian
Kriteria Penilaian
1
Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan


Apakah perusahaan mengungkapkan kebijakan yang:

1.1
Menjelaskan keberadaan dan ruang lingkup upaya perusahaan untuk menangani aspek kesehatan dan keselamatan pelanggan
Ya: 1
Tidak: 0
1.2
Menjelaskan praktik seleksi pemasok?
Ya: 1
Tidak: 0
1.3
Menjelaskan upaya perusahaan untuk menjamin bahwa proses bisnis perusahaan bersifat ramah lingkungan atau konsisten dengan upaya pembangunan berkelanjutan?
Ya: 1
Tidak: 0
1.4
Menjelaskan upaya perusahaan dalam membangun interaksi dengan komunitas di sekitar perusahaan beroperasi?
Ya: 1
Tidak: 0
1.5
Mengatur tentang program dan prosedur anti-korupsi yang dimiliki perusahaan?
Ya: 1
Tidak: 0
1.6
Menjelaskan perlindungan terhadap hak-hak kreditur?
Ya: 1
Tidak: 0

Apakah perusahaan mengungkapan aktivitas yang telah dilakukan dalam rangka mengimplementasikan kebijakan di atas?

Berlanjut...

No.
Item Penilaian
Kriteria Penilaian
1.7
Kesehatan dan keselamatan pelanggan
Ya: 1
Tidak: 0
1.8
Kriteria dan proses seleksi pemasok
Ya: 1
Tidak: 0
1.9
Proses bisnis yang ramah lingkungan
Ya: 1
Tidak: 0
1.10
Interaksi dengan komunitas
Ya: 1
Tidak: 0
1.11
Program dan prosedur anti korupsi
Ya: 1
Tidak: 0
1.12
Hak-hak kreditur
Ya: 1
Tidak: 0
1.13
Apakah perusahaan memiliki laporan tanggung jawab sosial tersendiri atau laporan keberlanjutan tersendiri?
Ya: 1
Tidak: 0

2
Ketika kepentingan pemangku kepentingan dilindungi oleh hukum, pemangku kepentingan memiliki kesempatan untuk melakukan penuntutan terhadap pelanggaran atas hak-haknya


2.1
Apakah perusahaan menyediakan informasi tentang jalur pengaduan (pihak yang dapat dihubungi) di halaman website atau laporan tahunan perusahaan, yang dapat digunakan oleh pemangku kepentingan untuk menyampaikan pendapat dan/atau keluhan atas kemungkinan pelanggaran hak-hak mereka?

Ya: 1
Tidak: 0
3
Mekanisme peningkatan kinerja melalui partisipasi pekerja dimungkinkan untuk dikembangkan

3.1
Apakah perusahaan secara eksplisit mengungkapkan kebijakan terkait kesehatan, keselamatan kerja, serta kesejahteraan karyawannya?
Ya: 1
Tidak: 0
3.2
Apakah perusahaan mempublikasikan data terkait kesehatan, keselamatan kerja, serta kesejahteraan karyawannya?
Ya: 1
Tidak: 0
3.3
Apakah perusahaan memiliki program pelatihan dan pengembangan untuk karyawannya?
Ya: 1
Tidak: 0
3.4
Apakah perusahaan mempublikasikan data tentang program pelatihan dan pengembangan untuk karyawannya?
Ya: 1
Tidak: 0
3.5
Apakah kebijakan remunerasi/kompensasi perusahaan mempertimbangkan ukuran kinerja keuangan perusahaan selain yang bersifat jangka pendek?
Ya: 1
Tidak: 0

4
Pemangku kepentingan, termasuk karyawan individu dan lembaga yang mewakilinya, dapat secara bebas mengkomunikasikan kemungkinan tindakan pelanggaran aturan/ etika kepada dewan komisaris dan mendapatkan perlindungan atas pelaksanaan haknya tersebut


4.1
Apakah perusahaan memiliki prosedur untuk mengakomodasi laporan karyawan atas dugaan tindakan yang melanggar ketentuan hukum (termasuk korupsi) dan tindakan tidak etis?
Ya: 1
Tidak: 0
4.2
Apakah perusahaan memiliki kebijakan atau prosedur untuk melindungi karyawan/orang yang melaporkan tindakan pelanggaran hukum atau tindakan tidak etis dari ancaman?
Ya: 1
Tidak: 0

Selain unsur penilaian di atas, terdapat juga unsur penalti sebagai berikut:

Tabel 2.3
ASEAN CG Scorecard: Peran Pemangku Kepentingan – Penalti
No.
Item Penilaian
Kriteria Penilaian
1
Pengakuan dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan

1.1
Apakah pernah terdapat pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan terkait pekerja/ketenagakerjaan/ pelanggan/kebangkrutan/komersial/kompetisi atau lingkungan?
Ya: Pengurangan nilai Tidak: 0

2
Ketika pemangku kepentingan berpartisipasi dalam proses tata kelola, pemangku  kepentingan tersebut memiliki akses terhadap informasi yang relevan, memadai, dan dapat diandalkan secara tepat waktu dan reguler


2.1
Apakah perusahaan pernah memperoleh sanksi dari regulator karena kegagalan perusahaan dalam mengumumkan informasi atas kejadian material pada rentang periode yang diwajibkan?
Ya: Pengurangan nilai Tidak: 0















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Ketaatan terhadap peraturan pemerintah akan menghindarkan perusahaan dari berbagai permasalahan hukum. Seluruh hubungan positif perusahaan dengan para pemangku kepentingannya memiliki dampak ekonomi yang positif pula untuk kelangsungan usaha dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan perlu untuk mengakui dan menghormati hak para pemangku kepentingannya dalam seluruh aktivitas dan pengambilan keputusan perusahaan, serta bekerjasama dengan pemangku kepentingan dalam mencapai tujuan jangka panjang bersama.



















DAFTAR PUSTAKA

ACMF, ASEAN Corporate governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/ upload/asean_ cg_scorecard.pdf
ACMF-ADB, ASEAN Corporate governance Scorecard: Country Report and Assessments 2012- 2013, http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-and- assessments-2012-2013
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate governance
Indonesia, http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006 id.pdf.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernance principles/31557724. pdf.
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja
Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan
Peraturan Bapepam-LK No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan kepada Publik.
Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 tentangKewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik.
Peraturan Bersama: (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; (2) Jasa Agung Republik Indonesia; (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (4) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan (5) Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor: (1) M.HH-11.HM.03.02.th.2011; (2) PER-045/A/JA/12/2011; (3) 1 Tahun 2011 ;
(4) KEPB-02/01-55/12/2011; dan (5) 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Undang-Undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Praktik Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Revisi atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Utama, S., 2010, An evaluation of support infrastructures on corporate responsibility reporting in Indonesia, Asia Business & Management Vol 10 No. 3, 405-424.
World Bank, 2010, Report on Observance Standards and Codes: Corporate governance Country Assessment:Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan http://www. worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf.
World Bank, Strength of Legal Rights Index, http://data.worldbank.org/indicator/IC.LGL. CRED.XQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel