BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesuksesan perusahaan dalam
memperoleh laba dan meningkatkan kemakmuran pemegang saham dipengaruhi oleh
peran optimal dari banyak pihak, selain manajamen, yaitu seperti investor, kreditor,
pelanggan, pemasok, masyarakat, pemerintah, dan lainnya.
Kepercayaan investor dan kreditur terhadap perusahaan akan menekan biaya
modal yang harus ditanggung perusahaan. Kepuasaan pelanggan atas produk yang
dihasilkan perusahaan akan meningkatkan penjualan perusahaan. Kerjasama yang
baik dengan pemasok dapat
menjamin kualitas, kontinuitas, dan harga bahan
baku yang optimal.
Kepedulian terhadap masyarakat akan meningkatkan respek masyarakat terhadap keberadaan dan produk perusahaan.
Ketaatan terhadap peraturan pemerintah akan menghindarkan
perusahaan dari berbagai permasalahan hukum.
Seluruh hubungan positif
perusahaan dengan para pemangku kepentingannya memiliki dampak
ekonomi yang positif pula untuk
kelangsungan usaha dan pencapaian tujuan
jangka panjang perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan perlu untuk mengakui
dan menghormati hak para pemangku
kepentingannya dalam seluruh aktivitas dan pengambilan keputusan
perusahaan, serta bekerjasama dengan pemangku kepentingan dalam mencapai tujuan
jangka panjang bersama.
Hal tersebut ditegaskan dalam prinsip OECD ke-4
tentang peran pemangku
kepentingan dalam tata kelola perusahaan yang menyatakan bahwa kerangka CG harus mengakui
dan menghormati hak-hak
pemangku kepentingan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan atau melalui kesepakatan bersama, dan
mendorong kerjasama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam
menciptakan kemakmuran, lapangan kerja, serta kelangsungan hidup perusahaan.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Tanggung jawab korporat, Akuntabilitas dan Pelaporan Korporat ?
2.
Bagaimana pengakuan dan penghormatan terhadap kepentingan
para pemengku kepentingan ?
3.
Bagaimana peran aktif korporat dalam memberantas korupsi
?
4.
Bagaimana peran aktif korporat dalam melestarikan
lingkungan ?
5.
Bagaimana penyaluran pengaduan oleh pemangku kepentingan
terhadap kemungkinan pelanggaran aturan/etika oleh orang dalam korporat ?
6.
Bagaimana peran akuntan profesional ?
7.
Bagaimana pelaksanaan prinsip peran pemangku kepentingan
di Indonesia?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan/penyusunan makalah
ini adalah untuk menjelaskan hal-hal yang menjadi rumusan masalah di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Tanggung Jawab Korporat, Akuntabilitas dan Pelaporan Korporat
Seperti dijelaskan di atas,
perusahaan/korporat memiliki tanggung jawab yang lebih luas, yaitu bukan hanya kepada
para pemegang sahamnya saja, melainkan kepada
seluruh pemangku kepentingan. Tanggung jawab korporat
tidak hanya meningkatkan kekayaan pemegang saham,
melainkan juga menjamin
hak-hak pemangku kepentingan lainnya tidak dilanggar, yaitu diantaranya diwujudkan
dalam bentuk tanggung jawab berikut ini:
1.
Menghasilkan produk yang berkualitas dan aman.
2.
Menggunakan sistem produksi
yang ramah lingkungan dan menggunakan sumber
daya secara efisien.
3.
Memperlakukan tenaga kerja
sesuai peraturan perundang-undangan dan azas kemanusiaan, termasuk misalnya tidak mempekerjakan anak di bawah
umur.
4.
Menggunakan bahan baku yang berkualitas, aman, dan tidak merusak lingkungan.
5.
Memenuhi kewajiban kepada kreditor atas dana yang ditanamkan di perusahaan.
6.
Menghindari praktik persaingan usaha yang tidak
sehat yang dapat
merugikan masyarakat.
7.
Mentaati seluruh peraturan perundang-undangan, seperti peraturan
perpajakan, serta menghindari praktik yang melanggar ketentuan yang berlaku,
seperti transaksi penyelundupan, pelanggaran hak
cipta, dan lainnya.
8.
Mentaati seluruh perjanjian dan/atau komitmen dengan
berbagai pihak.
9.
Mengarahkan pembangunan yang bersifat
berkelanjutan.
Menurut teori pemangku
kepentingan, tanggung jawab korporat mencerminkan kebutuhan pemangku
kepentingan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan dalam menjalankan perannya
sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan (Freeman dan Phillips (2002) dalam
Utama, 2011). Utama (2011)
menyebutkan bahwa upaya
manajemen sangat mempengaruhi pemenuhan tanggung jawab
korporat. Oleh sebab itu pemangku kepentingan membutuhkan informasi tentang
pertanggungjawaban peran manajemen dalam memenuhi tanggung jawab
korporat tersebut.
Keterbatasan akses
informasi menyebabkan pemangku kepentingan tidak
dapat mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab korporat. Pemangku kepentingan tidak dapat memberikan apresiasi atas
perusahaan yang telah menjalankan tanggung jawab korporat dengan baik, dan memberikan hukuman
atas perusahaan yang
tidak memenuhinya. Kondisi
ini akan menurunkan motivasi perusahaan memenuhi tanggung jawab korporat. Selain itu, keterbatasan akses informasi juga menyebabkan perusahaan dapat
melakukan tindakan yang menciderai hak pemangku kepentingan. Oleh sebab
itu diperlukan pengungkapan informasi upaya manajemen/perusahaan dalam melaksanakan
tanggung jawab korporatnya (Utama, 2011).
Utama (2011) menyebutkan
terdapat beberapa infrastruktur yang perlu dimiliki untuk mendukung terciptanya
pelaporan tanggung jawab korporat yang transparan dan akuntabel, yaitu sebagai
berikut:
1.
Standar pelaporan tanggung jawab korporat yang berterima
umum sebagai acuan pelaporan;
2.
Struktur dan mekanisme tata kelola yang mendorong
pelaporan tanggung jawab korporat yang akuntabel dan transparan;
3.
Pihak eksternal dan independen yang memberikan asersi
atas pelaporan tanggung jawab korporat;
4.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban
pelaporan tanggung jawab korporat; dan
5.
Tekanan publik akan praktik dan pelaporan tanggung jawab
korporat
2.2 Pengakuan dan Penghormatan
terhadap Kepentingan Para pemangku Kepentingan
Sebagian kepentingan atau hak pemangku kepentingan diatur dalam
ketentuan peraturan perundang- undangan. Sebagian lainnya
hanya diatur dalam kesepakatan bersama
antara perusahaan dan pemangku
kepentingan. Pemenuhan atas kepentingan atau hak pemangku kepentingan tersebut akan menghindarkan perusahaan dari
permasalahan hukum dan pelanggaran terhadap
kesepakatan. Oleh sebab
itu perusahaan harus mengakui
dan menghormati kepentingan para pemangku kepentingan tersebut.
Hal tersebut ditegaskan dalam
beberapa sub-prinsip OECD ke-4. Sub-prinsip A menyatakan bahwa
hak- hak pemangku kepentingan yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau melalui
kesepakatan bersama harus
dihormati. Sub-prinsip B menyebutkan bahwa
pengakuan dan penghormatan atas hak-hak pemangku
kepentingan tersebut harus disertai dengan kepastian hukum bagi pemangku
kepentingan jika hak-haknya tersebut dilanggar. Secara khusus, sub-prinsip C menggarisbawahi wujud penghormatan dan pengakuan peran
karyawan sebagai salah satu pemangku kepentingan perusahaan melalui
pengembangan mekanisme peningkatan kinerja melalui partisipasi karyawan.
Demikian juga dengan sub-prinsip F yang secara
khusus mengatur tentang
pengakuan dan penghormatan hak kreditur melalui keberadaan kerangka penyelesaian kebangkrutan yang efektif dan efisien serta
penegakan hukum yang efektif
atas hak-hak kreditur.
Pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam tata kelola perusahaan diatur di sub-prinsip D, yaitu
melalui jaminan akses
informasi yang relevan, memadai, andal, tepat
waktu, dan reguler. Di sisi lain,
sub-prinsip E, bentuk
pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan juga ditunjukkan oleh kebebasan
pemangku kepentingan, khusunya orang dalam perusahaan, untuk mengkomunikasikan
dugaan tindakan pelanggaran aturan/etika kepada pihak berwenang.
Berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia telah mengatur hak-hak pemangku kepentingan
perusahaan, yaitu diantaranya sebagai berikut (World Bank, 2010):
1.
UU PT:
a.
Kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab korporat (Pasal 74)
b.
Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang
disebabkan oleh tindakan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris (Pasal 61, 97,
dan 114) serta mengajukan pemeriksaan terhadap Perseroan (Pasal 138)
c. Pengungkapan informasi kepada kreditur atas
keputusan RUPS terkait penurunan modal dan hak kreditur untuk menolak keputusan
RUPS tersebut (Pasal 44 dan 45)
2.
UU PM
a.
Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan
atas kerugian yang disebabkan kesalahan informasi yang disampaikan perusahaan (Pasal 80)
b.
Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang
disebabkan oleh pelanggaran undang-undang pasar
modal (Pasal 111)
c.
Kewajiban Akuntan yang
terdaftar pada OJK yang memeriksa laporan keuangan Pihak-pihak yang melakukan kegiatan di bidang pasar modal, untuk menyampaikan pemberitahuan yang bersifat rahasia kepada
OJK jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan perundang- undangan terkait
pasar modal atau hal-hal
yang membahayakan keadaan
keuangan pihak yang dimaksud atau kepentingan para nasabahnya.
3. Peraturan Bapepam-LK X.K.1
tentang keterbukaan informasi yang harus segera
diumumkan kepada publik.
4. UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur hak-hak tenaga kerja dan hubungannya dengan pemberi kerja (pengusaha/perusahaan).
5. UU No. 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjadi dasar
hukum penyelesaian sengketa pemangku kepentingan selain melalui penuntutan dan
mekanisme pengadilan.
6.
UU No. 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
7.
UU No. 11 tahun 1992 tentang
Dana Pensiun dan Peraturan Pemerintah terkait:
1.
Keterwakilan pekerja dalam
Dewan Pengawas (Pasal
12 dan 13).
2.
Tanggung jawab manajemen atas kerugian dana pensiun yang disebabkan
karena kelalaian manajemen (PP No. 76
tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja dan PP No. 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga
Keuangan)
8. UU No. 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Khusus untuk emiten atau perusahaan publik, OJK menerbitkan
peraturan X.K.6 yang mengatur beberapa aspek terkait pengungkapan tanggung
jawab korporat yaitu:
a.
Kewajiban Emiten atau Perusahaan
Publik menyampaikan laporan keuangan kepada OJK serta memuatnya dalam website perusahaan yang dapat diakses
setiap saat;
b.
Kewajiban laporan tahunan perusahaan memuat tanggung jawab sosial
perusahaan (tanggung jawab korporat). Informasi tentang tanggung jawab
korporat tersebut mencakup
kebijakan, jenis program, dan biaya yang dikeluarkan, antara
lain terkait aspek:
a) Lingkungan hidup, seperti
penggunaan material dan energi yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang,
sistem pengolahan limbah
perusahaan, sertifikasi di bidang lingkungan yang dimiliki, dan lain-lain.
b) Praktik ketenagakerjaan,
kesehatan, dan keselamatan kerja, seperti kesetaraan gender dan kesempatan kerja, sarana dan keselamatan kerja, tingkat
perpindahan (turnover) karyawan,
tingkat kecelakaan kerja, pelatihan, dan lain-lain;
c.
Pengembangan sosial dan kemasyarakatan, seperti penggunaan tenaga kerja
lokal, pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, perbaikan sarana dan
prasarana sosial, bentuk donasi lainnya, dan lain-lain; dan
d.
Tanggung jawab produk, seperti
kesehatan dan keselamatan konsumen, informasi produk,
sarana, jumlah dan penanggulangan atas pengaduan konsumen, dan lain-lain. Emiten atau Perusahaan Publik
dapat mengungkapkan informasi tersebut di atas pada laporan tahunan atau
laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan kepada
OJK, seperti laporan keberlanjutan (sustainability
report) atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility report).
Selain berbagai ketentuan di atas, terdapat beberapa
peraturan perundang-undangan lainnya yang juga terkait dengan perlindungan
hak-hak pemangku kepentingan, yaitu:
9. UU No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
10. UU No. 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli
dan Pratik Usaha Tidak Sehat.
11. UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan UU No. 20 tahun 2001 yang
mengubah UU No. 31 tahun 1999.
12. UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pengakuan dan penghormatan atas hak pemangku kepentingan tersebut telah diakomodasi dalam Pedoman
Umum GCG Indonesia.
Pemangku kepentingan mendapatkan perhatian serius dan disebutkan pada hampir seluruh
bab dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Empat
kelompok pemangku kepentingan menjadi fokus perhatian Pedoman Umum GCG Indonesia, yaitu karyawan, mitra bisnis, pengguna produk dan jasa,
serta masyarakat. Mitra bisnis yang
dimaksud dalam
pedoman ini adalah pemasok, distributor, kreditur, debitur, dan pihak lainnya yang melakukan
transaksi usaha dengan perusahaan.
2.3 Peran Aktif Korporat dalam Memberantas Korupsi
Korupsi merupakan salah satu
tindakan kejahatan ekonomi yang luar biasa. Korupsi memiliki dampak negatif yang sangat besar
dan juga sulit
untuk diberantas. Korupsi
merupakan salah satu
bentuk pelanggaran hak-hak pemangku
kepentingan, khususnya masyarakat/publik karena dana yang dikorupsi merupakan sumber daya yang dimiliki
oleh masyarakat/publik dan dikelola negara.
Tindakan kejahatan korupsi pada umumnya tidak
hanya melibatkan pejabat
publik, melainkan juga dunia
usaha. Dunia usaha (korporat) sering kali menjadi pendorong tindakan korupsi
yang dilakukan oleh pejabat publik. Oleh
sebab itu upaya
pemberantasan korupsi harus
mengikutsertakan peran aktif
korporat. Upaya korporat dalam menghindari penyuapan akan menekan peluang
pejabat publik melakukan korupsi. Korporasi juga dapat
berperan aktif melaporkan tindakan korupsi yang
dilakukan oleh pejabat
publik.
Prinsip OECD tidak secara
eksplisit mengatur tentang
peran aktif korporat
dalam memberantas korupsi. Namun
demikian, sub-prinsip A dan E mengandung semangat anti korupsi yang
harus dilaksanakan perusahaan. Upaya korporat
dalam menghindari tindakan korupsi merupakan penghormatan korporat terhadap hak pemangku kepentingan, yaitu negara dan masyarakat (society). Sementara
itu, peran aktif korporat menjadi whistleblower atas dugaan tindakan korupsi merupakan salah
satu bentuk implementasi sub-prinsip E.
Peran korporat dalam memberantas
korupsi juga dinyatakan dalam Pedoman Umum GCG
Indonesia. Pada Bab 1 tentang
Penciptaan Situasi Kondusif
untuk Melaksanakan Good Corporate
Governance, bagian Pedoman
Pokok Pelaksanaan untuk Peranan
Dunia Usaha, disebutkan bahwa dunia usaha berperan dalam mencegah terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada yang secara khusus
mengatur peranan korporasi atau dunia usaha dalam memberantasi korupsi. Namun UU No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 tahun 1999, Pasal 20, menyebutkan
bahwa korporasi dapat terlibat dalam tindakan korupsi. Korporasi melakukan
tindakan korupsi jika korporasi melakukan perbuatan melawan hukum untuk
memperkaya diri (korporasi) atau orang (korporasi) lain yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Pengelolaan/
penggunaan dana dari
pemerintah yang tidak
sesuai dengan peruntukannya merupakan salah satu
bentuk tindakan korupsi yang dapat dilakukan
oleh korporat (misalnya korporat memberikan barang/jasa yang kualitasnya lebih rendah
dari spesifikasi yang telah disepakati pada harga yang sama). Tindakan
korupsi oleh korporat dapat
dilakukan dalam bentuk
pemberian suap kepada
pejabat publik untuk
mempengaruhi keputusan pejabat publik sehingga mengambik keputusan yang
menguntungkan korporasi namun merugikan keuangan negara (misalnya pemberian
suap terkait pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintahan). Pemberian
gratifikasi oleh korporasi kepada pejabat publik termasuk tindakan korupsi. Penerimaan dan pengelolaan dana hasil korupsi
oleh korporat sebagai
upaya tindakan pencucian uang juga termasuk
rangkaian tindakan korupsi.
Uraian di atas menunjukkan korporat
dapat melakukan berbagai tindakan korupsi atau
mendukung tindakan korupsi yang
dilakukan oleh pejabat
publik. Oleh sebab
itu korporasi memegang peranan penting
dalam mencegah tindakan korupsi tersebut. Peran aktif korporasi untuk tidak
terlibat tindakan korupsi serta mencegah dan/atau
melaporkan tindakan korupsi
akan berdampak signifikan terhadap upaya-upaya
pemberantasan korupsi.
2.4 Peran Aktif Korporasi dalam
Melestarikan Lingkungan
Korporasi dihadapkan pada persaingan yang kompetitif, keterbasan sumber daya, dan tujuan perolehan laba untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Oleh
sebab itu korporasi melakukan berbagai upaya yang tidak jarang memiliki dampak negatif kepada
pihak lain, termasuk
lingkungan. Tidak sedikit
aktivitas korporasi menimbulkan kerusakan terhadap alam. Kerusakan alam tersebut pada akhir akan berpengaruh
buruk terhadap lingkungan dan mahluk hidup
di dalamnya, termasuk kepada manusia. Tindakan korporasi seperti ini pada
akhirnya akan mengancam kelangsung hidup alam,
manusia, dan pada
akhirnya perusahaan itu sendiri. Oleh sebab itu diperlukan prinsip
dan upaya yang
mendorong peran korporasi dalam mencegah hal tersebut. Korporasi justru harus
berperan aktif dalam
melestarikan lingkungan.
Peran aktif korporasi dalam
melestarikan lingkungan secara tersirat terkandung dalam prinsip OECD ke- 4,
sub-prinsip A. Lingkungan dan komunitas masyarakat dimana korporasi berada
merupakan salah satu pemangku kepentingan dan menurut sub-prinsip A, seluruh hak pemangku kepentingan yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan atau melalui
kesepakatan bersama harus dipenuhi. Oleh sebab itu, sesuai dengan sub-prinsip
A, korporasi harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan dan
memberdayakan komunikasi masyarakat disekitarnya.
Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan juga tertuang dalam Pedoman Umum GCG Indonesia.
Pedoman Pokok Pelaksanaan asas
Responsibilitas menyatakan bahwa perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab
sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan
terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang
memadai. Selain itu, pada bab tentang organ perusahaan, bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk organ Direksi,
sub-bagian tanggung jawab sosial, salah
satu fungsi pengelolaan perusahaan yang diemban
Direksi adalah terkait
dengan tanggung jawab sosial, yaitu:
1.
Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha perusahaan, Direksi harus dapat
memastikan dipenuhinya tanggung jawab
sosial perusahaan;
2.
Direksi harus mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dalam UU PT juga terdapat
beberapa pengaturan terkait peran aktif perusahaan dalam melestarikan
lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial, yaitu sebagai berikut:
1.
Pasal 66 ayat 2 menegaskan
bahwa laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan
informasi minimum yang harus disajikan perusahaan dalam laporan tahunannya.
2.
BAB V secara khusus membahas tentang kewajiban perusahaan melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Selain mematuhi UU PT, peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan juga dilakukan dengan memenuhi UU No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan juga harus mentaati peraturan
perundang-undangan lain yang terkait dengan lingkungan. Peran aktif perusahaan dalam
melestarikan lingkungan dapat
diwujudkan melalui beberapa
aktivitas sebagai berikut:
1.
Penciptaan
produk yang ramah lingkungan (misalnya produk yang mudah untuk didaur ulang).
2.
Penggunaan
sistem produksi yang efisien dalam mengkonsumsi sumber daya (misalnya hemat
bakar bakar, hemat listrik, air, dan lainnya).
3.
Penggunaan
sistem pengelolaan polusi yang aman dan efektif.
4.
Penggunaan
bahan baku secara efisien dan bahan baku ramah lingkungan.
5.
Pelaksanaan
program restorasi sumber daya alam yang dikonsumsi dalam proses produksi
(misalnya restorasi hutan atau restorasi kawasan tambang).
6.
Pemberdayaan
ekonomi komunikasi dan masyarakat berbasis kemandirian dan pembangunan
berkelanjutan.
2.5 Penyaluran
Pengaduan oleh Pemangku Kepentingan terhadap Kemungkinan Pelanggaran
Aturan/Etika oleh Orang Dalam Korporat
Berbagai skandal keuangan terbesar pada umumnya melibatkan pimpinan perusahaan
dan banyak pihak yang berkolusi. Keterlibatan manajemen tingkat atas dan/atau
kejahatan secara berkolusi menyebabkan sistem pengendalian internal perusahaan
tidak dapat berjalan optimal. Kejahatan kerah putih tersebut pada umumnya
diketahui oleh orang dalam perusahaan. Namun orang dalam yang mengetahui
kejahatan tersebut akan menghadapi risiko tinggi terhadap keselamatan diri
dan/atau keluarganya jika berupaya melaporkannya. Selain itu, mereka akan
menghadapi kendala mencari pihak independen untuk menangani laporan mereka
karena kejahatan melibatkan pimpinan puncak dan banyak pihak. Oleh sebab itu,
diperlukan upaya untuk membangun mekanisme penyaluran pengaduan oleh berbagai
pihak (pemangku kepentingan) terhadap kemungkinan kejahatan dan/atau pelanggaran
aturan/etika yang dilakukan oleh orang dalam korporat. Mekanisme tersebut harus
menjamin independensi penanganan laporan dan menjamin keselamatan pihak
pelapor.
Prinsip OECD ke-4, sub-prinsip E, menegaskan bahwa untuk mewujudkan tata
kelola perusahaan yang baik, maka perlu dilakukan upaya yang memungkinkan para
pemangku kepentingan, termasuk karyawan secara individu dan lembaga yang
mewakilinya, dapat secara bebas mengkomunikasikan kemungkinan tindakan
pelanggaran aturan/etika kepada Board (Dewan Komisaris atau lembaga yang diberi
kewenangan ini, misalnya Komite Audit) dan mendapatkan perlindungan atas
pelaksanaan haknya tersebut. Pelanggaran aturan/etika oleh pimpinan perusahaan
memiliki dampak negatif yang sangat besar, baik bagi perusahaan maupun pemegang
saham. Oleh sebab itu perusahaan dan pemegang saham seharusnya memiliki
kepentingan yang sama atas penerapan prinsip ini.
Menurut OECD, di beberapa negara, peraturan perundang-undangan mendorong
Dewan Komisaris untuk memberikan perlindungan kepada pihak pelapor atau
whistleblower, dan memberikan akses langsung yang bersifat rahasia kepada
anggota komisaris yang independen, anggota komite audit, atau komite etika.
Beberapa perusahaan juga dapat mengembangkan unit yang berperan sebagai
ombusman atas keluhan- keluhan yang disampaikan. Beberapa regulator juga
membuat jalur telepon dan email pengaduan yang bersifat rahasia. OECD
menegaskan perlindungan yang sama harus diberikan baik kepada whistleblower
yang merupakan institusi maupun individu. Jika mekanisme di dalam perusahaan
tidak dapat memfasilitasi mekanisme whistleblowing atau penangangan tidak
dilakukan dengan memadai, maka whistleblower dapat melaporkannya kepada pejabat
publik yang berwenang. Perusahaan tidak boleh melakukan tindakan hukuman atau
tindakan diskriminatif terhadap whistleblower.
Pedoman Umum GCG Indonesia telah mengatur tentang whistleblower pada
beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
1.
Bab 1 tentang
Pedoman Pokok Pelaksanaan Peranan Negara, disebutkan bahwa Negara didorong
memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor
(whistleblower) yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi
pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan
perusahaan atau pihak lain.
2.
Bab 3 tentang
Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, Fungsi Pedoman Perilaku,
disebutkan bahwa pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan
kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap
peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak
etis.
3.
Bab 3 tentang
Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, pelaporan atas pelanggaran dan
perlindungan bagi pelapor, disebutkan bahwa:
a.
Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan bahwa
pengaduan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku,
peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan, diproses secara wajar dan tepat waktu;
b.
Setiap perusahaan harus menyusun peraturan yang menjamin perlindungan
terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap etika bisnis,
pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanannya, Dewan Komisaris dapat memberikan tugas kepada komite
yang membidangi pengawasan implementasi GCG.
Pedoman Umum GCG Indonesia mendorong keberadaan mekanisme whistleblowing
dan perlindungan terhadap whistleblower secara sukarela (voluntary) dan tidak
ada kewajiban bagi perusahaan untuk menerapkannya. Namun demikian, dalam
Peraturan Bapepam-LK X.K.6 disebutkan bahwa jika emiten atau perusahaan publik
memiliki sistem whistleblowing, maka perusahaan wajib mengungkapkannya dalam laporan
tahunan sebagai komponen dari informasi tentang tata kelola perusahaan.
Informasi tentang sistem whistleblowing yang wajib diungkapkan antara lain
meliputi: (a) cara penyampaian laporan pelanggaran; (b) perlindungan bagi
pelapor; (c) penanganan pengaduan; (d) pihak yang mengelola pengaduan; dan (e)
hasil dari penangangan pengaduan.
Saat ini belum terdapat UU yang secara khusus mengatur tentang perlindungan
hukum bagi whistleblower. UU yang ada saat ini baru mengatur tentang
perlindungan saksi dan korban secara umum, yaitu UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Lebih lanjut, pada tahun 2011, terdapat beberapa
aturan kesepakatan yang diterbitkan untuk memberikan perlindungan kepada
whistleblower, namun hanya untuk tindak pidana tertentu, yaitu:
1.
Peraturan
Bersama: (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; (2) Jaksa
Agung Republik Indonesia; (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (4)
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan (5) Ketua Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor: (1)
M.HH-11.HM.03.02.th.2011; (2) PER-045/A/JA/12/2011; (3) 1 Tahun 2011 ; (4)
KEPB-02/01-55/12/2011; dan (5) 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor,
Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
2.
Surat Edaran
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan
bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
2.6 Peran Akuntan Profesional
Akuntan profesional dapat berperan aktif dalam mewujudkan prinsip peran
pemangku kepentingan, diantaranya, namun tidak terbatas pada:
1.
Mendorong
pengungkapan tentang pemenuhan tanggung jawab korporat.
2.
Membangun
sistem pengendalian internal perusahaan yang menjamin ketaatan perusahaan
terhadap peraturan perundang-undangan, kontrak perjanjian, serta norma-norma
yang berlaku.
3.
Membangun
sistem yang menghubungkan remunerasi karyawan dengan kinerja jangka panjang
perusahaan sehingga dapat meningkatkan partisipasi karyawan dalam tata kelola
perusahaan.
4.
Membangun
sistem informasi yang menjamin pengungkapan informasi yang tepat waktu dan
andal kepada seluruh pemangku kepentingan.
5.
Membangun
sistem whistleblowing yang andal dan aman bagi para pihak yang menjalankan
peran sebagai whistleblower dan informatif bagi pihak berwenang untuk
menindaklanjuti informasi yang diperoleh.
6.
Mendorong
pengungkapan informasi yang relevan dan andal dalam kerangka penyelesaian
kebangkrutan perusahaan, untuk melindungi para pemangku kepentingan, khususnya
kreditur.
2.7 Pelaksanaan Prinsip Peran Pemangku Kepentingan di Indonesia
Reviu pelaksanaan prinsip peran pemangku kepentingan di Indonesia akan
menggunakan hasil penilaian Bank Dunia dan IICD-ASEAN CG Scorecard. Tabel 2.1
mengikhtisarkan hasil penilaian Bank Dunia yang tertuang dalam Report on the
Observance of Standards and Codes (ROSC) (World Bank, 2010).
Tabel 2.1
ROSC: Pelaksanaan Prinsip Peran
Pemangku Kepentingan di Indonesia
Prinsip
|
Pencapaian
|
Keterbatasan
|
4.A
|
Terdapat kerangka hukum yang mengatur bahwa hubungan kerja
didasarkan pada perjanjian kerja antara
perusahaan (pengusaha) dan pekerja.
Terdapat kerangka hukum yang mewajibkan Dewan memastikan pemenuhan hak dan kewajiban terkait
pemangku kepentingan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kerangka CG mendorong Dewan untuk memperhatikan
kepentingan pemangku
kepentingan dalam pengambilan keputusan, walaupun tidak diatur secara
tersurat dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam parktik, perusahaan taat terhadap perjanjian kerja dengan karyawan.
Dalam praktik, perusahaan taat terhadap perjanjian
dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya.
|
Dalam praktik, terdapat kemung-
kinan pelanggaran terhadap pe- menuhan perjanjian kerja jika perjanjian kerja
tersebut mem- berikan beban yang berlebihan terhadap perusahaan.
|
4.B
|
Ketentuan hukum memungkinkan pemangku kepentingan
melakukan penuntutan
kepada perusahaan atas pelanggaran hak-haknya.
Ketentuan hukum telah
memfasilitasi mekanisme lain,
selain pengadilan, yang dapat ditempuh pemangku kepentingan dalam
memperjuangkan hak-haknya.
Ketentuan hukum memungkinkan Dewan dimintai
pertanggungjawaban dan/atau dituntut secara pidana
atas pelanggaran terhadap hak pemangku kepentingan yang dilakukannya.
Ketentuan hukum memungkinkan pemangku kepentingan
menuntut pe- langgaran atas hak memperoleh
informasi yang diatur dalam peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
|
Dalam praktik, tidak banyak ditemukan pemangku kepent- ingan yang menuntut ke
pen- gadilan atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan terha- dap hak-haknya.
Sistem pengendalian lebih bi- rokratis, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian kasus, serta
membutuhkan bi- aya yang tinggi.
Dalam praktik, mekanisme selain pengadilan, tidak ban- yak digunakan oleh para pe- mangku
kepentingan dalam mencari keadilan.
Pedoman Umum GCG
In- donesia mendorong perusa- haan untuk mengembangkan
whistleblowing system, namun karena pedoman ini bersifat sukarela, maka
penerapannya belum banyak dilakukan.
|
Prinsip
|
Pencapaian
|
Keterbatasan
|
4.C
|
Tidak
terdapat ketentuan hukum yang melarang perusahaan menghubung- kan
remunerasi karyawan dengan kinerja perusahaan dan dalam praktik hal ini
dilakukan perusahaan, baik sebagai kebijakan perusahaan maupun ter- masuk
dalam kontrak kerja antara perusahaan dan
karyawan.
Tidak
terdapat ketentuan hukum yang melarang perusahaan memberikan insentif
kepada karyawan melalui pemberian saham perusahaan dan dalam praktik
ditemukan beberapa perusahaan go public yang memiliki program ESOP.
Pemberian
saham kepada karyawan harus melalui persetujuan pemegang saham.
Karyawan yang
memiliki saham perusahaan memperoleh hak yang
sama seperti pemegang saham lainnya.
Ketentuan
hukum mewajibkan pengelolaan dana pensiun dilakukan oleh pihak yang independen dari perusahaan. Pihak independen tersebut diwa-
jibkan bertindak sesuai dengan kepentingan karyawan, menghindari konflik
kepentingan, dan bertanggung jawab penuh atas kegagalan dalam melak- sanakan
tanggung jawabnya.
|
|
4.D
|
Ketentuan hukum mendorong perusahaan
mengungkapkan informasi material kepada para pemangku kepentingan.
|
Peran serta kreditur dalam tata kelola
masih terbatas, misalnya ditunjukkan oleh ketentuan yang hanya mewajibkan
pelaksanaan rapat tahunan kreditur pada pe- rusahaan yang mengalami finan- cial
distress.
|
4.E
|
Tidak
terdapat ketentuan yang mewajibkan perusahaan
memiliki sistem whistleblow- ing (kewajiban untuk memili- ki kebijakan yang melindungi karyawan yang
berperan se- bagai whistleblower atas tinda- kan pelanggaran
yang dilaku- kan oleh Dewan dan/atau ma- najemen puncak)
Walaupun terdapat ketentuan hukum yang melindungi kor- ban
dan saksi, serta terdapat perlindungan tambahan untuk pelapor kasus
korupsi dan pen- cucian uang, namun belum
ter- dapat ketentuan hukum yang mengatur
khusus tentang whis- tleblower.
|
|
4.F
|
Ketentuan hukum
telah mengatur tentang
hak masing-masing kelompok kreditur pada saat
perusahaan mengalami kebangkrutan.
Ketentuan hukum
telah mengatur tentang
restrukturisasi utang.
Ketentuan hukum
telah semakin baik berupaya agar penyelesaian restrukturisasi dan
likuidasi dilakukan dalam waktu yang lebih
cepat dan tidak berbiaya tinggi.
Dalam praktik,
kreditur berpartisipasi dalam proses restrukturisasi perusahaan bermasalah.
Dalam praktik, kreditur juga dapat
menyita jaminan atas pinjaman yang dilakukan perusahaan.
|
Berdasarkan Strength of Legal
Rights Index yang dikeluarkan oleh World Bank,
Indonesia masih termasuk negara dengan hak
hukum kreditur yang
lemah. Indonesia mendapatkan skor
|
Hasil lain dari penilaian oleh IICD-ASEAN CG Scorecard (2012-2013)
menunjukkan rerata skor penerapan prinsip OECD ke-4 pada perusahaan Indonesia
adalah 52,2 pada tahun 2012 dan 58,5 pada tahun 2013.
Dibandingkan prinsip lain, dispersi skor penerapan prinsip ke-4 ini juga
sangat lebar. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa perusahaan secara ekstensif
mengungkapkan kebijakan dan program terkait pemangku kepentingannya, sedangkan
beberapa perusahaan lainnya justru sangat sedikit mengungkapkan informasi yang
sama dalam laporan tahunan atau website perusahaannya. Temuan ini merupakan
catatan penting bagi regulator, mengingat UU PT dan peraturan OJK mewajibkan
perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan dalam laporan
tahunannya.
IICD-ASEAN CG Scorecard mengidentifikasi beberapa praktik tanggung jawab
sosial perusahaan yang lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan go public di
Indonesia, yaitu:
1.
Kebijakan dan
aktivitas terkait interaksi dengan komunitas;
2.
Kebijakan terkait
kesehatan, keamanan, dan kemakmuran karyawan;
3.
Kebijakan
terkait program pelatihan dan pengembangan karyawan; dan
4.
Pengungkapan
aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan sebagai salah satu bagian dalam
laporan tahunan perusahaan.
IICD-ASEAN CG Scorecard juga mengidentifikasi beberapa tanggung jawab
sosial perusahaan yang belum banyak dilakukan perusahaan-perusahaan go public
di Indonesia, yaitu:
1.
Kebijakan dan
aktivitas dalam proses seleksi pemasok;
2.
Kebijakan dan
aktivitas anti korupsi; dan
3.
Mekanisme
whistle-blowing.
ASEAN CG Scorecard
Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian
praktik CG untuk prinsip peran pemangku kepentingan di perusahaan terbuka
dengan menggunakan ASEAN CG Scorecard:
Tebel 2.2
ASEAN CG Scorecard: Peran Pemangku Kepentingan
No.
|
Item Penilaian
|
Kriteria Penilaian
|
1
|
Pengakuan
dan Penghormatan terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan
|
|
Apakah
perusahaan mengungkapkan kebijakan yang:
|
||
1.1
|
Menjelaskan
keberadaan dan ruang lingkup upaya perusahaan untuk menangani aspek kesehatan
dan keselamatan pelanggan
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.2
|
Menjelaskan
praktik seleksi pemasok?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.3
|
Menjelaskan upaya
perusahaan untuk menjamin bahwa proses bisnis perusahaan bersifat
ramah lingkungan atau konsisten dengan
upaya pembangunan berkelanjutan?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.4
|
Menjelaskan upaya
perusahaan dalam membangun interaksi dengan komunitas di sekitar
perusahaan beroperasi?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.5
|
Mengatur
tentang program dan prosedur anti-korupsi yang dimiliki perusahaan?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.6
|
Menjelaskan
perlindungan terhadap hak-hak kreditur?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
Apakah
perusahaan mengungkapan aktivitas yang telah dilakukan dalam rangka
mengimplementasikan kebijakan di atas?
|
Berlanjut...
|
No.
|
Item Penilaian
|
Kriteria Penilaian
|
1.7
|
Kesehatan
dan keselamatan pelanggan
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.8
|
Kriteria
dan proses seleksi pemasok
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.9
|
Proses
bisnis yang ramah lingkungan
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.10
|
Interaksi
dengan komunitas
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.11
|
Program dan
prosedur anti korupsi
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.12
|
Hak-hak
kreditur
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
1.13
|
Apakah
perusahaan memiliki laporan tanggung jawab sosial tersendiri atau laporan
keberlanjutan tersendiri?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
2
|
Ketika
kepentingan pemangku kepentingan dilindungi oleh hukum, pemangku kepentingan
memiliki kesempatan untuk melakukan penuntutan terhadap pelanggaran atas hak-haknya
|
|
2.1
|
Apakah perusahaan menyediakan informasi tentang
jalur pengaduan (pihak
yang dapat dihubungi) di halaman website atau laporan tahunan perusahaan, yang dapat digunakan oleh pemangku kepentingan
untuk menyampaikan pendapat dan/atau keluhan atas kemungkinan pelanggaran
hak-hak mereka?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
3
|
Mekanisme
peningkatan kinerja melalui partisipasi pekerja dimungkinkan untuk
dikembangkan
|
|
3.1
|
Apakah
perusahaan secara eksplisit mengungkapkan kebijakan terkait kesehatan,
keselamatan kerja, serta kesejahteraan karyawannya?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
3.2
|
Apakah
perusahaan mempublikasikan data terkait kesehatan, keselamatan kerja, serta
kesejahteraan karyawannya?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
3.3
|
Apakah perusahaan memiliki program pelatihan dan pengembangan untuk
karyawannya?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
3.4
|
Apakah perusahaan mempublikasikan data tentang program pelatihan dan
pengembangan untuk karyawannya?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
3.5
|
Apakah
kebijakan remunerasi/kompensasi perusahaan mempertimbangkan ukuran kinerja
keuangan perusahaan selain yang bersifat jangka pendek?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
4
|
Pemangku kepentingan, termasuk karyawan individu dan lembaga yang
mewakilinya, dapat secara bebas mengkomunikasikan kemungkinan tindakan
pelanggaran aturan/ etika kepada dewan
komisaris dan mendapatkan perlindungan atas pelaksanaan haknya tersebut
|
|
4.1
|
Apakah
perusahaan memiliki prosedur untuk mengakomodasi laporan karyawan atas dugaan
tindakan yang melanggar ketentuan hukum (termasuk korupsi) dan tindakan tidak
etis?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
4.2
|
Apakah perusahaan memiliki kebijakan atau
prosedur untuk melindungi karyawan/orang yang melaporkan tindakan pelanggaran hukum atau
tindakan tidak etis
dari ancaman?
|
Ya: 1
Tidak: 0
|
Selain unsur
penilaian di atas, terdapat juga unsur penalti sebagai berikut:
Tabel 2.3
ASEAN CG
Scorecard: Peran Pemangku Kepentingan – Penalti
No.
|
Item Penilaian
|
Kriteria Penilaian
|
1
|
Pengakuan dan Penghormatan
terhadap Kepentingan Para Pemangku Kepentingan
|
|
1.1
|
Apakah pernah terdapat
pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan terkait
pekerja/ketenagakerjaan/ pelanggan/kebangkrutan/komersial/kompetisi atau
lingkungan?
|
Ya: Pengurangan nilai Tidak:
0
|
2
|
Ketika pemangku kepentingan
berpartisipasi dalam proses tata kelola, pemangku kepentingan tersebut memiliki akses
terhadap informasi yang relevan, memadai, dan dapat diandalkan secara tepat
waktu dan reguler
|
|
2.1
|
Apakah perusahaan pernah
memperoleh sanksi dari regulator karena kegagalan perusahaan dalam
mengumumkan informasi atas kejadian material pada rentang periode yang
diwajibkan?
|
Ya: Pengurangan nilai Tidak:
0
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ketaatan terhadap peraturan pemerintah akan menghindarkan perusahaan dari
berbagai permasalahan hukum. Seluruh hubungan
positif perusahaan dengan
para pemangku kepentingannya memiliki dampak
ekonomi yang positif pula untuk
kelangsungan usaha dan pencapaian tujuan
jangka panjang perusahaan. Oleh sebab itu perusahaan perlu untuk mengakui
dan menghormati hak para pemangku
kepentingannya dalam seluruh aktivitas dan pengambilan keputusan
perusahaan, serta bekerjasama dengan pemangku kepentingan dalam mencapai tujuan
jangka panjang bersama.
DAFTAR PUSTAKA
ACMF, ASEAN Corporate
governance Scorecard - template, www.theacmf.org/ACMF/ upload/asean_
cg_scorecard.pdf
ACMF-ADB, ASEAN Corporate
governance Scorecard: Country Report and Assessments 2012- 2013,
http://www.adb.org/publications/asean-corporate-governance-scorecard-country-reports-and-
assessments-2012-2013
Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG), 2006, Pedoman Umum Good Corporate governance
Indonesia,
http://www.ecgi.org/codes/documents/indonesia_cg_2006 id.pdf.
Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD), 2004, OECD Principles of Corporate
governance, http://www.oecd.org/corporate/ca/corporategovernance
principles/31557724. pdf.
Peraturan Pemerintah No. 76
tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja
Peraturan Pemerintah No. 77
tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan
Peraturan Bapepam-LK No. X.K.1
tentang Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan kepada Publik.
Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6
tentangKewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik.
Peraturan Bersama: (1) Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; (2) Jasa Agung Republik
Indonesia; (3) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (4) Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia; dan (5) Ketua Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban Republik Indonesia, Nomor: (1) M.HH-11.HM.03.02.th.2011; (2)
PER-045/A/JA/12/2011; (3) 1 Tahun 2011 ;
(4) KEPB-02/01-55/12/2011; dan
(5) 4 Tahun 2011, tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi
Pelaku Yang Bekerjasama.
Surat Edaran Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Undang-Undang No. 11 tahun
1992 tentang Dana Pensiun
Undang-Undang No. 8 tahun 1995
tentang Pasar Modal
Undang-Undang No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Praktik Usaha Tidak Sehat
Undang-Undang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 20 tahun
2001 tentang Revisi atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang No. 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang No. 40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Utama, S., 2010, An evaluation
of support infrastructures on corporate responsibility reporting in Indonesia,
Asia Business & Management Vol 10 No. 3, 405-424.
World Bank, 2010, Report on
Observance Standards and Codes: Corporate governance Country
Assessment:Indonesia, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf dan
http://www. worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_annex.pdf.
World Bank, Strength of Legal
Rights Index, http://data.worldbank.org/indicator/IC.LGL. CRED.XQ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar