IKSHAN HASAN

LightBlog

Breaking

TGM

loading...
loading...

Minggu, 16 September 2018

Makalah Lengkap Hukum Jaminan ( kuliah Hukum Bisnis )


MAKALAH TENTANG HUKUM JAMINAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Manusia dalam menjalani kehidupannya membutuhkan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut setiap individu harus mendapatkannya dengan melakukan pembelian, meminjam atau pun dengan sistem barter. Untuk membeli dan meminjam saat ini memang sangat sering dilakukan dan dimungkinkan terjadi. Untuk barter mungkin terjadi tetapi saat ini sistem tersebut jarang sekali dipergunakan. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang memiliki berbagai cara sesuai dengan perkembangan kehidupan saat ini, misalnya pinjam-meminjam. Ketika terjadi hubungan pinjam meminjam maka timbullah hak dan kewajiban, ketika terjadi wan prestasi maka disinilah timbulnya pemikiran mengenai apa yang dinamakan jaminan.
Dalam pelaksanaan penjaminan juga diperhatikan para pelaku yang harus sesuai dengan hukum atau peraturan yang telah ditentukan. Yaitu hukum jaminan yang merupakan ketentuan yang mengatur dengan penjaminan dalam rangka hutang piutang yang dapat terbagi dalam berbagai bentuk yang telah berlaku saat ini.
Penjaminan adalah sebagai prinsip kehati-hatian pihak pemberi kredit dan juga menunjukkan kesungguhan dari penerima kredit dalam pemenuhan kewajibannya. Dengan dihubungkannya dengan hukum jaminan, hal ini ditujukan untuk perlindungan pihak-pihak yang berkepentingan. Hukum di Indonesia beragam dengan menyesuaikan dengan apa yang diatur didalamnya, tidak luput juga mengenai hukum jaminan. Mengenai hukum jaminan diatur dalam beberapa undang-undang diantaranya KUHPerdata, KUH Dagang, dan undang-undang lainnya yang terkait dimana ditetapkan secara terpisah.

2.   Rumusan Masalah
            1.     Apakah pengertian hukum jaminan?
2.     Apakah pengertian hukum jaminan menurut para ahli?
3.     Bagaimanakah penggolongan jaminan hutang?
4.     Pembahasan ruang lingkup mengenai borgtoch, Gadai, Jaminan Fidusia, Hak
        Tanggungan, dan Hipotik?
3.   Tujuan Penulisan
            Dalam penulisan makalah ini kami memiliki tujuan yang ingin kami capai yaitu
1.      Memberikan data informasi mengenai aspek hukum yang terkait didalam beberapa
          jaminan.
2.      Memberikan informasi hubungan antara hukum jaminan dengan beberapa
          karakteristik  khusus dalam jaminan tertentu.





BAB II
 PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hukum Jaminan
Hukum jaminan merupakan kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sudah sering mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa kita sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung pinjaman uang terhadap seseorang. Jadi pengertian jaminan secara umum yaitu suatu benda yang dijadikan tanggungan bagi sebuah perjanjian hutang piutang antara kreditur dan debitur. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
1.      Serangkaian dengan ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan hukum dari jaminan yang tertulis adalah ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk yurisprudensi, baik itu berupa peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif (turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis yaitu ketentuan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu jaminan.
2.      Ketentuan hukum jaminan tersebut yang mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak-pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan tertentu sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
3.      Adanya jaminan yang akan diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
4.      Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan untuk jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.
2.  Pengertian Hukum Jaminan Pendapat Para Ahli
1. Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan
Hukum jaminan merupakan hukum yang mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan .Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan diharapkan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah. Sebenarnya apa yang telah dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan dating. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang sangat berkaitan dengan jaminan.

2. J satrio
Hukum jaminan merupakan peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor. Definisi tersebut difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditor semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata,tetapi juga erat kaitannya dengan debitor.

3. Salim H.S
Hukum jaminan merupakan keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

4. Prof. M. Ali Mansyur
Hukum jaminan yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditor dan debitor yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit. Dari pendapat diatas kita dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan.

3.   Penggolongan Jaminan Hutang
Penggolongan jaminan hutang dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Penggolongan Jaminan berdasarkan Sifatnya, yaitu:
o   Jaminan yang bersifat Umum.
merupakan jaminan yang diberikan untuk kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPer, yaitu" segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun juga yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan".

o   Jaminan yang bersifat Khusus.
merupakan jaminan yang diberikan yaitu dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang atau kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.

o   Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Perorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan atau bersifat kebendaan dapat dilembagakan dalam bentuk: hipotek (Pasal 1162 KUHPer), Hak Tanggungan, gadai (pand), dan fidusia. sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtoch (personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga yaitu secara perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum.

b.      Penggolongan jaminan berdasarkan Objek atau Bendanya:
o   Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak.
dikatakan benda bergerak, karena sifatnya itu yang bergerak dan dapat di pindahkan atau dalam UU dinyatakan sebagai benda yang bergerak, misalnya pengikatan hak terhadap benda bergerak. Jaminan dalam bentuk benda bergerak dapat dibedakan atas benda bergerak yang berwujud, pengikatanya dengan gadai (pand), dan fidusia, dan benda bergerak yang tidak berwujud, yang pengikatannya dengan gadai (pand), cessie dan account revecieble.

o   Jaminan dalam bentuk Benda Tidak Bergerak.
merupakan jaminan yang berdasarkan sifatnya tidak bergerak dan tidak dapat di pindah-pindahkan, sebagaimana yang diatur dalam KUHPer. Pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk benda bergerak berupa hak tanggungan (hipotek).

c.       Penggolongan jaminan berdasarkan Terjadinya:
o   Jaminan yang lahir karena Undang-undang.
merupakan jaminan yang telah ditunjuk keberadaannya oleh undang-undang, tanpa adanya perjanjian dari para pihak, sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 1131 KUHPer, seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi.

o   Jaminan yang lahir karena Perjanjian.
merupakan jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak-pihak sebelumnya, seperti gadai (pand), fidusia, hipotek, dan hak tanggungan.

4.   Pembahasan Ruang Lingkup
A. Borgtocht (Penanggungan Hutang)
Seperti yang tercantum dalam KUHPer pasal 1820, bahwa Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Mengenai penanggungan hutang ini diatur dalam KUHPer pasal 1820 sampai dengan 1850. Sedangkan pembagiannya akan dibahas masing-masing bagian.

1.      Ketentuan Dalam Penanggungan Hutang
a.   Penanggungan hutang adalah suatu perjanjian penjaminan hutang yang sangat terkait kepada perorangan yang mengikatkan dirinya sebagai jaminan atas hutang dari pihak yang mengikatkan dirinya disebut penanggung atau penjamin.(KUHPer pasal 1820).

b.   Penanggungan hutang sangat berkaitan dengan perjanjian pokok yang sah. Perjanjian pokok misalnya berupa perjanjian pinjaman yang disepakati oleh pihak peminjam dengan pihak pemberi pinjaman. Perjanjian penanggungan hutang bukan suatu perjanjian pokok. Sehubungan dengan itu dalam hukum perikatan sebagaimana yang telah dikemukakan para ahli dikatakan bahwa adanya perikatan pokok dan perikatan turutan. Perjanjian penanggungan hutang adalah perjanjian turutan. Contoh lainnya adalah perjanjian kredit sebagai perikatan pokok dan sedangkan perikatan jaminan adalah perikatan turutan. (KUHPer pasal 1821).

c.   Perikatan penanggungan hutang para penanggung berpindah kepada ahli warisnya. (KUHPer pasal 1826)

d.   Peminjam yang diwajibkan memberikan seorang penanggung harus mengajukan seorang yang mempunyai kecakapan hukum untuk mengikatkan dirinya, cukup mampu untuk memenuhi perikatannya dan berdiam di Indonesia. (KUHPer pasal 1827)

e.   Penanggung tidak diwajibkan membayar kepada pemberi pinjaman selainnya jika pihak peminjam lalai, sedangkan harta pihak peminjam adalah yang terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi semua hutangnya. (KUHPer pasal 1831). Dalam hal ini disebutkan hak istimewa untuk penanggung. Penanggung dalam membuat perjanjian penanggungan hutang seharusnya memperhatikan ketentuan hak istimewa penanggung tersebut sehingga sepenuhnya menyadari kedudukan dan kewajibannya jika pihak peminjam ingkar janji kepada pihak pemberi pinjaman.

f.    Penanggung tidak dapat menuntut supaya harta pihak peminjam lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya.
-          Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya harat pihak peminjam lebih dahulu disita dan dijual
-          Apabila telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan pihak peminjam utama secara tanggung-menanggung, yang akibat-akibat perikatannya diatur menurut azas-azas yang ditetapkan untuk hutang tanggung menanggung.
-          Jika pihak peminjam dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi.
-          Jika pihak peminjam berada di dalam keadaan pailit
-          Dalam halnya penanggungan yang diperintahkan oleh hakim. (KUHPer pasal 1320)


2.      Akibat-akibat Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Hal ini seperti yang dituliskan dalam KUHPer pasal 1831 sampai dengan pasal 1838 seperti berikut:
a.   Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.

b.   Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
-          bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut, maka barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
-          bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung-menanggung, dalam hal itu, maka akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung;
-          jika debitur bisa mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
-          dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim.

c.   Kreditur tidak wajib menyita dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitur, kecuali bila pada waktu pertama kalinya dituntut dimuka hakim, penanggung mengajukan permohonan itu.

d.   Penanggung yang menuntut agar barang kepunyaan debitur disita dan dijual lebih dahulu wajib menunjukkan barang kepunyaan debitur itu kepada kreditur dan membayar lebih dahulu biaya-biaya untuk penyitaan dan penjualan tersebut.

3.      Akibat-akibat Dari Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan antara Para Penanggung Sendiri
Ini seperti tertera dalam KUHPer pasal 1839 sampai dengan pasal 1844 berikut ini:
a.         Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini bisa dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.

b.   Penanggung yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum, menggantikan kreditur dengan segala haknya terhadap debitur semula.

c.   Bila beberapa orang bersama-sama memikul satu utang utama dan masing-masing terikat untuk seluruh utang utama tersebut, maka orang yang mengajukan diri sebagai penanggung untuk mereka semuanya, dapat menuntut kembali semua yang telah dibayarnya dari masing-masing debitur tersebut.

d.   Penanggung yang telah membayar utangnya sekali, tidak dapat menuntutnya kembali dari debitur utama yang telah membayar untuk kedua kalinya bila ia tidak memberitahukan pembayaran yang telah dilakukan itu kepadanya, hal ini tidak akan mengurangi haknya untuk menuntutnya kembali dari kreditur.

4.      Hapusnya Penanggungan Utang
Mengenai hapusnya penanggungan hutang tertera dalam KUHPer pasal 1845 sampai dengan 1850 sebagai berikut:
a.   Perikatan yang timbul karena penanggungan. hapus karena sebab-akibat yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya.

b.   Percampuran utang yang terjadi di antara debitur utama dan penanggung utang, bila yang satu menjadi ahli waris dari yang lain, sekali-kali tidak menggugurkan tuntutan hukum kreditur terhadap orang yang telah mengajukan diri sebagai penanggung dari penanggung itu.

c.   Terhadap kreditur itu, penanggung utang dapat menggunakan segala tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur utama dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri. Akan tetapi, ia tidak boleh mengajukan tangkisan yang semata-mata mengenai atau mengarah pribadi debitur itu.

d.   Penanggung dibebaskan dari kewajibannya bila atas kesalahan kreditur ia tidak dapat lagi memperoleh hak hipotek dan hak istimewa kreditur itu sebagai penggantinya.

B. Gadai
1.      Peranan Pegadaian
Tugas pokok Perum Pegadaian adalah memberi pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan non formal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat. Masyarakat yang sedang memerlukan pinjaman atau pun mengalami kesulitan keuangan cenderung dimanfaatkan oleh lembaga keuangan seperti lintah darat dan pengijon untuk mendapatkan sewa dana atau bunga dengan tingkat bunga yang sangat tinggi.

2.      Kegiatan Usaha Pegadaian
Perum Pegadaian mempunyai kegiatan usaha diantaranya sebagai berikut :
a.       Penghimpunan Dana
o   Dana yang diperoleh oleh Perum Pegadaian untuk melakukan kegiatan usahanya berasal dari Pinjaman jangka pendek dari Perbankan
-          Pinjaman jangka pendek dari pihak lainnya
-          Penerbitan obligasi
-          Modal sendiri

b.      Penggunaan Dana
Dana yang telah berhasil dihimpun kemudian akan digunakan untuk mendanai kegiatan usaha Perum Pegadaian. Dana-dana tersebut antara lain digunakan untuk hal-hal berikut ini :
o   Uang kas dan dana likuid lain
o   Pembelian dan pengadaan berbagai macam bentuk aktiva tetap dan inventaris.
o   Pendanaan kegiatan operasional
o   Penyaluran dana

Penggunaan dana yang utama yaitu untuk disalurkan dalam bentuk pembiayaan atas dasar hukum gadai. Lebih dari 50 persen dana yang telah dihimpun oleh Perum Pegadaian tertanam dalam bentuk aktiva ini, karena memang ini merupakan kegiatan utamanya. Penyaluran dana tersebut diharapkan akan dapat menghasilkan penerimaan dari bunga yang dibayarkan oleh nasabah. Penerimaan inilah yang akan merupakan penerimaan utama bagi Perum Pegadaian dalam menghasilkan keuntungan.

o   Investasi lain
Kelebihan dana atau idle fund, yang belum diperlukan untuk mendanai kegiatan operasional maupun penyaluran dana belum dapat disalurkan kepada masyarakat, dapat ditanam dalam berbagai macam bentuk investasi jangka pendek dan menengah. Investasi ini dapat menghasilkan penerimaan bagi Perum Pegadaian, namum penerimaan ini bukan merupakan penerimaan utama yang diharapkan oleh Perum Pegadaian.

c.       Produk dan Jasa Perum Pegadaian
Produk dan jasa yang ditawarkan oleh Perum Pegadaian kepada masyarakat yaitu meliputi sebagai berikut :
o   Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai
o   Penaksiran nilai barang
o   Penitipan barang
o   Jasa lainnya

3.      Pengertian Gadai
Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang atau kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan.. Barang tersebut diserahkan  kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang untuk menggunakan barang yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

4.      Jenis-Jenis Barang Yang Dapat Digadaikan
Pada dasarnya hampir semua barang yang bergerak dapat digadaikan di Pegadaian dengan pengecualian untuk barang-barang tertentu. Barang-barang yang dapat digadaikan meliputi :
a.      Barang Perhiasan: Perhiasaan yang terbuat dari emas, perak, platina, intan, mutiara dan batu mulia.
b.      Kendaraan: Mobil, sepeda motor, sepeda, becak, bajaj,dll
c.      Barang elektronik: Kamera, lemari es, Freezer, Radio, Tape Recorder, Video Player, Televisi, Komputer, Laptop, Handphone,dll
d.      Barang Rumah Tangga: Perlengkapan dapur, peralatan makan,dll
e.       Mesin-Mesin: Mesin jahit, mesin kapal motor
f.       Tekstil: Berupa pakaian, permadani atau kain batik/sarung
g.       Barang lain yang juga dianggap bernilai oleh Perum Pegadaian

C. Jaminan Fidusia
1.      Pengertian Jaminan Fidusia
Fidusia manurut asal katanya berasal dari “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan artinya kata ini, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan  kreditur  (penerima fidusi) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia akan mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia juga percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.
Pasal 1 Undang-undang tentang Fidusia memberikan batasan dan juga pengertian yaitu sebagai berikut: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
“Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani  jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang  Hak Tanggungan yang akan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunana bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima  fidusia terhadap  kreditur lainnya.”
Dari defenisi yang diberikan di atas, jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ini adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud fiducia cum creditore contracta di atas.

2.      Pembebanan Jaminan Fidusia
Pasal 4 UUJF menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang dimaksud prestasi di sini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia  diatur Pasal 5 yaitu sebagai berikut : 
a.   Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia;
b.   Terhadap pembuatan Akta jaminan fidusia dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya Akta Jaminan Fidusia diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
  • Haruslah berupa akta notaris;
  • Haruslah dibuat dalam bahasa Indonesia;
  • Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
-     Identitas dari pihak pemberi fidusia: Nama lengkap, agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat lahir tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan;
-     Identitas dari pihak penerima fidusia, yakni tentang dana seperti tersebut di atas;
-     Diharuskan mencantumkan hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia;
-     Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia;
-     Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti kepemilikan. Jika benda selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan (inventory) maka haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut.
-     Berapa nilai penjaminannya;
-     Berapa nilai benda yang akan menjadi objek jaminan fidusia;

3.      Pendaftaran Jaminan Fidusia
Pendaftaran jaminan fidusia diatur pada Pasal 11 yang bunyinya:
a.       Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan;
b.      Dalam hal benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.
Yang berhak mengajukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia yaitu penerima fidusia, kuasa ataupun wakilnya, dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang memuat:
a.   Identitas pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia;
b.   Tanggal dan nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia;
c.   Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
d.   Uraian mengenai benda yang akan menjadi objek jaminan Fidusia;
e.   Nilai penjaminan dan;
f.    Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Dalam sertifikat Jaminan Fidusia telah dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha  Esa”. Sertifikat tersebut mempunyai eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya yaitu sertifikat Jaminan Fidusia ini dapat langsung dieksekusi tanpa melalui proses persidangan dan pemeriksaan melalui Pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, dinyatakan bahwa dalam hal terdapat kekeliruan penulisan dalam sertifikat Jaminan Fidusia yang telah diterima oleh pemohon, maka dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya sertifikat tersebut, pemohon wajib memberitahukan kepada kantor untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Penerbitan sertifikat perbaikan tersebut tidak dikenakan biaya.

4.      Hak Preferensi Pemegang Fidusia
Ketentuan KUH Perdata di dalam pasal 1133 (hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya) hanya memberikan hak preferensi kepada para kreditur pemegang : 
a.   Hipotek (untuk kapal laut dan pesawat udara)
b.   Gadai
c.   Hak Tanggungan (hak jaminan atas tanah)
d.   Fidusia.
Hak preferensi dari penerima fidusia telah diatur pada Pasal 27 ayat (2) UUJF, yang bunyinya, hak preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Mengenai kedudukan hak preferensi daripada penerima fidusia jika debitur mengalami paylit atau likuidasi, telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF, yang bunyinya: ”hak preferensi dari penerima fidusia tidak hilang dengan pailit atau dilikuidasinya debitur.”

Menurut Munir Fuady, bahwa tidak ada hak preferensi  kepada penerima fidusia yang kedua dengan alasan sebagai berikut: 
a.   Jika sistem pendaftarannya berjalan secara baik dan benar, maka hampir tidak mungkin ada pendaftaran fidusia yang kedua;
b.   Jika fidusia tidak mungkin didaftarkan,  maka fidusia yang tidak terdaftarkan tersebut sebenarnya tidak eksis, karena fidusia dianggap lahir setelah didaftarkan;
c.   Karena fidusia ulang memang dilarang oleh Undang-Undang Fidusia No.42 Tahun 1999.

5.      Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia
Pengalihan jaminan fidusia telah diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 19 UUJF, bunyinya yaitu:
a.   Pengalihan hak atas piutang yang akan dijamin dengan Fidusia bisa mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan  kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru.
b.   Beralihnya jaminan fidusia tersebut didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.

Pengalihan hak atas hutang (cession), merupakan pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan mengalihkan yaitu antara lain termasuk dengan menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya. Pengalihan hak atas hutang dengan jaminan fidusia bisa dialihkan oleh penerima fidusia kepada  penerima fidusia baru (kreditur baru). Kreditur baru inilah yang akan melakukan pendaftaran tentang beralihnya jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Jadi pengalihan perjanjian pokok dalam mana diatur hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia, mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru. Selanjutnya kreditur baru harus mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Selain dapat dialihkan jaminan fidusia juga dapat hapus. Yang dimaksud dengan hapusnya jaminan fidusia yaitu tidak berlakunya lagi jaminan fidusia.

Ada tiga hal yang menyebabkan hapusnya jaminan fisudia, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu: 
a.   Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia. yang dimaksud hapusnya hutang yaitu antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya hutang berupa keterangan yang dibuat kreditur;
b.   Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia tersebut atau;
c.   Musnahnya benda yang telah menjadi objek  jaminan fidusia. Musnahnya benda jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi.

Apabila hutang dari pemberi fidusia sudah dilunasi olehnya menjadi kewajiban penerima fidusia, kuasanya, atau walaupun  untuk memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia yang disebabkan karena hapusnya hutang  pokok. Pemberitahuan itu dilakukan paling lambat selama 7 hari setelah hapusnya jaminan fidusia yang bersangkutan dengan dilampiri dokumen pendukung tentang hapusnya jaminan fidusia. Dengan diterimanya pemberitahuan tersebut, maka ada 2 hal yang perlu dilakukan Kantor Pendaftaran Fidusia, yaitu: 
a.       Pada saat yang bersamaan mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku daftar fidusia; dan
b.      Pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia dari buku daftar fidusia.

Hapusnya fidusia karena musnahnya hutang yang dijamin dengan fidusia yaitu sebagai konsekuensi dari sifat perjanjian jaminan Fidusia sebagai perjanjian ikutan/assesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang/kredit. Jadi, jika perjanjian kreditnya lenyap karena alasan apapun maka jaminan fidusiapun ikut lenyap pula. Hapusnya jaminan fidusia karena pelepasan hak oleh penerima fidusia adalah wajar karena mengingat pihak penerima fidusia bebas untuk mempertahankan haknya atau melepaskan haknya.
Dengan musnahnya objek jaminan fidusia maka jaminan fidusia juga hapus karena tidak ada manfaatnya fidusia dipertahankan jika objeknya musnah. Namun apabila benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan dan kemudian benda tersebut musnah karena sesuatu sebab, maka hak klaim asuransi dapat dipakai sebagai pengganti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan diterima oleh penerima fidusia, karena menurut Pasal 10 huruf  dan Pasal 25 UUJF bahwa jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan, dan musnahnya benda yang  menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapus klaim asuransi.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UUJF hapusnya jaminan fidusia wajib diberitahukan oleh kreditur penerima fidusia kepada kantor penerima fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya hutang, pelepasan hak atas jaminan fidusia atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 16 ayat (1) yang mengatur bahwa apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia. Penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan-perubahan tersebut kepada kantor pendaftaran fidusia. Dengan pemberitahuan tersebut Kantor Pendaftaran Fidusia akan melakukan pencoretan pencatatan jaminan fidusia dari Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.

6.      Peraturan Perundangan Tentang Jaminan Fidusia
Adapun peraturan perundangan tentang jaminan fidusia adalah sebagai berikut:
a.         UU Republik Indonesia No.42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
b.         UU No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-bendanya yang Berkaitan Dengan Tanah
c.         Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia
d.         Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia & Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

D. Hak Tanggungan
1.      Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana di maksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa hak tanggungan :
a.         Merupakan hak jaminan untuk pelunasan hutang (kredit).
b.         Dapat di bebankan pada hak atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya.
c.         Menimbulkan kedudukan di dahulukan daripada kreditor-kreditor lain.
Pengertian hak tanggungan sebagaimana yang telah dimuat dalam pasal 1 butir 1 UUHT di atas, sangat dipengaruhi oleh asas pemisahan horizontal dalam hukum tanah berdasarkan UUPA. Asas pemisahan horizontal tersebut menyebabkan hak atas tanah dapat dipisahkan dengan hak atas benda-benda di atas tanah tersebut. 

2.      Sifat Hak Tanggungan.
Hak tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan ini akan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Artinya,Jika hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru di lunasi sebagian,maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Klausula yaitu “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam pasal 2 UUHT,dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan manggunakan klausula tersebut, maka sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besar angsurannya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran itu dibayarkan, maka Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi

3.         Objek dan Subjek Hak Tanggungan 
Di dalam pasal 4 UUHT diatur tentang pelbagai macam hak atas tanah yang dapat di ijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu:
a.   Hak milik;
b.   Hak Guna Usaha;
c.   Hak Guna Bangunan;
d.   Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuannya yang berlaku yaitu wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
e.   Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dengan penjelasan umum dalam UUHT, disebut 2 unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu: 
a.   Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum yang terdapat pada Kantor Pertahanan;
b.   Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan. 

Berdasarkan kedua unsur mutlak diatas, apabila hak milik sudah diwakafkan maka, hak milik tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan. Karena sesuai dengan hakekat perwakafan yaitu hak milik yang sudah diwakafkan merupakan hak milik yang sudah dikekalkan sebagai hak milik keagamaan. Dengan demikian, maka semua hak atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci liannya tidak bisa dijadikan objek hak tanggungan, sedangkan hak guna bangunan yang dapat dijadikan objek hak tanggungan yaitu meliputi hak guna bangunan diatas tanah Negara, diatas hak pengelolaan maupun diatas tanah hak Negara. Adapun mengenai hak pakai, sebelum ditentukan dalam UUHT ini tidak dapat dijadikan objek jaminan pelunasan hutang, karena menurut UUPA hak pakai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar, sehingga tidak memenuhi syarat publisitas. 

Sedangkan subyek hak tanggungan adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian pembebanan hak tanggungan, yaitu: 
a.   Pemberi hak tanggungan (kreditur
Pemberi Hak Tanggungan merupakan orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Kewenangan tersebut harus ada dalam pemberian Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 8 UUHT). Dari penjelasan umum dalam UUHT antara lain dijelaskan bahwa pada saat pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah ada keyakinan(percaya) kepada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan. Meskipun kepastian mengenai dimilikinya suatu kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan itu didaftar.

b.   Penerima hak tanggungan (debitur)
Pemegang Hak Tanggungan yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT). Karena Hak Tanggungan sebagai lembaga hak atas tanah tidak mengandung suatu kewenagan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan pemberi Hak Tanggungan kecuali dalam keadaan yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, pemegang Hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia atau Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing.

4.      Sifat Hak Tanggungan
Adapun sifat-sifat dari Hak Tanggungan adalah:
a.   Hak Tanggungan akan memberikan hak preferent (droit de preferent), atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (Pasal 6).
b.   Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi kecuali telah diperjanjikan (Pasal 2 UUHT).
c.   Hak Tanggungan untuk menjamin kewajiban(utang) yang sudah ada atau yang akan ada. (Pasal 4 ayat (4)
d.   Hak Tanggungan mempunyai sifat doit de suite yaitu (selalu mengikuti bendanya, ditangan siapapun benda tersebut berada).(Pasal 7)
e.   Hak Tanggungan ini dibebankan kepada hak atas tanah saja.
f.   Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.
g.  Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.
h.  Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah, sebagaimana yang telah dimaksud dalam UUPA/UU No 5 Tahun 1960, yaitu meliputi: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha.

5.      Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan
Setelah terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara kreditor dan debitor, maka ada beberapa tindakan yang harus dilakukan yaitu :
a.   membuat perjanjian yang akan menimbulkan hutang piutang (atara lain berupa perjanjian pemberian kredit atau akad kredit) yang pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan;
b.   membuat perjanjian pemberian hak tanggungan yang dituangkan kedalam akte pemberian hak tanggungan (APHT) oleh notaris / PPAT.
c.   melakukan pendaftaran hak tanggungan pada kantor pertanahan yang sekaligue merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.

Perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (antara lain perjanjian pemberian kredit yang dijamin dengan hak tanggungan dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akte otentik. Perjanjian ini merupakan suatu perjanjian pokok, sedangkan perjanjian pemberian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan (accessoir) pada perjanjian pokok. Dalam pemberian hak tanggungan, maka pemberi hak tanggungan juga wajib hadir dihadapan PPAT.
Menurut pasal 5 UUHT, objek hak tanggungan tersebut dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Pemilik tanah atau juga persil yang telah menjaminkan tanah atau persilnya, dapat menguasai tanah itu atau menjualnya, karena hak tanggungan akan tetap melekat membebani tanah ditangan siapapun tanah itu berpindah.
Menurut pasal 11 UUHT, mungkin akan mencantumkan janji-janji dalam APHT. Janji-janji yang dicantumkan harus bersifat fakultatif dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT. Pihak-pihak bebasan menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam APHT. Pemuatan janji-janji tersebut dalam APHT kemudian didaftarkna pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:

a.   Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
b.   Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan kecuali, dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan.
c.   Janji yang memberi wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh ingkar janji.
d.   Janji yang memberikan suatu wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan objek hak tanggungan, jika hal itu diperlukab untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.

6.      Hak Previlege
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang yang lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan (executie) dari harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133 KUHPer timbul dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotek.

Selanjutnya Pasal 1134 KUHPer mengatakan hal-hal sebagai berikut:
a.   Hak istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan  berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
b.   Gadai dan Hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam halhaldimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang terhadapseseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan Hipotek.Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
a.   Privilege khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPer ada 9, merupakanprivilege yang diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
b.   Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPer ada 7, merupakan privilegeyang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.

Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Privilegeumum (Pasal 1138 KUHPer) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan; sedangkan Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu disebut, dengan sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.

Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a.   Privilege baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannyatidak cukup untuk membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b.   Privilege tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c.   Merupakan hak terhadap benda debitur
d.   Merupakan hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.

Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPer sejajar dengan hak kebendaan.Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan merupakan hakyang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotek. Namun para sarjanamenganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum Acara pedatayang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan dalam hal debiturjatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan itutimbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa danlain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak mencukupiuntuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung memberikansuatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage baru adatuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotek dengan Privilege adalah kalau Gadai dan Hipotek adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotek lebih didahulukan daripada Privilege,kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2), 1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPer); antara Gadai dan Hipotek tidak dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan dengan bendabergerak sedangkan Hipotek mengenai benda tidak bergerak. Selanjutnya padaGadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap piutang apapunjuga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan Privilege itu padahubungan-hubungan hukum tertentu.

7.      Eksekusi Hak Tanggungan.
Apabila debitur tidak memenuhi janjinya, yakni tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 20 UUHT pemegang hak tanggungan pertama atau pemegang sertifikat hak tanggungandengan title eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungan tersebut, maka berhak menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak didahulukan dari kreditor-kreditor lain.
Menurut pasal 1 butir 2 keputusan menteri keuangan No. 293/KMK09/1993, yang dimaksudkan piutang macet yaitu piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang hutang sebagaiman mestimya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Jika, piutang macet merupakan piutang Negara termasuk tagihan bank-banak pemerintah maka, penyeslesaiannya melalui Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) dan jika piutang tersebut milik bank swasta atau perseorangan termasuk juga badan hukum-badan swasta maka, penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Sertifikat hak tanggungan diterbitkan oleh kepala badan pertanahan nasional dan juga dapat langsung dimohonkan eksekusi jika, memuat irah-irah dengan kata-kata “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, irah-irah tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini disesuaikan dengan bagian ke-II dari nomor 9 memori penjelasan bagian hukum atas Undang-undang hak tanggungan tahun 1996 yang menjelaskan lebih lanjut bahwa sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hak tanggungan dibutuhkan pencantuman irah-irah tersebut.
Menurut pasal 14 ayat 2 yaitu dinyatakan bahwa kata-kata sacral “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial dengan kekuatan hukum tetap dan dinyatakan berlaku sebagai pengganti grosse akte hipotek sepanjang mengenaii hak atas tanah. Dalam undang-undang hak tanggungan yaitu tentang eksekusi belum diatur, maka peraturan mengenai eksekusi hipotek yang diatur dalam HIR dan RB yang berlaku sebagai eksekusi hak tanggungan, memang bahwa sejak lahirnya undang-undang hak tanggungan.

E. Hipotik
1.      Pengertian Hipotek
Istilah hipotek berasal dari hukum Romawi, yaitu “hypotheca”. Istilah itu diambil alih oleh KUHPer, di dalam UUPA istilah hipotek tidak dipergunakan, sebagai gantinya dipergunakan istilah “hak tanggungan”. Istilah hipotek tetap dipergunakan oleh Undang-Undang Rumah Susun No. 16 Tahun 1985 (UURS), Undang-Undang Perumahan dan Permukiman No. 4 Tahun 1992 (UUPP), KUH Dagang mengenai hipotek kapal terdaftar, dan Undang-Undang Penerbangan (UUP). Perbedaan istilah ini menumbuhkan kerancuan bagi masyarakat. Sangat disayangkan bahwa pembentuk UU melupakan asas konsistensi dalam penyusunan UU. Dalam KUHPer pasal 1162, Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.

2.      Sifat Hipotek
Hipotek mengandung sifat hak kebendaan, karena hipotek merupakan subsistem dari hukum benda. Untuk mencari sifat hipotek, harus dicari di dalam sifat hukum benda.

3.      Objek Hipotek
Yang dapat dijadikan objek hipotek adalah sebagai berikut:
a.   Hak milik;
b.   Hak guna bangunan;
c.   Hak guna usaha;
d.   Rumah susun yang terletak di atas hak milik, atau hak guna bangunan;
e.   Satuan rumah susun yang terletak di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan;
f.    Perumahan yang terletak di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan;
g.   Kapal yang berbobot 20m³;
h.   Pesawat udara.

Namun, lembaga hipotek pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa kapal laut berukuran bobot 20m³ atau lebih sesuai dengan ketentuan pasal 314 KUH Dagang dan UU No. 21 tahun 1992 tentang pelayaran, dengan mengacu antara lain kepada ketentuan hipotek yang tercantum dalam KUH Perdata. Pengikatan kapal laut melalui hipotek memberikan kepastian hukum bagi kreditur sesuai dengan dibuatnya akta dan sertifikat hipotek yang dalam praktek pelaksanaannya adalah berupa akta hipotek berdasarkan perjanjian pinjaman dan akta kuasa memasang hipotek.
Sedangkan mengenai hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 yaitu tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Pemberiannya yang menimbulkan hubungan hukum tentang hutang piutang yang dijamin pelunasannya.

4.      Para Pihak Yang Terlibat
Di dalam perjanjian hipotek terdapat dua pihak, yaitu pemberi  dan penerima hipotek. Di dalam KUH Perdata tidak terdapat batasan tentang pemberi hipotek. Akan tetapi, di dalam UUPA, UURS, dan UUPP terdapat batasan itu, dalam kaitannya dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap hak atas tanah.
Pemberi hipotek atas tanah hak milik adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Badan-badan hukum yang boleh mempunyai hak milik (PP No. 38 tahun 1963 LN 1963 No. 61) adalah sebagai berikut:
1.   Bank-bank yang didirikan oleh pemerintah;
2.   Perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No. 79 tahun 1958;
3.   Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri (dahulu oleh Menteri Pertanian dan Agraria) setelah mendengar Menteri Agama;
4.   Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian dan Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri) setelah mendengar Menteri Sosial;
5.   Wewenang menguasai (beschikkingsbevoegdheid) pemberi hipotek.

Di dalam KUH Perdata disebutkan bahwa hipotek tidak dapat diletakkan selainnya oleh yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani. (pasal 1168 KUH Perdata). Ketentuan ini merupakan realisasi pasal 584 KUH Perdata yang mengatakan “hak milik atas sesuatu kebendaan tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata; untuk memindahkan hak milik dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.
Dapat disimpulkan bahwa yang dapat menjadi pemberi hipotek hak atas tanah terdaftar adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Yang dapat memberikan hipotek hak guna usaha adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia.

5.      Terjadinya Hipotek
a.       Tiga Fase Terjadinya Hipotek
Fase pertama:perjanjian untuk memberikan hipotek. Dalam fase ini para pihak sepakat, dimana pihak debitur berjanji untuk suatu pinjaman uang, debitur memberikan hipotek kepada kreditur.
Fase kedua:  perjanjian pemberian atau pembebanan hipotek. Akta ini ditandatangani oleh para  pihak, para saksi dan pejabat, dibuat sebanyak  yang diperlukan untuk ppat sendiri dan seksi pendaftaran tanah.
Fase ketiga:  pendaftaran hipotek. Akta hipotek harus didaftar (pasal 2 PMA 15 tahun 1961). Pendaftaran hipotek diperlukan karena mempunyai kekuatan sebagai alat pembuktian yang kuat (pasal 19 ayat 2 UUPA) eksistensi hipotek lahir pada saat pendaftaran dilakukan.



b.      Sertifikat
Mengacu kepada UURS, maka yang disebutkan sertifikat hipotek adalah salinan buku tanah hipotek dan salinan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tanggal buku tanah hipotek adalah tanggal yang ditetapkan tujuh hari setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya oleh kantor pertanahan atau jika hari itu pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan harus diberi tanggal hari kerja berikutnya. Sertifikat mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan sebagai putusan pengadilan (pasal 14). Sertifikat hipotek adalah merupakan alat bukti yang kuat dari eksistensi hipotek.


c.       Kuasa Memasang Hipotek
Di dalam praktik perbankan selalu terjadi bahwa akta PPAT yang mengandung perjanjian pemberian hipotek, karena beberapa alasan tertentu, tidak diteruskan dengan pendaftaran hipotek, akan tetapi dilanjutkan dengan membuat Surat Kuasa Memasang Hipotek (SKMH). Kuasa ini menurut pasal 1171 ayat 2 KUH Perdata harus dibuat dengan suatu akta autentik. Di dalam sistem UUPA, akta autentik ini tidak ditafsirkan dengan akta PPAT, akan tetapi dengan akta notaris.

6.      Janji-Janji Hipotek
Di dalam akta hipotek dapat diadakan janji yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur. Janji ini ada empat yang harus secara tegas dicantumkan dalam akta hipotek, yaitu:

1.   Janji yang memberikan kuasa kepada kreditur untuk menjual benda jaminan dengan kekuasan sendiri (beding van eigenmachtige verkoop). Pasal 1178 KUH Perdata.
2.   Janji sewa (huurbeding), pasal 1185 KUH Perdata.
3.   Janji asuransi (assurantiebeding), pasal 297 KUH Dagang.
4.   Janji untuk tidak dibersihkan (beding van niet zuivering) pasal 1210 KUH Perdata.

7.      Tingkat-Tingkat Hipotek
Di atas telah dikemukakan bahwa hipotek adalah hak kebendaan. Hak kebendaan ini lahir pada saat akta hipotek itu didaftar dalam buku tanah. Benda hipotek dapat dibebani dengan beberapa hipotek. Bertitik tolak dari saat pendaftaran dilakukan maka lahirlah tingkat pemegang hipotek yaitu pemegang hipotek pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Tingkat-tingkat merupakan realisasi dari suatu asas yaitu mendahulukan hak yang lebih tua dari yang lebih muda.
Aturan pokok tentang tingkat hipotek terdapat dalam pasal 1182 KUH Perdata. Ketentuan itu berkata “tingkat-tingkat orang-orang berpiutang dengan jaminan hipotek ditentukan menurut tanggal pembukuan mereka”. Jadi, prioritas pertama  adalah pada pemegang hipotek pertama.

8.      Hapusnya Hipotek
Undang-undang menyebutkan tiga cara hapusnya hipotek. Menurut pasal 1209 KUH Perdata hipotek hapus:
a.       Karena hapusnya perikatan pokok;
b.      Karena pelepasan hipoteknya oleh kreditur;
c.       Karena penetapan tingkat oleh hakim.

9.      Pencoretan (Roya)
Jika hipotek dihapus, maka dilakuakn pencoretan (roya) terhadap pendaftran hipotek. Jika tidak, maka publik tidak akan mengetahui posisi hapusnya hipotek, sehingga terdapat kesulitan untuk mengalihkan atau pun membebani kembali benda tersebut. Pencoretan itu dilakukan dengan izin para pihak yang berkepentingan atau menurut suatu putusan hakim yang dijatuhkan dalam tingkat penghabisan atau yang telah memperoleh kekuatan mutlak (pasal 1195 ayat KUH Perdata). Kantor badan pemerintah mencatat hapusnya hak tanggungan (hipotek), jika kepadanya disampaikan surat tanda bukti penghapusan (pasal 29 ayat 2 PP 10 tahun 1961).

10.  Eksekusi Hipotek
Jika di dalam suatu perjanjian kredit, debitur ingkar janji, benda hipotek dijual di depan umum dan hasil dari penjualan itu diserahkan kepada debitur sebagai pelunasan utang. Pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata mengatakan sebagai berikut “kreditur hipotek  pertama, pada waktu pembebanan hipotek boleh mensyaratkan dalam hal utang poko atau bunga yang terutang tidak dibayar, maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual benda hipotek itu di muka umum agar hasilnya dapat untuk melunasi  jumlah utang pokok, bunga, dan biaya”.







BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum jaminan yaitu kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi.
Jaminan dalam pengertian bahasa kita sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung pinjaman uang terhadap seseorang.

Penggolongan jaminan hutang dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu :
a. Berdasarkan sifatnya yaitu jaminan  yang bersifat umum, khusus, kebendaan dan perorangan
b. Berdasarkan Ojek atau Bendanya yaitu benda bergerak (berwujud dan tak berwujud), dan benda tak bergerak
c. Berdasarkan kejadian/terjadinya yaitu Jaminan yang lahir karena UU dan jaminan yang lahir karena perjanjian.

2. Saran

            Dalam melakukan kegiatan pinjam-meminjam sebaiknya di landasi dengan jaminan, karena dengan adanya jaminan para kreditur mendapatkan sarana perlindungan bagi keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur. Jadi, marilah kreditur dan debitur melakukan sebuah jaminan dalam proses peminjaman atau hutang.








DAFTAR PUSTAKA

Bahsan,M.2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada
Latif,Azharudin. Nahrowi. 2009. Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
Fuady, Munir. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung: PT. Aditya Bakti
H.S., Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Widjaja, Gunawan. Yani, Ahmad. 2001. Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada




1 komentar:

Iklan Bawah Artikel