MAKALAH
TENTANG HUKUM JAMINAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia
dalam menjalani kehidupannya membutuhkan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut setiap individu harus mendapatkannya dengan
melakukan pembelian, meminjam atau pun dengan sistem barter. Untuk membeli dan
meminjam saat ini memang sangat sering dilakukan dan dimungkinkan terjadi.
Untuk barter mungkin terjadi tetapi saat ini sistem tersebut jarang
sekali dipergunakan. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia dalam usaha pemenuhan
kebutuhan sehari-hari setiap orang memiliki berbagai cara sesuai dengan
perkembangan kehidupan saat ini, misalnya pinjam-meminjam. Ketika terjadi
hubungan pinjam meminjam maka timbullah hak dan kewajiban, ketika terjadi wan
prestasi maka disinilah timbulnya pemikiran mengenai apa yang dinamakan
jaminan.
Dalam pelaksanaan penjaminan juga
diperhatikan para pelaku yang harus sesuai dengan hukum atau peraturan yang
telah ditentukan. Yaitu hukum jaminan yang merupakan ketentuan yang mengatur
dengan penjaminan dalam rangka hutang piutang yang dapat terbagi dalam berbagai
bentuk yang telah berlaku saat ini.
Penjaminan adalah sebagai prinsip
kehati-hatian pihak pemberi kredit dan juga menunjukkan kesungguhan dari
penerima kredit dalam pemenuhan kewajibannya. Dengan dihubungkannya dengan
hukum jaminan, hal ini ditujukan untuk perlindungan pihak-pihak yang
berkepentingan. Hukum di Indonesia beragam dengan menyesuaikan dengan apa yang
diatur didalamnya, tidak luput juga mengenai hukum jaminan. Mengenai hukum
jaminan diatur dalam beberapa undang-undang diantaranya KUHPerdata, KUH Dagang, dan
undang-undang lainnya yang terkait dimana ditetapkan secara terpisah.
2. Rumusan
Masalah
1. Apakah pengertian hukum jaminan?
2. Apakah pengertian hukum jaminan menurut para
ahli?
3. Bagaimanakah penggolongan jaminan hutang?
4. Pembahasan ruang lingkup mengenai
borgtoch, Gadai, Jaminan Fidusia, Hak
Tanggungan, dan Hipotik?
3. Tujuan Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini kami memiliki tujuan yang ingin kami capai yaitu
1. Memberikan data
informasi mengenai aspek hukum yang terkait didalam beberapa
jaminan.
2.
Memberikan informasi hubungan antara hukum jaminan dengan beberapa
karakteristik khusus dalam jaminan tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Hukum Jaminan
Hukum
jaminan merupakan kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai
jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan
piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari
kita juga sudah sering mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian
bahasa kita sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian adanya suatu benda atau
barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung pinjaman uang terhadap
seseorang. Jadi pengertian jaminan secara umum yaitu suatu benda yang
dijadikan tanggungan bagi sebuah perjanjian hutang piutang antara kreditur dan
debitur. Berdasarkan pengertian-pengertian di
atas, unsur-unsur yang terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni
sebagai berikut:
1. Serangkaian dengan ketentuan hukum,
baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum
yang tidak tertulis. Ketentuan hukum dari jaminan yang tertulis adalah ketentuan
hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk yurisprudensi,
baik itu berupa peraturan yang original (asli) maupun peraturan yang derivatif
(turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis yaitu ketentuan
hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan
utang suatu jaminan.
2. Ketentuan hukum jaminan
tersebut yang mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan
penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak-pihak yang berutang dalam
suatu hubungan utang-piutang tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan
tertentu sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
3. Adanya jaminan yang akan diserahkan
oleh debitur kepada kreditur.
4. Pemberian jaminan yang
dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan untuk jaminan (tanggungan) bagi
pelunasan utang tertentu.
2. Pengertian Hukum Jaminan Pendapat Para Ahli
1. Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan
Hukum jaminan merupakan hukum yang mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas
kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan
.Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi
lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya
lembaga jaminan diharapkan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya
lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan jangka waktu lama dan bunga yang
relatif rendah. Sebenarnya apa yang telah dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen
Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan
dating. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan
yang sangat berkaitan dengan jaminan.
2. J satrio
Hukum jaminan merupakan peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditor
terhadap debitor. Definisi tersebut difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditor
semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.Padahal subjek kajian
hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata,tetapi juga erat
kaitannya dengan debitor.
3. Salim H.S
Hukum jaminan merupakan keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebebanan jaminan untuk
mendapatkan fasilitas kredit.
4. Prof. M. Ali Mansyur
Hukum jaminan yaitu hukum yang mengatur hubungan
hukum antara kreditor dan debitor yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas
pemberian kredit. Dari pendapat diatas kita dapat ditarik benang merah bahwa hukum
jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi
jamianan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai
jaminan.
3. Penggolongan Jaminan Hutang
Penggolongan jaminan hutang dapat
dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Penggolongan
Jaminan berdasarkan Sifatnya, yaitu:
o Jaminan yang bersifat Umum.
merupakan jaminan yang diberikan untuk kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPer, yaitu" segala harta/hak
kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun juga yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan
untuk semua perikatan perorangan".
o Jaminan yang bersifat Khusus.
merupakan jaminan yang diberikan
yaitu dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara
khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang atau kewajiban debitur, baik
secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu
saja.
o Jaminan yang bersifat Kebendaan dan
Perorangan.
Jaminan yang
bersifat kebendaan merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda
tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan atau bersifat kebendaan dapat dilembagakan
dalam bentuk: hipotek (Pasal 1162 KUHPer), Hak Tanggungan, gadai (pand), dan
fidusia. sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtoch
(personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga yaitu secara
perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan
usaha yang berbadan hukum.
b. Penggolongan jaminan
berdasarkan Objek atau Bendanya:
o Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak.
dikatakan benda bergerak, karena
sifatnya itu yang bergerak dan dapat di pindahkan atau dalam UU dinyatakan sebagai
benda yang bergerak, misalnya pengikatan hak terhadap benda bergerak. Jaminan dalam
bentuk benda bergerak dapat dibedakan atas benda bergerak yang berwujud, pengikatanya
dengan gadai (pand), dan fidusia, dan benda bergerak yang tidak berwujud, yang
pengikatannya dengan gadai (pand), cessie dan account revecieble.
o Jaminan dalam bentuk Benda Tidak
Bergerak.
merupakan jaminan yang berdasarkan sifatnya tidak
bergerak dan tidak dapat di pindah-pindahkan, sebagaimana yang diatur dalam
KUHPer. Pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk benda bergerak berupa hak
tanggungan (hipotek).
c. Penggolongan
jaminan berdasarkan Terjadinya:
o Jaminan yang lahir karena
Undang-undang.
merupakan jaminan yang telah ditunjuk
keberadaannya oleh undang-undang, tanpa adanya perjanjian dari para pihak,
sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 1131 KUHPer, seperti jaminan umum, hak
privelege dan hak retensi.
o Jaminan yang lahir karena
Perjanjian.
merupakan jaminan yang terjadi
karena adanya perjanjian antara para pihak-pihak sebelumnya, seperti gadai (pand),
fidusia, hipotek, dan hak tanggungan.
4. Pembahasan Ruang Lingkup
A. Borgtocht
(Penanggungan Hutang)
Seperti yang tercantum dalam KUHPer
pasal 1820, bahwa Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga
demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur,
bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Mengenai penanggungan hutang ini
diatur dalam KUHPer pasal 1820 sampai dengan 1850. Sedangkan pembagiannya akan
dibahas masing-masing bagian.
1. Ketentuan Dalam
Penanggungan Hutang
a. Penanggungan hutang adalah suatu perjanjian penjaminan
hutang yang sangat terkait kepada perorangan yang mengikatkan dirinya sebagai
jaminan atas hutang dari pihak yang mengikatkan dirinya disebut penanggung atau
penjamin.(KUHPer pasal 1820).
b. Penanggungan hutang sangat berkaitan dengan
perjanjian pokok yang sah. Perjanjian pokok
misalnya berupa perjanjian pinjaman yang disepakati oleh pihak peminjam dengan
pihak pemberi pinjaman. Perjanjian penanggungan hutang bukan suatu perjanjian
pokok. Sehubungan dengan itu dalam hukum perikatan sebagaimana yang telah
dikemukakan para ahli dikatakan bahwa adanya perikatan pokok dan perikatan
turutan. Perjanjian penanggungan hutang adalah perjanjian turutan. Contoh
lainnya adalah perjanjian kredit sebagai perikatan pokok dan sedangkan
perikatan jaminan adalah perikatan turutan. (KUHPer pasal 1821).
c. Perikatan penanggungan hutang para penanggung
berpindah kepada ahli warisnya. (KUHPer pasal 1826)
d. Peminjam yang diwajibkan memberikan seorang
penanggung harus mengajukan seorang yang mempunyai kecakapan hukum untuk
mengikatkan dirinya, cukup mampu untuk memenuhi perikatannya dan berdiam di
Indonesia. (KUHPer pasal 1827)
e. Penanggung tidak diwajibkan membayar kepada pemberi
pinjaman selainnya jika pihak peminjam lalai, sedangkan harta pihak peminjam
adalah yang terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi semua hutangnya.
(KUHPer pasal 1831). Dalam hal ini disebutkan hak istimewa untuk penanggung.
Penanggung dalam membuat perjanjian penanggungan hutang seharusnya
memperhatikan ketentuan hak istimewa penanggung tersebut sehingga sepenuhnya
menyadari kedudukan dan kewajibannya jika pihak peminjam ingkar janji kepada pihak
pemberi pinjaman.
f. Penanggung tidak dapat menuntut supaya harta
pihak peminjam lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya.
- Apabila ia telah
melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya harat pihak peminjam lebih
dahulu disita dan dijual
- Apabila telah
mengikatkan dirinya bersama-sama dengan pihak peminjam utama secara
tanggung-menanggung, yang akibat-akibat perikatannya diatur menurut azas-azas
yang ditetapkan untuk hutang tanggung menanggung.
- Jika pihak
peminjam dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri
secara pribadi.
-
Jika pihak peminjam berada di dalam keadaan pailit
-
Dalam halnya penanggungan yang diperintahkan oleh hakim. (KUHPer pasal 1320)
2. Akibat-akibat
Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Hal ini seperti yang dituliskan dalam KUHPer pasal
1831 sampai dengan pasal 1838 seperti berikut:
a. Penanggung
tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya,
dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih
dahulu untuk melunasi utangnya.
b. Penanggung
tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual
untuk melunasi utangnya:
-
bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut, maka barang-barang debitur
lebih dahulu disita dan dijual;
-
bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara
tanggung-menanggung, dalam hal itu, maka akibat-akibat perikatannya diatur menurut
asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung;
-
jika debitur bisa mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya
sendiri secara pribadi;
-
dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim.
c. Kreditur
tidak wajib menyita dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitur, kecuali
bila pada waktu pertama kalinya dituntut dimuka hakim, penanggung mengajukan
permohonan itu.
d. Penanggung
yang menuntut agar barang kepunyaan debitur disita dan dijual lebih dahulu
wajib menunjukkan barang kepunyaan debitur itu kepada kreditur dan membayar
lebih dahulu biaya-biaya untuk penyitaan dan penjualan tersebut.
3.
Akibat-akibat Dari Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan antara Para
Penanggung Sendiri
Ini seperti tertera dalam KUHPer pasal 1839 sampai dengan pasal 1844
berikut ini:
a. Penanggung
yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur
utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa
setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini bisa dilakukan baik mengenai
uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.
b. Penanggung
yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum, menggantikan kreditur dengan
segala haknya terhadap debitur semula.
c. Bila
beberapa orang bersama-sama memikul satu utang utama dan masing-masing terikat
untuk seluruh utang utama tersebut, maka orang yang mengajukan diri sebagai
penanggung untuk mereka semuanya, dapat menuntut kembali semua yang telah
dibayarnya dari masing-masing debitur tersebut.
d. Penanggung
yang telah membayar utangnya sekali, tidak dapat menuntutnya kembali dari debitur
utama yang telah membayar untuk kedua kalinya bila ia tidak memberitahukan
pembayaran yang telah dilakukan itu kepadanya, hal ini tidak akan mengurangi haknya
untuk menuntutnya kembali dari kreditur.
4.
Hapusnya Penanggungan Utang
Mengenai hapusnya penanggungan hutang tertera dalam KUHPer pasal 1845
sampai dengan 1850 sebagai berikut:
a. Perikatan
yang timbul karena penanggungan. hapus karena sebab-akibat yang sama dengan yang
menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya.
b. Percampuran
utang yang terjadi di antara debitur utama dan penanggung utang, bila yang satu
menjadi ahli waris dari yang lain, sekali-kali tidak menggugurkan tuntutan
hukum kreditur terhadap orang yang telah mengajukan diri sebagai penanggung
dari penanggung itu.
c. Terhadap
kreditur itu, penanggung utang dapat menggunakan segala tangkisan yang dapat
dipakai oleh debitur utama dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri. Akan
tetapi, ia tidak boleh mengajukan tangkisan yang semata-mata mengenai atau mengarah pribadi
debitur itu.
d. Penanggung
dibebaskan dari kewajibannya bila atas kesalahan kreditur ia tidak dapat lagi
memperoleh hak hipotek dan hak istimewa kreditur itu sebagai penggantinya.
B. Gadai
1. Peranan Pegadaian
Tugas pokok Perum Pegadaian adalah
memberi pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak
dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan non formal yang cenderung memanfaatkan
kebutuhan dana mendesak dari masyarakat. Masyarakat yang sedang memerlukan
pinjaman atau pun mengalami kesulitan keuangan cenderung dimanfaatkan oleh
lembaga keuangan seperti lintah darat dan pengijon untuk mendapatkan sewa dana
atau bunga dengan tingkat bunga yang sangat tinggi.
2. Kegiatan Usaha
Pegadaian
Perum Pegadaian mempunyai kegiatan
usaha diantaranya sebagai berikut :
a. Penghimpunan
Dana
o Dana yang diperoleh oleh Perum Pegadaian untuk
melakukan kegiatan usahanya berasal dari Pinjaman jangka pendek dari Perbankan
-
Pinjaman jangka pendek dari pihak lainnya
-
Penerbitan obligasi
-
Modal sendiri
b. Penggunaan Dana
Dana yang telah berhasil dihimpun
kemudian akan digunakan untuk mendanai kegiatan usaha Perum Pegadaian. Dana-dana tersebut
antara lain digunakan untuk hal-hal berikut ini :
o Uang kas dan dana likuid lain
o Pembelian dan pengadaan berbagai
macam bentuk aktiva tetap dan inventaris.
o Pendanaan kegiatan operasional
o Penyaluran dana
Penggunaan dana yang utama yaitu
untuk disalurkan dalam bentuk pembiayaan atas dasar hukum gadai. Lebih dari 50 persen dana yang telah dihimpun oleh Perum Pegadaian tertanam dalam bentuk aktiva
ini, karena memang ini merupakan kegiatan utamanya. Penyaluran dana tersebut
diharapkan akan dapat menghasilkan penerimaan dari bunga yang dibayarkan oleh
nasabah. Penerimaan inilah yang akan merupakan penerimaan utama bagi Perum Pegadaian
dalam menghasilkan keuntungan.
o Investasi lain
Kelebihan dana atau idle fund, yang
belum diperlukan untuk mendanai kegiatan operasional maupun penyaluran dana
belum dapat disalurkan kepada masyarakat, dapat ditanam dalam berbagai macam
bentuk investasi jangka pendek dan menengah. Investasi ini dapat menghasilkan penerimaan
bagi Perum Pegadaian, namum penerimaan ini bukan merupakan penerimaan utama
yang diharapkan oleh Perum Pegadaian.
c. Produk dan Jasa
Perum Pegadaian
Produk dan jasa yang ditawarkan oleh
Perum Pegadaian kepada masyarakat yaitu meliputi sebagai berikut :
o Pemberian pinjaman atas dasar hukum
gadai
o Penaksiran nilai barang
o Penitipan barang
o Jasa lainnya
3. Pengertian Gadai
Menurut kitab Undang-undang Hukum
Perdata pasal 1150, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai
jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang atau kekuasaan kepada kreditur untuk
mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui
kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan
putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya
penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan
yang harus didahulukan.. Barang tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang tersebut memberikan kekuasaan
kepada orang berpiutang untuk menggunakan barang yang telah diserahkan untuk
melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya
pada saat jatuh tempo.
4. Jenis-Jenis Barang
Yang Dapat Digadaikan
Pada dasarnya hampir semua barang yang
bergerak dapat digadaikan di Pegadaian dengan pengecualian untuk barang-barang
tertentu. Barang-barang yang dapat digadaikan meliputi :
a. Barang Perhiasan: Perhiasaan yang
terbuat dari emas, perak, platina, intan, mutiara dan batu mulia.
b. Kendaraan: Mobil,
sepeda motor, sepeda, becak, bajaj,dll
c. Barang elektronik: Kamera, lemari
es, Freezer, Radio, Tape Recorder, Video Player, Televisi, Komputer, Laptop,
Handphone,dll
d. Barang Rumah Tangga:
Perlengkapan dapur, peralatan makan,dll
e. Mesin-Mesin:
Mesin jahit, mesin kapal motor
f. Tekstil: Berupa
pakaian, permadani atau kain batik/sarung
g. Barang lain yang juga dianggap bernilai oleh
Perum Pegadaian
C. Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan
Fidusia
Fidusia manurut asal katanya berasal
dari “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan artinya kata ini, maka
hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur
(penerima fidusi) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.
Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia akan mau mengembalikan hak milik
barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima
fidusia juga percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan
yang berada dalam kekuasaannya.
Pasal 1 Undang-undang tentang
Fidusia memberikan batasan dan juga pengertian yaitu sebagai berikut: “Fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik
benda.”
“Jaminan fidusia adalah hak jaminan
atas benda yang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan
fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang akan tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia, sebagai agunana bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur
lainnya.”
Dari defenisi yang diberikan di
atas, jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, dimana fidusia
merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah
jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan
fidusia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ini adalah pranata
jaminan fidusia sebagaimana dimaksud fiducia cum creditore contracta di atas.
2. Pembebanan Jaminan
Fidusia
Pasal 4 UUJF menyatakan bahwa jaminan
fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang
dimaksud prestasi di sini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau
tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Pembebanan benda dengan
Jaminan Fidusia diatur Pasal 5 yaitu sebagai berikut :
a. Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat
dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia;
b. Terhadap pembuatan Akta jaminan
fidusia dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Selanjutnya Akta Jaminan Fidusia diharuskan memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
- Haruslah berupa akta notaris;
- Haruslah dibuat dalam bahasa Indonesia;
- Harus berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
- Identitas dari pihak pemberi fidusia: Nama
lengkap, agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat lahir tanggal lahir,
jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan;
- Identitas dari pihak
penerima fidusia, yakni tentang dana seperti tersebut di atas;
- Diharuskan mencantumkan
hari, tanggal, dan jam pembuatan akta fidusia;
- Data perjanjian pokok
yang dijamin dengan fidusia;
- Uraian mengenai benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, yaitu tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti
kepemilikan. Jika benda selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan
(inventory) maka haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda
tersebut.
- Berapa nilai
penjaminannya;
- Berapa nilai benda yang akan
menjadi objek jaminan fidusia;
3. Pendaftaran Jaminan
Fidusia
Pendaftaran jaminan fidusia diatur
pada Pasal 11 yang bunyinya:
a. Benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan;
b. Dalam hal benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia, kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.
Yang berhak mengajukan permohonan
pendaftaran jaminan fidusia yaitu penerima fidusia, kuasa ataupun wakilnya,
dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia, yang memuat:
a. Identitas
pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia;
b. Tanggal dan nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat
kedudukan Notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia;
c. Data perjanjian pokok yang dijamin
Fidusia;
d. Uraian mengenai benda yang akan menjadi
objek jaminan Fidusia;
e. Nilai penjaminan dan;
f. Nilai benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia.
Dalam sertifikat Jaminan Fidusia telah
dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Sertifikat tersebut mempunyai eksekutorial yang dipersamakan dengan
putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya yaitu
sertifikat Jaminan Fidusia ini dapat langsung dieksekusi tanpa melalui proses
persidangan dan pemeriksaan melalui Pengadilan dan bersifat final serta
mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 5
Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, dinyatakan bahwa dalam hal
terdapat kekeliruan penulisan dalam sertifikat Jaminan Fidusia yang telah
diterima oleh pemohon, maka dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh)
hari setelah diterimanya sertifikat tersebut, pemohon wajib memberitahukan
kepada kantor untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Penerbitan sertifikat
perbaikan tersebut tidak dikenakan biaya.
4. Hak Preferensi
Pemegang Fidusia
Ketentuan KUH Perdata di dalam pasal
1133 (hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya) hanya memberikan hak
preferensi kepada para kreditur pemegang :
a. Hipotek (untuk kapal laut dan
pesawat udara)
b. Gadai
c. Hak Tanggungan (hak jaminan atas
tanah)
d. Fidusia.
Hak preferensi dari penerima fidusia
telah diatur pada Pasal 27 ayat (2) UUJF, yang bunyinya, hak preferensi adalah
hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi
benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Mengenai kedudukan hak preferensi
daripada penerima fidusia jika debitur mengalami paylit atau likuidasi, telah
diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF, yang bunyinya: ”hak preferensi dari
penerima fidusia tidak hilang dengan pailit atau dilikuidasinya debitur.”
Menurut Munir Fuady, bahwa tidak ada
hak preferensi kepada penerima fidusia yang kedua dengan alasan sebagai
berikut:
a. Jika sistem pendaftarannya berjalan secara baik dan
benar, maka hampir tidak mungkin ada pendaftaran fidusia yang kedua;
b. Jika fidusia tidak mungkin didaftarkan, maka
fidusia yang tidak terdaftarkan tersebut sebenarnya tidak eksis, karena fidusia
dianggap lahir setelah didaftarkan;
c. Karena fidusia ulang memang
dilarang oleh Undang-Undang Fidusia No.42 Tahun 1999.
5. Pengalihan dan
Hapusnya Jaminan Fidusia
Pengalihan jaminan fidusia telah diatur
dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Pasal 19 UUJF, bunyinya yaitu:
a. Pengalihan hak atas piutang yang akan dijamin dengan
Fidusia bisa mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban
penerima fidusia kepada kreditur baru.
b. Beralihnya jaminan fidusia tersebut didaftarkan oleh kreditur
baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pengalihan hak atas hutang
(cession), merupakan pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik maupun
akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan mengalihkan yaitu antara lain termasuk
dengan menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya. Pengalihan hak
atas hutang dengan jaminan fidusia bisa dialihkan oleh penerima fidusia
kepada penerima fidusia baru (kreditur baru). Kreditur baru inilah yang akan
melakukan pendaftaran tentang beralihnya jaminan fidusia pada Kantor
Pendaftaran Fidusia.
Jadi pengalihan perjanjian pokok
dalam mana diatur hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia, mengakibatkan
beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur
baru. Selanjutnya kreditur baru harus mendaftarkan ke kantor pendaftaran
fidusia. Selain dapat dialihkan jaminan fidusia juga dapat hapus. Yang dimaksud
dengan hapusnya jaminan fidusia yaitu tidak berlakunya lagi jaminan fidusia.
Ada tiga hal yang menyebabkan hapusnya jaminan
fisudia, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, yaitu:
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia.
yang dimaksud hapusnya hutang yaitu antara lain karena pelunasan dan bukti
hapusnya hutang berupa keterangan yang dibuat kreditur;
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia
oleh penerima fidusia tersebut atau;
c. Musnahnya benda yang telah menjadi objek jaminan
fidusia. Musnahnya benda jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi.
Apabila hutang dari pemberi fidusia sudah dilunasi olehnya menjadi kewajiban penerima fidusia, kuasanya, atau
walaupun untuk memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran
Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia yang disebabkan karena hapusnya
hutang pokok. Pemberitahuan itu dilakukan paling lambat selama 7 hari setelah
hapusnya jaminan fidusia yang bersangkutan dengan dilampiri dokumen pendukung
tentang hapusnya jaminan fidusia. Dengan diterimanya pemberitahuan tersebut,
maka ada 2 hal yang perlu dilakukan Kantor Pendaftaran Fidusia, yaitu:
a. Pada saat yang
bersamaan mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku daftar fidusia; dan
b. Pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal
pencoretan jaminan fidusia dari buku daftar fidusia.
Hapusnya fidusia karena
musnahnya hutang yang dijamin dengan fidusia yaitu sebagai konsekuensi
dari sifat perjanjian jaminan Fidusia sebagai perjanjian ikutan/assesoir dari
perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang/kredit. Jadi, jika perjanjian
kreditnya lenyap karena alasan apapun maka jaminan fidusiapun ikut lenyap pula.
Hapusnya jaminan fidusia karena pelepasan hak oleh penerima fidusia adalah
wajar karena mengingat pihak penerima fidusia bebas untuk mempertahankan haknya atau
melepaskan haknya.
Dengan musnahnya objek jaminan
fidusia maka jaminan fidusia juga hapus karena tidak ada manfaatnya fidusia
dipertahankan jika objeknya musnah. Namun apabila benda yang menjadi objek
jaminan fidusia diasuransikan dan kemudian benda tersebut musnah karena sesuatu
sebab, maka hak klaim asuransi dapat dipakai sebagai pengganti benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dan diterima oleh penerima fidusia, karena
menurut Pasal 10 huruf dan Pasal 25 UUJF bahwa jaminan fidusia meliputi
klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia
diasuransikan, dan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia
tidak menghapus klaim asuransi.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UUJF
hapusnya jaminan fidusia wajib diberitahukan oleh kreditur penerima fidusia
kepada kantor penerima fidusia dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya
hutang, pelepasan hak atas jaminan fidusia atau musnahnya benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis dari ketentuan
Pasal 16 ayat (1) yang mengatur bahwa apabila terjadi perubahan mengenai
hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia. Penerima fidusia wajib
mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan-perubahan tersebut kepada kantor
pendaftaran fidusia. Dengan pemberitahuan tersebut Kantor Pendaftaran Fidusia akan
melakukan pencoretan pencatatan jaminan fidusia dari Buku Daftar Fidusia dan
menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat Jaminan Fidusia yang
bersangkutan tidak berlaku lagi.
6. Peraturan
Perundangan Tentang Jaminan Fidusia
Adapun peraturan perundangan tentang jaminan fidusia
adalah sebagai berikut:
a. UU Republik Indonesia No.42 tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia
b. UU No 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-bendanya yang Berkaitan
Dengan Tanah
c. Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2011
Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia
d. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia & Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
D. Hak Tanggungan
1.
Pengertian Hak Tanggungan
Hak
tanggungan merupakan hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana
di maksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain.
Dari
definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa hak tanggungan :
a. Merupakan hak jaminan untuk pelunasan hutang (kredit).
b. Dapat di bebankan pada hak atas tanah, dengan atau tanpa benda di
atasnya.
c. Menimbulkan kedudukan di dahulukan daripada kreditor-kreditor lain.
Pengertian
hak tanggungan sebagaimana yang telah dimuat dalam pasal 1 butir 1 UUHT di atas, sangat
dipengaruhi oleh asas pemisahan horizontal dalam hukum tanah berdasarkan UUPA.
Asas pemisahan horizontal tersebut menyebabkan hak atas tanah dapat dipisahkan
dengan hak atas benda-benda di atas tanah tersebut.
2. Sifat Hak Tanggungan.
Hak
tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam pasal 2
UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan ini akan
membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Artinya,Jika hutang (kredit)
yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru di lunasi sebagian,maka
Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Klausula yaitu “kecuali
jika diperjanjikan dalam APHT” dalam pasal 2 UUHT,dicantumkan dengan maksud
untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan
perkreditan. Dengan manggunakan klausula tersebut, maka sifat tidak dapat
dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan
bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka
pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besar
angsurannya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian
dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut.
Dengan demikian setelah suatu angsuran itu dibayarkan, maka Hak Tanggungan hanya akan
membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum
dilunasi
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
Di dalam
pasal 4 UUHT diatur tentang pelbagai macam hak atas tanah yang dapat di
ijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu:
a. Hak milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna
Bangunan;
d. Hak Pakai atas Tanah Negara,
yang menurut ketentuannya yang berlaku yaitu wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan;
e. Hak Pakai
atas Tanah Hak Milik, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Dengan
penjelasan umum dalam UUHT, disebut 2 unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat
dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu:
a. Hak tersebut sesuai ketentuan
yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum yang terdapat pada Kantor
Pertahanan;
b. Hak
tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan.
Berdasarkan
kedua unsur mutlak diatas, apabila hak milik sudah diwakafkan maka, hak milik
tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan. Karena sesuai dengan
hakekat perwakafan yaitu hak milik yang sudah diwakafkan merupakan hak milik
yang sudah dikekalkan sebagai hak milik keagamaan. Dengan demikian, maka semua hak
atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci
liannya tidak bisa dijadikan objek hak tanggungan, sedangkan hak guna bangunan
yang dapat dijadikan objek hak tanggungan yaitu meliputi hak guna bangunan diatas
tanah Negara, diatas hak pengelolaan maupun diatas tanah hak Negara. Adapun
mengenai hak pakai, sebelum ditentukan dalam UUHT ini tidak dapat dijadikan objek
jaminan pelunasan hutang, karena menurut UUPA hak pakai tidak termasuk hak-hak
atas tanah yang wajib didaftar, sehingga tidak memenuhi syarat
publisitas.
Sedangkan subyek hak tanggungan
adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian pembebanan hak tanggungan,
yaitu:
a. Pemberi hak
tanggungan (kreditur
Pemberi Hak Tanggungan merupakan orang
atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan. Kewenangan tersebut harus ada dalam pemberian Hak
Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 8 UUHT). Dari penjelasan
umum dalam UUHT antara lain dijelaskan bahwa pada saat pembuatan SKMHT dan APHT,
harus sudah ada keyakinan(percaya) kepada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa
pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan. Meskipun kepastian mengenai
dimilikinya suatu kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak
Tanggungan itu didaftar.
b. Penerima hak
tanggungan (debitur)
Pemegang Hak Tanggungan yaitu orang
atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9
UUHT). Karena Hak Tanggungan sebagai lembaga hak atas tanah tidak mengandung suatu
kewenagan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan
pemberi Hak Tanggungan kecuali dalam keadaan yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf c, pemegang Hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara
Indonesia atau Badan Hukum Indonesia atau Warga Negara Asing atau Badan Hukum
Asing.
4. Sifat Hak Tanggungan
Adapun sifat-sifat dari Hak Tanggungan adalah:
a. Hak
Tanggungan akan memberikan hak preferent (droit de preferent), atau kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (Pasal
6).
b. Hak
Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi kecuali telah diperjanjikan (Pasal 2 UUHT).
c. Hak
Tanggungan untuk menjamin kewajiban(utang) yang sudah ada atau yang akan ada. (Pasal 4
ayat (4)
d. Hak
Tanggungan mempunyai sifat doit de suite yaitu (selalu mengikuti bendanya, ditangan
siapapun benda tersebut berada).(Pasal 7)
e. Hak
Tanggungan ini dibebankan kepada hak atas tanah saja.
f. Hak
Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.
g. Hak
Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.
h. Objek
Hak Tanggungan berupa hak atas tanah, sebagaimana yang telah dimaksud dalam UUPA/UU
No 5 Tahun 1960, yaitu meliputi: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna
Usaha.
5. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan
Setelah
terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara kreditor dan
debitor, maka ada beberapa tindakan yang harus dilakukan yaitu :
a. membuat perjanjian yang akan
menimbulkan hutang piutang (atara lain berupa perjanjian pemberian kredit atau
akad kredit) yang pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan;
b. membuat perjanjian pemberian hak tanggungan yang dituangkan kedalam akte
pemberian hak tanggungan (APHT) oleh notaris / PPAT.
c. melakukan pendaftaran hak
tanggungan pada kantor pertanahan yang sekaligue merupakan saat lahirnya hak
tanggungan yang dibebankan.
Perjanjian
yang menimbulkan hutang piutang (antara lain perjanjian pemberian kredit yang
dijamin dengan hak tanggungan dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau
dengan akte otentik. Perjanjian ini merupakan suatu perjanjian pokok, sedangkan
perjanjian pemberian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan (accessoir)
pada perjanjian pokok. Dalam pemberian hak tanggungan, maka pemberi hak tanggungan juga
wajib hadir dihadapan PPAT.
Menurut
pasal 5 UUHT, objek hak tanggungan tersebut dapat dibebani dengan lebih dari satu
hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Pemilik tanah
atau juga persil yang telah menjaminkan tanah atau persilnya, dapat menguasai tanah
itu atau menjualnya, karena hak tanggungan akan tetap melekat membebani tanah
ditangan siapapun tanah itu berpindah.
Menurut pasal 11 UUHT, mungkin akan mencantumkan janji-janji dalam APHT. Janji-janji yang dicantumkan harus bersifat fakultatif dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT. Pihak-pihak bebasan menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam APHT. Pemuatan janji-janji tersebut dalam APHT kemudian didaftarkna pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:
Menurut pasal 11 UUHT, mungkin akan mencantumkan janji-janji dalam APHT. Janji-janji yang dicantumkan harus bersifat fakultatif dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT. Pihak-pihak bebasan menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam APHT. Pemuatan janji-janji tersebut dalam APHT kemudian didaftarkna pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:
a. Janji yang membatasi kewenangan
pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan/atau
menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka,
kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
b. Janji yang membatasi kewenangan
pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak
tanggungan kecuali, dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan.
c. Janji yang memberi wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk mengelola
objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh
ingkar janji.
d. Janji yang memberikan suatu wewenang
pada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan objek hak tanggungan, jika hal
itu diperlukab untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya
atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan karena tidak dipenuhi
atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
6.
Hak
Previlege
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan keistimewan atau piutang
yang lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam hal ada pelelangan
(executie) dari harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi kepailitan. Hak
untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang menurut ketentuan Pasal 1133
KUHPer timbul dari hak istimewa (privilege), disamping dari gadai dan hipotek.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPer mengatakan hal-hal sebagai berikut:
a. Hak
istimewa (privilege) adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
b. Gadai
dan Hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam
halhaldimana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan undang-undang
terhadapseseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai dan
Hipotek.Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
a. Privilege
khusus yang tercantum dalam Pasal 1139 KUHPer ada 9, merupakanprivilege yang
diberikan terhadap benda-benda tertentu dari debitur.
b. Privilege
umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPer ada 7, merupakan privilegeyang diberikan
terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
Privilegeumum (Pasal 1138 KUHPer) dan tidak ditentukan urutannya, maksudnya
walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan adanya urutan;
sedangkan Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih dahulu
disebut, dengan sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a. Privilege
baru ada kalau terjadi penyitaan barang dan hasil penjualannyatidak cukup untuk
membayar seluruh hutang kepada kreditur.
b. Privilege
tidak memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda
c. Merupakan
hak terhadap benda debitur
d. Merupakan
hak untuk didahulukan dalam pelunasannya.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPer sejajar dengan hak
kebendaan.Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit de suite dan
merupakan hakyang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotek. Namun
para sarjanamenganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam Hukum
Acara pedatayang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur dan
dalam hal debiturjatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan sebab hak perorangan
itutimbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya, jual beli, sewa menyewa
danlain-lain, sedangkan Privilege timbul bila barang-barang yang disita tidak
mencukupiuntuk langsung melunasi hutang. Disamping itu hak perongan lansgsung
memberikansuatu tuntutan/tagihan terhadap seseorang, sedangkan pada Privilage
baru adatuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotek dengan Privilege adalah kalau Gadai
dan Hipotek adalah
karena diperjanjikan sedangkan Privilege diberikan/ditentukan oleh
Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotek lebih didahulukan daripada
Privilege,kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh Undang-undang (Pasal
1134 ayat (2), 1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPer); antara Gadai dan
Hipotek tidak dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab Gadai berkaitan
dengan bendabergerak sedangkan Hipotek mengenai benda tidak bergerak.
Selanjutnya padaGadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai terhadap
piutang apapunjuga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan
Privilege itu padahubungan-hubungan hukum tertentu.
7. Eksekusi Hak Tanggungan.
Apabila
debitur tidak memenuhi janjinya, yakni tidak melunasi hutangnya pada waktu yang
telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 20 UUHT pemegang hak tanggungan
pertama atau pemegang sertifikat hak tanggungandengan title eksekutorial yang
tercantum dalam sertifikat hak tanggungan tersebut, maka berhak menjual objek hak
tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan
dengan hak didahulukan dari kreditor-kreditor lain.
Menurut pasal 1 butir 2 keputusan menteri keuangan No. 293/KMK09/1993, yang dimaksudkan piutang macet yaitu piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang hutang sebagaiman mestimya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Jika, piutang macet merupakan piutang Negara termasuk tagihan bank-banak pemerintah maka, penyeslesaiannya melalui Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) dan jika piutang tersebut milik bank swasta atau perseorangan termasuk juga badan hukum-badan swasta maka, penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Menurut pasal 1 butir 2 keputusan menteri keuangan No. 293/KMK09/1993, yang dimaksudkan piutang macet yaitu piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang hutang sebagaiman mestimya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Jika, piutang macet merupakan piutang Negara termasuk tagihan bank-banak pemerintah maka, penyeslesaiannya melalui Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) dan jika piutang tersebut milik bank swasta atau perseorangan termasuk juga badan hukum-badan swasta maka, penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Sertifikat
hak tanggungan diterbitkan oleh kepala badan pertanahan nasional dan juga dapat
langsung dimohonkan eksekusi jika, memuat irah-irah dengan kata-kata “demi
keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, irah-irah tersebut memiliki
kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan yang sudah memiliki
kekuatan hukum tetap. Hal ini disesuaikan dengan bagian ke-II dari nomor 9 memori
penjelasan bagian hukum atas Undang-undang hak tanggungan tahun 1996 yang
menjelaskan lebih lanjut bahwa sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai
surat tanda bukti adanya hak tanggungan dibutuhkan pencantuman irah-irah
tersebut.
Menurut
pasal 14 ayat 2 yaitu dinyatakan bahwa kata-kata sacral “demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan memiliki
kekuatan eksekutorial dengan kekuatan hukum tetap dan dinyatakan berlaku
sebagai pengganti grosse akte hipotek sepanjang mengenaii hak atas tanah. Dalam
undang-undang hak tanggungan yaitu tentang eksekusi belum diatur, maka peraturan
mengenai eksekusi hipotek yang diatur dalam HIR dan RB yang berlaku sebagai
eksekusi hak tanggungan, memang bahwa sejak lahirnya undang-undang hak
tanggungan.
E. Hipotik
1.
Pengertian Hipotek
Istilah hipotek berasal dari hukum
Romawi, yaitu “hypotheca”. Istilah itu diambil alih oleh KUHPer, di
dalam UUPA istilah hipotek tidak dipergunakan, sebagai gantinya dipergunakan
istilah “hak tanggungan”. Istilah hipotek tetap dipergunakan oleh Undang-Undang
Rumah Susun No. 16 Tahun 1985 (UURS), Undang-Undang Perumahan dan Permukiman
No. 4 Tahun 1992 (UUPP), KUH Dagang mengenai hipotek kapal terdaftar, dan
Undang-Undang Penerbangan (UUP). Perbedaan istilah ini menumbuhkan kerancuan
bagi masyarakat. Sangat disayangkan bahwa pembentuk UU melupakan asas
konsistensi dalam penyusunan UU. Dalam KUHPer pasal 1162, Hipotek adalah suatu
hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan
suatu perikatan.
2.
Sifat Hipotek
Hipotek mengandung sifat hak
kebendaan, karena hipotek merupakan subsistem dari hukum benda. Untuk mencari
sifat hipotek, harus dicari di dalam sifat hukum benda.
3.
Objek Hipotek
Yang dapat dijadikan objek hipotek
adalah sebagai berikut:
a. Hak milik;
b. Hak guna
bangunan;
c. Hak guna usaha;
d. Rumah susun yang
terletak di atas hak milik, atau hak guna bangunan;
e. Satuan rumah
susun yang terletak di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan;
f. Perumahan
yang terletak di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan;
g. Kapal yang
berbobot 20m³;
h. Pesawat udara.
Namun, lembaga hipotek pada saat ini
hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa kapal laut berukuran
bobot 20m³ atau lebih sesuai dengan ketentuan pasal 314 KUH Dagang dan UU No.
21 tahun 1992 tentang pelayaran, dengan mengacu antara lain kepada ketentuan
hipotek yang tercantum dalam KUH Perdata. Pengikatan kapal laut melalui hipotek
memberikan kepastian hukum bagi kreditur sesuai dengan dibuatnya akta dan
sertifikat hipotek yang dalam praktek pelaksanaannya adalah berupa akta hipotek
berdasarkan perjanjian pinjaman dan akta kuasa memasang hipotek.
Sedangkan mengenai hak tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 yaitu tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain. Pemberiannya yang menimbulkan hubungan hukum tentang hutang piutang yang
dijamin pelunasannya.
4.
Para Pihak Yang Terlibat
Di dalam perjanjian hipotek terdapat
dua pihak, yaitu pemberi dan penerima hipotek. Di dalam KUH Perdata tidak
terdapat batasan tentang pemberi hipotek. Akan tetapi, di dalam UUPA, UURS, dan
UUPP terdapat batasan itu, dalam kaitannya dengan syarat-syarat yang harus
dipenuhi terhadap hak atas tanah.
Pemberi hipotek atas tanah hak milik
adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Badan-badan hukum yang boleh mempunyai hak milik (PP No. 38 tahun 1963 LN 1963
No. 61) adalah sebagai berikut:
1. Bank-bank yang
didirikan oleh pemerintah;
2. Perkumpulan
koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No. 79 tahun 1958;
3. Badan-badan keagamaan, yang
ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri (dahulu oleh Menteri Pertanian dan Agraria)
setelah mendengar Menteri Agama;
4. Badan-badan sosial yang ditunjuk
oleh Menteri Pertanian dan Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri) setelah
mendengar Menteri Sosial;
5. Wewenang
menguasai (beschikkingsbevoegdheid) pemberi hipotek.
Di dalam KUH Perdata disebutkan
bahwa hipotek tidak dapat diletakkan selainnya oleh yang berkuasa memindahtangankan
benda yang dibebani. (pasal 1168 KUH Perdata). Ketentuan ini merupakan
realisasi pasal 584 KUH Perdata yang mengatakan “hak milik atas sesuatu
kebendaan tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan karena perlekatan,
karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut
surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa
perdata; untuk memindahkan hak milik dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat
bebas terhadap kebendaan itu.
Dapat disimpulkan bahwa yang dapat
menjadi pemberi hipotek hak atas tanah terdaftar adalah warga Negara Indonesia
dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia. Yang dapat memberikan hipotek hak guna usaha adalah warga Negara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia.
5.
Terjadinya Hipotek
a.
Tiga Fase Terjadinya Hipotek
Fase pertama:perjanjian untuk memberikan hipotek. Dalam fase ini para
pihak sepakat, dimana pihak debitur berjanji untuk suatu pinjaman uang, debitur
memberikan hipotek kepada kreditur.
Fase kedua: perjanjian pemberian atau pembebanan hipotek. Akta ini
ditandatangani oleh para pihak, para saksi dan pejabat,
dibuat sebanyak yang diperlukan untuk ppat sendiri dan seksi pendaftaran
tanah.
Fase ketiga:
pendaftaran
hipotek. Akta hipotek harus didaftar (pasal 2 PMA 15 tahun 1961). Pendaftaran
hipotek diperlukan karena mempunyai kekuatan sebagai alat pembuktian yang kuat
(pasal 19 ayat 2 UUPA) eksistensi hipotek lahir pada saat pendaftaran
dilakukan.
b. Sertifikat
Mengacu kepada UURS, maka yang
disebutkan sertifikat hipotek adalah salinan buku tanah hipotek dan salinan
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tanggal buku tanah hipotek adalah
tanggal yang ditetapkan tujuh hari setelah penerimaan secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya oleh kantor pertanahan atau
jika hari itu pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan harus diberi tanggal
hari kerja berikutnya. Sertifikat mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat
dilaksanakan sebagai putusan pengadilan (pasal 14). Sertifikat hipotek adalah
merupakan alat bukti yang kuat dari eksistensi hipotek.
c. Kuasa Memasang
Hipotek
Di dalam praktik perbankan selalu
terjadi bahwa akta PPAT yang mengandung perjanjian pemberian hipotek, karena
beberapa alasan tertentu, tidak diteruskan dengan pendaftaran hipotek, akan
tetapi dilanjutkan dengan membuat Surat Kuasa Memasang Hipotek (SKMH). Kuasa
ini menurut pasal 1171 ayat 2 KUH Perdata harus dibuat dengan suatu akta
autentik. Di dalam sistem UUPA, akta autentik ini tidak ditafsirkan dengan akta
PPAT, akan tetapi dengan akta notaris.
6.
Janji-Janji Hipotek
Di dalam akta hipotek dapat diadakan
janji yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur. Janji ini ada empat
yang harus secara tegas dicantumkan dalam akta hipotek, yaitu:
1. Janji yang memberikan kuasa kepada
kreditur untuk menjual benda jaminan dengan kekuasan sendiri (beding van
eigenmachtige verkoop). Pasal 1178 KUH Perdata.
2. Janji sewa (huurbeding),
pasal 1185 KUH Perdata.
3. Janji asuransi (assurantiebeding),
pasal 297 KUH Dagang.
4. Janji untuk
tidak dibersihkan (beding van niet zuivering) pasal 1210 KUH Perdata.
7.
Tingkat-Tingkat Hipotek
Di atas telah dikemukakan bahwa
hipotek adalah hak kebendaan. Hak kebendaan ini lahir pada saat akta hipotek
itu didaftar dalam buku tanah. Benda hipotek dapat dibebani dengan beberapa
hipotek. Bertitik tolak dari saat pendaftaran dilakukan maka lahirlah tingkat
pemegang hipotek yaitu pemegang hipotek pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Tingkat-tingkat merupakan realisasi dari suatu asas yaitu mendahulukan hak yang
lebih tua dari yang lebih muda.
Aturan pokok tentang tingkat hipotek
terdapat dalam pasal 1182 KUH Perdata. Ketentuan itu berkata “tingkat-tingkat
orang-orang berpiutang dengan jaminan hipotek ditentukan menurut tanggal
pembukuan mereka”. Jadi, prioritas pertama adalah pada pemegang hipotek
pertama.
8.
Hapusnya Hipotek
Undang-undang menyebutkan tiga cara
hapusnya hipotek. Menurut pasal 1209 KUH Perdata hipotek hapus:
a.
Karena hapusnya perikatan pokok;
b.
Karena pelepasan hipoteknya oleh kreditur;
c.
Karena penetapan tingkat oleh hakim.
9.
Pencoretan (Roya)
Jika hipotek dihapus, maka dilakuakn
pencoretan (roya) terhadap pendaftran hipotek. Jika tidak, maka publik
tidak akan mengetahui posisi hapusnya hipotek, sehingga terdapat kesulitan
untuk mengalihkan atau pun membebani kembali benda tersebut. Pencoretan itu
dilakukan dengan izin para pihak yang berkepentingan atau menurut suatu putusan
hakim yang dijatuhkan dalam tingkat penghabisan atau yang telah memperoleh
kekuatan mutlak (pasal 1195 ayat KUH Perdata). Kantor badan pemerintah mencatat
hapusnya hak tanggungan (hipotek), jika kepadanya disampaikan surat tanda bukti
penghapusan (pasal 29 ayat 2 PP 10 tahun 1961).
10. Eksekusi Hipotek
Jika di dalam suatu perjanjian
kredit, debitur ingkar janji, benda hipotek dijual di depan umum dan hasil dari
penjualan itu diserahkan kepada debitur sebagai pelunasan utang. Pasal 1178
ayat 2 KUH Perdata mengatakan sebagai berikut “kreditur hipotek pertama,
pada waktu pembebanan hipotek boleh mensyaratkan dalam hal utang poko atau
bunga yang terutang tidak dibayar, maka ia akan diberi kuasa secara mutlak
untuk menjual benda hipotek itu di muka umum agar hasilnya dapat untuk
melunasi jumlah utang pokok, bunga, dan biaya”.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum jaminan yaitu kaidah
atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai jaminan dari pihak
debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau
pelaksanaan suatu prestasi.
Jaminan
dalam pengertian bahasa kita sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian adanya
suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai pengganti atau penanggung
pinjaman uang terhadap seseorang.
Penggolongan
jaminan hutang dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu :
a. Berdasarkan sifatnya yaitu jaminan yang bersifat umum, khusus, kebendaan dan
perorangan
b. Berdasarkan Ojek atau Bendanya yaitu benda
bergerak (berwujud dan tak berwujud), dan benda tak bergerak
c. Berdasarkan kejadian/terjadinya yaitu Jaminan
yang lahir karena UU dan jaminan yang lahir karena perjanjian.
2. Saran
Dalam melakukan kegiatan pinjam-meminjam sebaiknya di landasi dengan
jaminan, karena dengan adanya jaminan para kreditur mendapatkan sarana
perlindungan bagi keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur. Jadi,
marilah kreditur dan debitur melakukan sebuah jaminan dalam proses peminjaman
atau hutang.
DAFTAR PUSTAKA
Bahsan,M.2007.
Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada
Latif,Azharudin.
Nahrowi. 2009. Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif dan Hukum
Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta
Fuady,
Munir. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung: PT. Aditya Bakti
H.S.,
Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Widjaja,
Gunawan. Yani, Ahmad. 2001. Seri Hukum Bisnis, Jaminan Fidusia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Bantu share yaa
BalasHapus