BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya
perekonomian yang saat ini mengarah pada globalisasi, maka kebutuhan akan
laporan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan pun semakin meningkat.
Pengaruh globalisasi juga membawa dampak negatif pada jasa audit, pelaku
profesi auditor independen atau akuntan publik dituntut untuk menunjukan
profesionalismenya. Akuntan atau auditor harus dapat memberikan jasa kualitas
terbaik dengan bertanggung jawab dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan di masa mendatang, para
professional diharuskan memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam suatu
profesi, selain itu untuk menjalankan suatu profesi sangatlah penting adanya
etika profesi. Di dalam kode etik terdapat muatan-muatan etika, yang dalam bahasa
yunani terdiri dari dua kata yaitu ethos yang berarti kebiasaan atau adat, dan
ethikos yang berarti perasaan batin atau kecenderungan batin yang mendorong
manusia dalam bertingkah laku. Etika profesi meliputi suatu standar dari sikap
para anggota profesi yang dirancang agar sedapat mungkin terlihat praktis dan
realitis, namun tetap idealistis. Setiap akuntan harus mematuhi etika profesi
mereka agar tidak menyimpangi aturan dalam menyelesaikan laporan keuangan
kliennya.
Dengan adanya kode etik profesi, akuntan diharapkan
berperilaku secara benar dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan.
Meski begitu terkadang pelanggaran tetap saja terjadi. Hal ini dikarenakan
kurangnya pemahaman dan pengetahuan dalam menerapkan etika secara memadai. Oleh
karena itu diperlukan adanya landasan pada standar moral dan etika tertentu.
Untuk mendukung profesionalisme akuntan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sejak
tahun 1975 telah mengesahkan “Kode Etik Akuntan Indonesia” yang telah mengalami
revisi pada tahun 1986, tahun 1994 dan terakhir pada tahun 1998. Dalam
Mukadimah Kode Etik Akuntan Indonesia tahun 1998 ditekankan pentingnya prinsip
etika bagi akuntan. Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban
untuk menjaga disiplin dan memenuhi segala hukum dan peraturan yang telah
disyaratkan.2.1 Akuntansi Sebagai Profesi
1.2
Rumusan Masalah
Perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Apa definisi dari akuntansi sebagai profesi ?
2. Apa penjelasan mengenai etika sebagai profesi?
3. Bagaimana lahirnya profesi akuntan?
4. Bagaimana profesi akuntan bisa berkembang d
masyarakat?
5. Apa sejarah perkembangan profesi akuntan di
Indonesia?
1.3
Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta diharapkan dapat bermanfaat
bagi kita semua khususnya bagi pembaca
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Akuntansi Sebagai Profesi
Kata “profesi” diadaptasi dari bahasa Inggris, yaitu “profession” yang berasal dari bahasa
Latin “professus”. Kedua kata
tersebut memiliki arti yang sama, yaitu mampu atau ahli di bidang tertentu.
Sehingga pengertian profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian
tertentu yang didapat dari pendidikan tinggi, dimana umumnya mencakup pekerjaan
mental yang didukung dengan kepribadian dan sikap profesional.
Menurut Duska, Duska dan Ragatz (2011) banyak
definisi mengenai profesi. Namun mungkin dapat diikuti suatu definisi yang
diajukan oleh Commission on Standards of Education and Experience for Certified
Public Accountants. Menurut mereka, profesi memiliki paling tidak tujuh
karakteristik, yaitu:
·
Memiliki
bangunan pengetahuan yang khusus (a specialized body of knowledge).
·
Melalui proses
pendidikan formal yang diakui untuk memperoleh pengetahuan spesialis yang
disyaratkan.
·
Memiliki standar kualifikasi professional sebagai syarat penerimaan
anggota profesi.
·
Memiliki standar
prilaku yang mengatur hubungan antara praktisi dengan klien, rekan sejawat, danmasyarakat
pada umumnya.
·
Pengakuan akan
status
·
.Menerima
tanggung jawab sosial yang melekat pada pekerjaan untuk kepentingan publik.
·
Memiliki
organisasi yang menjaga kewajiban sosial dari profesi.
Dari
berbagai persyaratan di atas, maka dua karakteristik terpenting sebagai
prasyarat sebuah profesi adalah pekerjaan tersebut merupakan tanggung jawab
sosial yang terkait dengan kepentingan publik dan adanya pengakuan dari publik
(masyarakat) bahwa pekerjaan tersebut memang penting bagi mereka. Jadi,
pekerjaan yang dilakukan merupakan hal yang dianggap penting bagi publik dan
pelaksanaannya dilakukan sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial. Sebagai
pekerjaan yang penting, profesi tidak boleh memanfaatkan pekerjaan yang
dilakukan untuk kepentingan diri sendiri, misalnya mencari keuntungan. Karena
itu ciri pertama profesi adalah altruisme. Altruisme berasal dari kata altruis
yang berarti orang yang mengutamakan kepentingan orang lain. Dengan demikian
altruisme artinya sikap yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan
orang lain. Sebagai imbalan atas altruisme ini, profesi biasanya menjadi warga
terhormat di dalam masyarakat.
Jika pekerjaan ini sudah diakui manfaatnya bagi
kepentingan publik, maka perlu disiapkan infrastruktur agar pekerjaan tersebut
bisa dilaksanakan dengan baik. Karena itu, suatu profesi perlu didasarkan pada
bangunan pengetahuan yang khusus sehingga pekerjaan tersebut bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Konsekuensinya, para praktisi profesi
harus menjalani proses pendidikan formal untuk memiliki bangunan pengetahuan
yang khusus tersebut. Mengingat sistem pendidikan formal bersifat umum, maka
praktisi profesi harus memiliki kualifikasi yang ditunjukkan melalui kelulusan
atas ujian kualifikasi dan sertifikasi. Dan praktisi profesi harus
melaksananakan pekerjaannya berdasarkan standar prilaku tertentu. Inilah ciri
kedua profesi, yaitu kompetensi. Tidak mungkin seseorang yang bertugas
melaksanakan pekerjaan penting bagi publik tidak memiliki kompetensi atas
pelaksanaan pekerjaan tersebut dan tidak melaksanakan pekerjaan tersebut dengan
standar perilaku yang diharapkan. Jika hal ini terjadi maka pekerjaan tersebut
malah dapat berdampak buruk bagi publik.
Karakteristik terakhir yang harus dimiliki oleh
profesi adalah dimilikinya organisasi atau asosiasi profesi yang bertugas
menjaga anggotanya agar memenuhi kualifikasi yang ditetapkan, menjaga kompetensi,
dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan standar yang disepakati. Organisasi
ini yang menjaga agar profesi tetap melaksanakan fungsinya sesuai dengan status
pengakuannya. Untuk menegakkan disiplin profesi, asosiasi harus dapat mengatur
dirinya sendiri. Inilah ciri ketiga profesi yaitu otonomi.
Dengan demikian profesi adalah
pekerjaan yang diakui dan diterima masyarakat sebagai pekerjaan untuk
kepentingan publik dengan tiga ciri, yaitu altruisme, kompetensi dan otonomi.
Pemerintah juga melakukan pengawasan
terhadap profesi, karena tugas Pemerintah melindungi kepentingan publik.
Tingkat pengawasan Pemerintah terhadap profesi tergantung kepercayaan
Pemerintah terhadap kemampuan organisasi profesi untuk mengawasi profesinya.
Jika Pemerintah memercayai organisasi profesi dapat melaksanakan fungsinya maka
pengawasan yang dilakukan Pemerintah minimal. Namun, jika profesi tidak dapat
dipercaya oleh Pemerintah, maka organisasi profesi kehilangan otonomi.
Pengawasan lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah. Karena itu, organisasi
profesi harus menjaga agar profesi berjalan sesuai dengan yang diharapkan agar
memiliki otonomi dan memperoleh kepercayaan dari publik.
2.2 Etika
Dalam Profesi
Dalam
melaksanakan fungsinya, profesi sering menghadapi dilema etika. Sebagai contoh,
profesi advokat berfungsi antara lain untuk penegakan hukum berdasarkan
keadilan. Namun, pengacara mendapat bayaran dari pihak yang bersalah yang
membayarnya dengan harapan untuk memperoleh putusan bebas atau hukuman yang
seringan-ringannya, yang mungkin berlawanan dengan prinsip keadilan. Demikian
pula dengan profesi akuntan. Akuntan bertugas untuk mengaudit laporan keuangan
untuk pemegang saham dengan pembayaran dari manajemen yang menyusun laporan
keuangan yang diaudit.
Sejak sekitar tahun 1980, profesi
akuntan dianggap bertanggung jawab atas terjadinya krisis perekonomian yang
dipicu skandal-skandal korporasi. Hal ini dapat dilihat antara lain dari Saving
& Loan Crisis yang terjadi di Amerika Serikat di akhir tahun 1970an dan
skandal Bank of Credit and Commerce Internationalpada tahun 1990an, sampai
dengan skandal manipulasi laporan keuangan korporasi Amerika Serikat yang
dilakukan oleh Enron, WorldCom, Adelphia Communication dan banyak perusahaan
lainnya. Kantor akuntan juga disibukkan dengan berbagai tuntutan hukum. Hal ini
menunjukkan bahwa ada permasalahan dalam profesi akuntan, mulai akuntan yang
meninggalkan sifat altruisme dan mengejar keuntungan pribadi sampai ke lemahnya
pengawasan yang dilakukan oleh organisasi profesi.
Banyak kantor akuntan yang selalu berupaya menjaga
profesionalitas dengan meningkatkan kompetensi akuntannya dan mengembangkan
sistem kerja yang mendorong keberhati-hatian. Namun upaya ini sebetulnya tidak
mengatasi masalah hilangnya altruisme dalam profesi akuntan dan
keberhati-hatian akuntan lebih didorong pada ketakutan menghadapi tuntutan
hukum dan kehilangan reputasi (external control) daripada suatu tanggung jawab
profesi (internal control).
Etika
profesi adalah sarana untuk praktisi profesi mengendalikan diri (internal
control) agar tetap menjaga profesionalitasnya. Etika profesi paling tidak
menjaga praktisi profesi agar selalu ingat profesi adalah untuk kepentingan
publik dan selalu ingat dengan sifat altruisme yang melekat pada profesi.
Dengan etika profesi maka praktisi profesi diharapkan melaksanakan tugas
profesi berdasarkan kecintaan dan tanggung jawab profesi, bukan karena
ketakutan tuntutan hukum ataupun karena kehilangan reputasi dan nama baik.
2.3 Lahirnya
Profesi Akuntan
Kelahiran
profesi akuntan dapat dikatakan dipicu oleh banyaknya kasus kebangkrutan di
Inggris dan Skotlandia. Berdasarkan Bankruptcy Act 1831, perusahaan yang
bangkrut ditangani oleh pegawai Pemerintah. Namun kebijakan ini dianggap
terlalu mahal dan sebetulnya pihak yang berkepentingan adalah pemberi Kredit.
Maka diupayakan suatu perubahan atas Bankruptcy Act ini, dimana pengacara akan
berperan lebih besar dibandingkan akuntan.
Sebagai reaksi atas rencana perubahan Bankruptcy Act
ini, di Skotlandia didirikan Society of Accountant in Edinburg dan Institute of
Accountants in Glasgow pada tahun 1853. Setahun kemudian keberadaan Society of
Accountant in Edinburg mendapat pengakuan dari Kerajaan (Royal Charter), dan
pada tahun berikutnya Institute of Accountants in Glasgow menyusul mendapatkan
Royal Charter.
Pada
tahun 1861 dikeluarkan Bankruptcy Act baru yang mengalihkan penanganan
perusahaan bangkrut dari pegawai pemerintah ke pemberi kredit. Oleh pemberi
kredit, penanganan perusahaan bangkrut didelegasikan ke pengacara dengan dibantu
oleh akuntan. Namun UU ini tidak berlaku lama. Pada tahun 1869, dikeluarkan UU
baru yang mengakui keberadaan profesi akuntan dalam penanganan perusahaan
bangkrut, bersama dengan profesi pengacara.
Dengan
pengakuan atas profesi akuntan ini, maka beberapa akuntan ternama di Liverpool
dengan dukungan dari pengacara mendirikan Incorporated Society of Liverpool
pada tahun 1870. Tujuannya awalnya adalah untuk menyepakati pembagian kerja
antara profesi pengacara dan akuntan dalam penanganan perusahaan bangkrut.
Organisasi ini kemudian juga menjadi organ yang menyeleksi akuntan yang
dianggap memiliki kualifikasi untuk melaksanakan tugas profesi dan memudahkan
klien dalam memilih akuntan. Pendirian Incorporate Society of Liverpool,
diikuti dengan pendirian Institute of Accountant in London (1870),
Manchester
Institute of Accountants (1871) dan Institute of Accountants in Sheffield
(1877), yang semuanya berupaya mendapat kepercayaan masyarakat, sehingga
jasanya digunakan, melalui seleksi keanggotaan berdasarkan kompetensi dan
reputasi. Untuk mendapatkan kepercayaan ini mereka melakukan seleksi
keanggotaan yang ketat, memiliki kantor yang bagus yang dilengkapi dengan
perpustakaan yang lengkap, dan menerbitkan semacam majalah atau newsletter yang
disebarkan ke anggota dan klien mengenai perkembangan pengetahuan yang mereka
miliki.
Tindakan
Institute of Accountant in London yang membatasi keanggotaan organisasi
berdasarkan kompetensi dan domisili menimbulkan reaksi dari akuntan-akuntan
yang tidak memenuhi persyaratan. Mereka kemudian membentuk organisasi tandingan
Society of Accountants in England pada tahun 1872. Untuk menarik anggota,
mereka membuka keanggotaan yang lebih terbuka untuk seluruh wilayah Inggris
sehingga jumlah anggota merekapun beragam baik dari segi kompetensi maupun
domisili. Menanggapi berdirinya Society, pada tahun yang sama Institute of
Accountant in London kemudian juga tidak membatasi domisili anggota. Sebagai
konsekuensinya, mereka mengubah namanya menjadi Institute of Accountant.
Pada tahun 1878, Institute of Accountant memutuskan
untuk mengupayakan meningkatkan status mereka menjadi satu-satunya organisasi
akuntan dengan mempersiapkan rancangan undang-undang yang terkait dengan hal
tersebut. Hal ini menimbulkan kepanikan pada Society. Mereka segera memberikan
tanggapan. Awalnya, pada bulan November 1878, mereka mengajukan usulan ke
walikota London untuk menjadi semacam “sworn body of accountant”. Sebulan
kemudian mereka mengajukan usulan ke Institute untuk melebur menjadi satu
organisasi.
Pada bulan Januari 1879, terjadi
banyak perkembangan pada perkumpulan-perkumpulan akuntan tersebut. Institute
menerima usulan Society dan kedua perkumpulan ini mulai melakukan pembicaraan.
Society mengusulkan agar Institute dapat menerima keanggotaan dari akuntan yang
bekerja di perusahaan. Namun Institute mempertahankan untuk membatasi
keanggotaan dengan alasan ‘that the true interest of the profession requires
that eligibility for membership should be limited to persons whose business is
that of public accountant’. Institute mempertahankan posisinya karena pada saat
yang sama, perkumpulan akuntan lain, yaitu Liverpool Society, Manchester
Institute, Sheffield Institute dan Accountants’ Incorporation Association juga
mengusulkan untuk bergabung dengan Institute of Accountants. Akibat dari sikap
Institute, pembicaraan mengenai penyatuan perkumpulan terhenti dan Society
menarik dukungan atas rancangan UU yang diusulkan oleh Institute.
Namun,
dalam perkembangan selanjutnya, beberapa anggota parlemen menyarankan kepada
Institute untuk menarik rancangan UU yang diusulkan. Selain itu mereka
menyarankan Institute agar mengupayakan Royal Charter.
Pada
pertengahan tahun 1879, usulan Royal Charter ditandatangani oleh ketua dari
perkumpulanperkumpulan Institute of Accountants, the Society of
Accountants in England, the Manchester and Sheffield Institutes, the Liverpool
Society. Mereka pada tahun 1880 memperoleh Royal Charter dengan nama baru
Institute of Chartered Accountants in England & Wales (ICAEW) dan untuk
selanjutnya menyebut anggotanya sebagai Chartered Accountant (CA).
Pada
tahun 1883, Bankruptcy Act yang baru disahkan. UU ini menetapkan suatu jabatan
baru dalam likuidasi perusahaan yang disebut Official Receiver yang sekaligus
menghilangkan peran akuntan dalam likuidasi perusahaan. Perubahan Bankruptcy
Act ini disebabkan karena sebelumnya ditemukan bahwa akuntan yang menjadi
anggota tim likuidasi banyak yang tidak segera menyerahkan dana hasil likuidasi
atas aset dari perusahaan yang bangkrut ke kreditor. Mereka malah menahan dana
tersebut. Dengan adanya Bankruptcy Act yang baru ini maka akuntan kehilangan
sumber pendapatan utamanya. Dan juga kepercayaan.
Untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat, ICAEW memutuskan untuk melakukan seleksi
keanggotaan yang lebih ketat dengan membuat ujian masuk yang lebih sulit. Hal
ini kemudian mendorong didirikannya Society of Accountants and Auditors yang
anggotanya adalah orang-orang yang tidak lulus ujian kualifikasi ICAEW, dan
terjadilah persaingan antara Society dengan Institute.
Hubungan
antara kedua organisasi ini menarik, karena dalam persaingan juga terdapat
upaya untuk melakukan merjer. Pada tahun 1893, Society mengusulkan rancangan UU
Public Accountant untuk memperkuat profesi yang isinya yang mengatur registrasi
akuntan hanya dapat dilakukan oleh anggota Society dan ICAEW. Usulan ini
ditanggapi oleh ICAEW dengan mengusulkan rancangan UU Akuntan Publik tandingan
yang membatasi registrasi akuntan hanya dapat dilakukan oleh anggota ICAEW.
Kedua rancangan UU ini ditolak. Namun, pada tahun 1897 ICAEW dan Society
mencoba menyusun rancangan UU Chartered Accountant yang berisi penyatuan kedua
organisasi ini. Namun rancangan ini tidak disetujui oleh Rapat Anggota kedua
organisasi.
Pada tahun 1900 disahkan Companies
Act yang mewajibkan perseroan terbatas untuk membuat laporan keuangan yang
diaudit. Namun UU ini tetap tidak mengatur akuntan yang berhak untuk melakukan
audit. Pemilihan akuntan sepenuhnya melalui mekanisme pasar, dan untuk itu
perkumpulan akuntan bersaing untuk memperoleh kepercayaan masyarakat agar
anggotanya dipercaya sebagai auditor. Dengan adanya Companies Act ini, berbagai
perkumpulan akuntan berdiri untuk memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh
UU tersebut, antara lain London Association of Accountants pada tahun 1904 yang
kemudian berkembang menjadi Association of Certified Accountant (ACA) pada
tahun 1971, dan setelah mendapat Royal Charter pada tahun 1974, diubah menjadi
Chartered Association of Certified Accountants (CACA) pada tahun 1984 dan
kemudian menjadi Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) pada
tahun 1996. Sementara itu, Society of Accountants and Auditors mengubah namanya
menjadi Society of Incorporated Accountants and Auditors dan menyebut
anggotanya dengan Incorporated Accountant
Pada tahun 1909 dikeluarkan
Companies Act yang baru yang mewajibkan seluruh perusahaan untuk membuat
laporan keuangan yang diaudit dan menetapkan peran akuntan sebagai auditor yang
bertanggung jawab atas laporan kepada pemegang saham. Untuk menindaklanjuti
Companies Act ini, dibuat rancangan UU yang mengatur registrasi praktisi
akuntan di Inggris dan Wales, namun rancangan UU ini gagal karena tidak
mengatur akuntan di Skotlandia dan Irlandia. Upaya ini diulang pada tahun 1911,
namun tetap gagal.
Pada
tahun 1955 Society bergabung dengan Institute menjadikan Institute sebagai
organisasi profesi terbesar di Inggris. ICAEW yang besar ini terdiri dari
anggota-anggota dengan latar belakang yang berbeda. Sebagian anggota bekerja
pada perusahaan, sebagian lagi bekerja pada kantor akuntan besar, dan sebagian
pada kantor akuntan kecil. Hal ini menyebabkan timbulnya perbedaan kepentingan
di antara anggota ICAEW. Karena itu, pada tahun 1968 ICAEW mengusulkan
reformasi profesi akuntan melalui dua perubahan besar. Usulan pertama adalah
merger dengan lima organisasi profesi akuntansi yang besar Institute of
Chartered Accountants of Scotland (ICAS), Institute of Chartered Accountants in
Ireland (ICAI), Association of Chartered Certified Accountants (ACCA),
Chartered Institute of Public and Finance Accountants (CIPFA) dan Chartered
Institute of Management Accountants (CIMA). Kedua, menyederhanakan jumlah
kualifikasi menjadi dua, yaitu: the Chartered Accountant (kualifikasi tinggi)
and the Licentiate Accountant (kualifikasi lebih rendah).
Usulan
reformasi profesi akuntan tidak tercapai. Namun pada tahun 1974 keenam
organisasi ini membentuk Consultative Committee of Accountancy Bodies (CCAB)
yang bertujuan untuk perwakilan atas permasalahan bersama. Akuntan anggota
organisasi anggota CCAB ini sering menyebut dirinya sebagai CCAB-qualified
accountants.
Baru pada tahun 1989, melalui
Companies Act 1989 yang kemudian disempurnakan pada tahun 2006, terjadi
pengaturan mengenai profesi akuntan publik, dimana akuntan yang dapat melakukan
audit atas perseroan terbatas adalah akuntan yang menjadi anggota lima
organisasi anggota CCAB atau anggota Association of International Accountants
(AIA). Keenam organisasi ini disebut Recognised Qualifying Bodies (RQBs).
Selain itu juga ada Recognised Supervisory Bodies (RSBs) dengan fungsi yang
sama tapi anggota yang berbeda, yaitu 4 organisasi anggota CCAB (CIPFA tidak
termasuk) dan Association of Authorized Public Accountant(APPA). Mengingat
CIPFA sedang tidak aktif sebagai RQB dan APPA sudah menjadi bagian dari ACCA,
maka sebetulnya organisasi profesi akuntan (publik) yang dominan sekarang ini
di Inggris adalah ICAEW, ICAS, ICAI yang menyebut anggotanya sebagai Chartered
Accountant, ACCA yang menyebut anggotanya Chartered Certified Accountant, dan
AIA yang menyebut anggotanya sebagai International Accountant.
2.4 Profesi
Akuntan di Masyarakat
Pada
periode 1870-1900 perekonomian Amerika Serikat mengalami banyak perubahan.
Amerika mengalami ledakan penduduk, industrialisasi, persaingan kereta api,
perpindahan penduduk dari desa ke kota, dan tumbuhnya kelas menengah. Situasi
ini mengundang investasi dari perusahaan-perusahaan dari Inggris yang kemudian
membuka pintu bagi akuntan-akuntan Skotlandia dan Inggris. Akuntan-akuntan ini
melihat bahwa belum ada organisasi profesi sebagaimana yang mereka miliki di
Inggris sehingga mereka kemudian mendirikan organisasi serupa.
Organisasi
profesi akuntan pertama di Amerika adalah Institute of Accountants yang
didirikan pada tahun 1882. Keanggotaan terbuka untuk setiap akuntan yang lulus
ujian masuk. Sedangkan fungsi dari organisasi adalah pendidikan akuntan.
Setelah itu, beberapa organisasi berdiri, di antaranya American Association of
Public Accountants (AAPA) pada tahun 1887 yang membatasi pada keanggotaannya
hanya untuk akuntan publik. Pendiri Association adalah Chartered Accountant
dari Inggris. Mereka mendirikan Association untuk memperoleh status sebagaimana
yang mereka peroleh di Inggris. Institute tidak dapat mewakili status yang
mereka harapkan karena keanggotaannya yang lebih terbuka untuk semua akuntan.
Pada tahun 1895 dan 1896,
Association dan Institute, secara individual dan kemudian bersama-sama mengajukan
usulan untuk memperoleh pengakuan hukum dari Negara Bagian New York untuk dapat
memberikan lisensi akuntan profesional yang memenuhi persyaratan pendidikan dan
domisili. Usulan mereka ditolak. Keputusan dari Pemerintah Negara Bagian New
York adalah akuntan profesional yang diakreditasi oleh negara, dimana akuntan
yang telah memenuhi persyaratan ujian dan pelatihan, akan diberikan lisensi
oleh Pemerintah Negara Bagian di mana akuntan bekerja. Dengan lisensi yang
diberikan oleh Pemerintah akuntan berhak mendapat gelar akuntan publik
bersertifikasi (certified public accountant). Sistem New York ini diadopsi oleh
negara bagian lainnya dan pada setiap negara bagian didirikan organisasi
profesi akuntan, yang disebut society, yang mengatur dan mengadministrasikan
dari akuntan terpisah dengan organisasi yang berskala nasional seperti AAPA.
Permasalahan
yang kemudian timbul ketika itu adalah akuntan harus meyakinkan masyarakat
bahwa mereka memiliki profesionalisme yang tinggi, terutama dalam hal
pendidikan, pelatihan dan etika. Hal ini karena adanya kritik dari kalangan
masyarakat mengenai standar akuntansi dan auditing dan keprihatinan di kalangan
akuntan mengenai standar kelulusan yang berbeda di antara society di
masing-masing negara bagian. Untuk mengatasi permasalahan ini pada tahun 1902
dibentuk Federation of Societies of Public Accountants. 3 tahun kemudian,
organisasi ini kemudian merger dengan Association, dan kemudian mengubah
namanya menjadi Institute of Certified Public Accountants in United States of America
pada tahun 1916, dan setahun kemudian berubah menjadi American Institute of
Accountants (AIA).
Pemimpin
AIA mengarahkan organisasi seperti organisasi profesi di Inggris. Mereka
berupaya untuk mendapatkan otonomi, menjadi organisasi yang dapat mendisiplinkan
anggotanya. Masalahnya, anggota Institute juga terikat aturan yang berlaku di
masing-masing negara bagian. Untuk mengatasi kesulitan untuk menguasai anggota
secara penuh, Institute kemudian memperluas keanggotaan tidak terbatas pada
akuntan publik bersertifikasi. Akuntan publik bersertifikasi berkeberatan atas
kebijakan ini dan Institute menghadapi perpecahan.
Akuntan
publik bersertifikasi kemudian mendirikan organisasi tandingan, American
Society of Certified Public Accountants (ASCPA), pada tahun 1921.
Keanggotaannya terbatas pada akuntan publik bersertifikasi. Setelah perpecahan
ini, lalu timbul upaya untuk menyatukan organisasi, terutama untuk kesamaan
standar ujian. Pada tahun 1936, Institute dan Society merger menjadi American
Institute of Public Accountants, yang kemudian menjadi American Institute of
Certified Public Accountants (AICPA) pada tahun 1957. Upaya untuk mendapatkan
otonomi penuh tidak pernah tercapai, karena lisensi akuntan masih diberikan
oleh Negara. Karena itu, berbeda dengan situasi di Inggris, hanya ada satu
sebutan untuk akuntan yang dapat untuk melakukan audit, yaitu CPA.
2.5 Profesi
Akuntan di Indonesia
Lahirnya
profesi akuntansi di Indonesia dipicu oleh pengakuan Pemerintah atas profesi
akuntansi melalui Undang-Undang nomor 34 tahun 1954 tentang pemakaian gelar
Akuntan (Accountant). Undang-Undang ini mengatur bahwa yang berhak memakai
gelar akuntan adalah seseorang yang memiliki ijazah akuntan dari universitas
negeri atau badan perguruan tinggi lain yang dibentuk oleh Undang-Undang atau
diakui Pemerintah atau seseorang yang lulus dalam ujian lain yang dapat
disamakan dengan ijazah universitas negeri. Undang-Undang ini juga mengatur
pemakaian nama kantor akuntan, biro akuntan, dan nama lain yang menggunakan
kata akuntan dan akuntansi hanya untuk kantor yang dipimpin oleh orang yang
berhak menggunakan gelar akuntan.
Undang-Undang ini dibuat untuk
melindungi pengguna jasa akuntan karena sebelumnya banyak yang mengaku sebagai
akuntan tanpa kualifikasi yang memadai dan untuk melindungi profesi akuntan
sendiri karena banyak orang yang mengaku sebagai akuntan yang merangkap
pekerjaan sebagai makelar, jual beli rumah dan sebagainya. Kata akuntan sendiri
merupakan kata yang masih asing bagi masyarakat Indonesia. Kata ini sering rancu
dengan kata contant yang berarti tunai sehingga akuntan dipersepsikan sebagai
kasir. Akuntan juga sering disalah-artikan sebagai pengusaha angkutan.
Undang-Undang
ini semacam lisensi yang diberikan negara sebagaimana yang terjadi di Amerika
Serikat. Bedanya, lisensi di Indonesia langsung diberikan kepada lulusan
universitas negeri, sedangkan di Amerika lisensi diberikan setelah lulus ujian
yang diselenggarakan oleh profesi.
Universitas
Indonesia membuka jurusan akuntansi sejak tahun ajaran 1952/1953 dan merupakan
satu-satunya universitas negeri yang menyelenggarakan pendidikan akuntansi di
Indonesia sampai dengan tahun 1960 yaitu pada saat Sekolah Tinggi Keuangan
Negara didirikan.
Tahun
1957 untuk pertama kalinya Universitas Indonesia menghasilkan akuntan sebanyak
empat orang, yaitu Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Joe, dan Go Tie
Siem. Lulusan lokal ini tidak memenuhi persyaratan menjadi anggota organisasi
profesi akuntan Belanda. Akibatnya, mereka tidak dapat menandatangani laporan.
Maka lulusan baru ini didukung oleh dosennya yang bernama Sumardjo
Tjitrowarsito merintis pendirian organisasi profesi akuntan di Indonesia.
Mereka mengajak akuntan bangsa Indonesia lulusan Belanda, yaitu Sumardjo,
Abutari, Tio Poo Tjiang, Tan Eng Oen, Teng Sioe Tjhan, Liem Koei Liang, dan The
Tik Him. Ketujuh orang ini sebetulnya sudah menjadi anggota organisasi profesi
akuntan Belanda, namun mereka mendukung rencana pendirian organisasi akuntan
Indonesia ini. Pada 23 Desember 1957 tercapai kesepakatan untuk mendirikan
organisasi profesi yang disebut sebagai Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang
secara hukum memperoleh pengesahan hukum pada awal tahun 1959.
Dalam
perjalanannya, sampai awal tahun 1970an, profesi akuntansi tidak mengalami
perkembangan, karena perekonomian nasional yang mengalami kesulitan sejak
pemutusan hubungan dengan Belanda dan negaranegara Barat dan dilakukannya
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Selama lebih dari 10 tahun, hanya
terdapat 12 kantor akuntan. Dengan terbukanya kembali investasi asing pada
tahun 1967 dan untuk persiapan pembukaan kembali pasar modal, IAI diminta
Pemerintah untuk menguatkan profesi dengan mengeluarkan Prinsip Akuntansi
Indonesia (PAI), Norma Pemeriksaan Akuntansi (NPA), dan Kode Etik Akuntan.
Standar dan kode etik ini kemudian diperbarui dari tahun ke tahun.
Namun, kedatangan investasi asing ini diikuti pula
dengan kedatangan akuntan asing. Kehadiran akuntan asing ini menimbulkan
ketegangan yang panjang selama bertahun-tahun, antara Pemerintah sebagai pemberi
izin dan profesi akuntan.
Pada
tahun 1979, profesi akuntan mendapat kepercayaan dari Pemerintah untuk berperan
dalam peningkatan pendapatan pajak. Melalui SK Menteri Keuangan tahun 1979
mengatur laporan keuangan wajib pajak yang telah diaudit oleh akuntan publik
dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian harus diterima oleh kantor pajak sebagai
dasar perhitungan pajak, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Ketika itu,
sistem perpajakan masih menganut Official Assessment Systems di mana
perhitungan pajak dilakukan oleh Kantor Pajak. Kepercayaan tersebut tidak
dilaksanakan dengan baik oleh profesi. Banyak terjadi manipulasi laporan
keuangan yang berdampak pada banyak akuntan publik yang dikenakan hukuman dan
sampai dicabut izinnya. Kepercayaan ini akhirnya ditarik kembali oleh
Departemen Keuangan, dan bahkan dibentuk Tim Pembina Akuntan Publik sebagai
bentuk kekurangpercayaan Pemerintah terhadap kemampuan IAI untuk mengawasi
anggotanya.
Pada
tahun 1990an, profesi akuntan semakin diakui perannya yang terlihat dari
dimasukkannya persyaratan pembuatan Laporan Keuangan berdasarkan standar
akuntansi yang disusun oleh IAI dan kewajiban untuk diaudit untuk
perusahaan-perusahaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam berbagai
Undang-undang.Puncaknya terjadi pada akhir tahun 1990an. Untuk menghadapi
liberalisasi pasar jasa akuntan, IAI diberdayakan dengan diberi kewenangan
untuk pengujian dan pemberian sertifikasi akuntan (yang kemudian dikenal dengan
USAP), pendidikan lanjutan (PPL), dan pembinaan terhadap anggota. USAP hanya
dapat diikuti oleh Akuntan dan lulusan USAP berhak untuk menggunakan gelar
Bersertifikat Akuntan Publik (BAP).
Mengikuti
tren yang terjadi di Amerika Serikat, pada tahun 2001 Departemen Keuangan mulai
merintis pembuatan RUU Akuntan Publik yang pada dasarnya memberikan pengaturan
yang lebih ketat terhadap akuntan publik, termasuk ancaman hukumannya. RUU ini
mengalami penolakan dari profesi. Dengan penolakan ini, Departemen Keuangan
memperhitungkan bahwa proses pengesahan RUU ini membutuhkan waktu yang lama
sehingga mereka pada tahun 2002 mengeluarkan SK Menteri Keuangan yang isinya
mengadopsi sebagian dari RUU. Hal yang signifikan dan berpengaruh terhadap
kantor akuntan dari aturan baru ini adalah mengenai kewajiban untuk rotasi.
Sementara
itu, banyak perkembangan lain dalam organisasi IAI. Pada tahun 1977 didirikan
Seksi Akuntan Publik, yang dikenal dengan sebutan IAI-SAP. Pendirian IAI-SAP
ini merupakan aspirasi dari akuntan publik. Seorang aktivis senior IAI
menyatakan: “Di seluruh dunia, akuntan publik diurus akuntan publik,
akuntan publik yang memimpin organisasi profesi”
(Tuanakotta, 2007). Pada tahun 1994 IAI-SAP berubah menjadi Kompartemen Akuntan
Publik dengan pemberian otonomi dalam melakukan disiplin profesi. Pendirian
Kompartemen Akuntan Publik ini diikuti oleh pendirian Kompartemen Akuntan
Manajemen, Kompartemen Akuntan Pendidik, dan terakhir Kompartemen Akuntan
Sektor Publik. Selanjutnya, pada tahun 2008, Kompartemen Akuntan Publik dan
Kompartemen Akuntan Manajemen menjadi organisasi dengan badan hukum yang
terpisah dari IAI dengan nama Insitut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dan
Insitut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI). IAPI dan IAMI sebagai asosiasi
menjadi anggota dari IAI. Sementara itu, pada tahun 2014, IAI membentuk
Kompartemen Akuntan Pajak.
Selain itu, juga terjadi perkembangan dalam profesi
akuntan. Pada tahun 1980, lulusan perguruan tinggi swasta berkesempatan untuk
menjadi Akuntan dengan mengikuti Ujian Nasional Akuntan (UNA). Pada tahun 1998
sistem UNA dihapuskan dan Program Pendidikan Profesi Akuntan (PPAk) yang harus
diikuti baik oleh lulusan perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk
memperoleh sebutan Akuntan.
Pada
akhir periode 2000an, dengan desakan dari Lembaga Donor Internasional untuk
meningkatkan kualitas corporate governance di Indonesia, Departemen Keuangan
kembali memproses RUU Akuntan Publik. Pada tahun 2011, UU No 5 tahun 2011
tentang Akuntan Publik disahkan. UU membuka kesempatan yang lebih luas untuk
menjadi akuntan publik. Tidak terbatas hanya Akuntan. Dengan demikian proses
untuk mengikuti ujian sertifikasi menjadi lebih pendek. IAPI ditetapkan oleh
Kementerian Keuangan sebagai Asosiasi Profesi Akuntan Publik. IAPI menamakan
ujian sertifikasi sebagai CPA of Indonesia Examdan pemegang sertifikat disebut
Certified Public Accountant of Indonesia (CPA).
Pada
tahun 2014, Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan baru mengenai Akuntan
Register Negara melalui Peraturan Menteri Keuangan No 25/PMK.01/2014. Akuntan
Register Negara merupakan sebutan dari Akuntan yang dikenal sebelumnya sesuai
dengan UU No 34 tahun 1954. Perbedaannya adalah jika sebelumnya untuk
memperoleh sebutan akuntan harus mengikuti Program Pendidikan Profesi Akuntan,
dengan aturan yang sekarang, untuk menjadi Akuntan Register Negara dapat melalui
ujian sertifikasi akuntan profesional. Seorang akuntan register negara dapat
mendirikan Kantor Jasa Akuntansi. Kantor Jasa Akuntansi dapat memberikan jasa
akuntansi seperti jasa pembukuan, jasa kompilasi laporan keuangan, jasa
manajemen akuntansi manajemen, konsultasi manajemen, jasa perpajakan, jasa
prosedur yang disepakati atas informasi keuangan, dan jasa sistem teknologi
informasi. Kantor Jasa Akuntansi dilarang memberikan jasa asurans.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata “profesi” diadaptasi dari bahasa Inggris, yaitu “profession”
yang berasal dari bahasa Latin “professus”. Kedua kata tersebut memiliki
arti yang sama, yaitu mampu atau ahli di bidang tertentu. Sehingga pengertian
profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu yang didapat
dari pendidikan tinggi, dimana umumnya mencakup pekerjaan mental yang didukung
dengan kepribadian dan sikap profesional.
Dari pembahasan diatas diketahuI bahwa yang dimaksud
Profesi Akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di
bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik. Akuntan publik
sangatlah banyak diminati oleh
orang-orang yang memiliki latar belakang berpendidikan akuntansi maupun ekonomi
manajemen, namun tidak semua orang-orang bisa menempati sebagai akuntan publik
karena pada akuntan publik memiliki peranan yang tidak semua orang
menyanggupinya.
3.2
Saran
Dari uraian makalah ini, kami
merekomendasikan pentingnya untuk menjadi akuntan publik yang baik dan
professional seharusnya menguasai dan mengikuti 8 prinsip etika profesi menurut
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan tidak menyimpang dari standar pedoman yang
telah di tetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Duska, Ronald, Duska, Brendan S and
Julie Ragatz, (2011), Accounting Ethics, Second Edition, John Willey &
Sons, Chapter 4
·
Kartikahadi, Hans (2010), Pelangi di
Cakrawala Profesi Akuntan, Sebuah Memoar, PT Buana Ilmu Populer
·
Lee, Tom, (1995) The professionalization
of accountancy. A history of protecting the public interest in a
self-interested way, Accounting, Auditing & Accountability Journal, 8,4,
48-69
·
Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
25/PMK.01/2014 Tentang Akuntan Register Negara
·
Tuanakotta, Theodorus M. (2007),
Setengah Abad Profesi Akuntan, Penerbit Salemba Empat
·
Undang-Undang No. 34 Tahun 1954 tentang
Pemakaian Gelar Akuntan
·
Undang-Undang No. 5 Tahun
2011 tentang Akuntan Publik
·
Walker, Stephen P., (2004), The Genesis
of Professional Organization in English Accountancy, Accounting, Organization
and Society, 29, 127-156.
·
Willmott, Hugh, (1986), Organising the
profession: a Theoretical and Historical Examination of the Development of the
Major Accountancy Bodies in the UK, Accounting, Organization and Society, 11,
6, 555-580.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar