BAB I PENDAHULUAN
Tujuan utama bisnis adalah mengejar
keuntungan atau lebih tepatnya
keuntungan adalah hal yang pokok bagi kelangsungan bisnis, walaupun bukan
merupakan tujuan satu-satunya. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah
hal yang buruk. Pertama, keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan dalam
kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan, tidak ada ivestor yang bersedia menanamkan modalnya, dan
karena itu tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang menjamin kemakmuran
nasional. Ketiga, keuntungan memungkinkan perusahaan untuk tidak hanya
bertahan melainkan juga dapat menghidupi
karyawan-karyawannya.
Dalam bisnis yang modern ini, para
pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang yang profesional di bidangnya.
Mereka dituntut mempunyai keahlian dan keterampilan bisnis yang melebihi
keterampilan dan keahlian bisnis orang kebanyakan lainnya. Kaum profesional
bisnis ini dituntut untuk memperlihatkan kinerja tertentu yang berada diatas
rata-rata kinerja pelaku bisnis amatir. Kinerja ini tidak hanya menyangkut
aspek bisnis, manajerial, dan organisasi teknis murni, melainkan juga
menyangkut aspek etis. Kinerja yang menjadi prasyarat keberhasilan bisnis ini
juga menyangkut komitmen moral, integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan
visi moral, pelayanan, dan sikap mengutamakan mutu, penghargaan terhadap hak
dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan (stakeholder), yang
lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam sebuah
perusahaan.
Dalam persaingan bisnis yang ketat,
para pelaku bisnis sadar bahwa perusahaan yang unggul bukan hanya perusahaan
perusahaan yang mempunyai kinerja bisnis yang baik, melainkan juga perusahaan
yang mempunyai kinerja etis, etos yang baik. Hanya perusahaan yang mampu
melayani kepentingan semua pihak yang berbisnis dengannya, mempertahankan mutu,
mampu memenuhi permintaan pasar dengan tingkat harga, kualitas, dan waktu yang
tepat yang akan menang. Hanya perusahaan yang mampu menawarkan barang dan jasa
sesuai dengan apa yang dianggapnya baik dan diterima masyarakat itulah yang
akan berhasil dan bertahan lama.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Praktik bisnis yang tidak beretika?
2.
Apa saja Skandal korporasi ?
3.
Bagaimana lingkungan etika di Indonesia?
4.
Apa saja tuntutan masyarakat terhadap bisnis?
5. Apa
saja Inisiatif Untuk Menciptakan Bisnis yang Bertanggungjawab dan Berkelanjutan?
Tujuan penyusunan
makalah
1.
Untuk mengetahui praktik bisnis yang tidak beretika
2.
Untuk mengetahui apa saja skandal korporasi yang terjadi
3.
Untuk mengetahui lingkungan etika di Indonesia
4.
Untuk mengetahui apa saja tuntutan masyarakat
terhadap bisnis
5. Untuk
mengetahui inisiatif untuk menciptakan bisnis
yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.
BAB II PEMBAHASAN
Praktik bisnis tidak beretika
Adam Smith percaya bahwa peran bisnis
melalui pasar persaingan bebas akan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera. Perusahaan berlomba-
lomba menciptakan barang dan jasa yang dibutuhkan
masyarakat dengan lebih murah dan lebih baik. Dengan persaingan dan motif untuk
mendapatkan keuntungan maka akan terjadi proses produksi barang dan jasa yang
lebih baik. Sebagian besar produk-produk kemajuan peradaban dunia merupakan
produk yang dihasilkan oleh bisnis.
Namun harapan Adam Smith tidak sepenuhnya terwujud, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat yang diakui sebagai negara yang konsisten
menerapkan kebijakan persaingan bebas dan mendorong peran bisnis dalam
perekonomian. Pada tahun 1920an, banyak perusahaan yang melakukan manipulasi laporan keuangan yang kemudian mendorong optimisme yang
berlebihan dari pasar modal dan berakhir dengan kepanikan, market crash, dan
depresi ekonomi yang berkepanjangan.
Pada tahun 1990an investor institusional
mulai terlibat dalam pengendalian
perusahaan. Mereka antara lain mengubah
sistem remunerasi eksekutif yang sebelumnya berbasis ukuran menjadi berbasis
kinerja, yang kemudian menjadi
kompensasi berbasis ekuitas dalam bentuk stock option. Stock option ini menjadi
instrumen yang ampuh untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang
saham. Eksekutif terdorong untuk menunjukkan kinerjanya yang mengesankan pasar,
sehingga harga saham perusahaan terus mengalami kenaikan dan mereka memperoleh
keuntungan dari kenaikan harga saham tersebut. Pertumbuhan dan laba merupakan
dua kriteria kinerja yang paling populer digunakan. Dua kriteria ini harus
dipenuhi oleh setiap perusahaan dengan kinerja yang mengalahkan estimasi analis sehingga harga saham perusahaan
akan terus meningkat. Angka pertumbuhan perusahaan yang lebih tinggi dibandingkan pesaing mencerminkan kemenangan
dan keunggulan daya saing perusahaan. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi,
perusahaan akan menjadi lebih besar sehingga lebih
mudah menarik pembeli, dan lebih memiliki
posisi tawar untuk menekan pemasok, penyandang dana, dan sumberdaya
manusia dibandingkan perusahaan pesaing yang lebih kecil. Permasalahannya adalah bisnis tidak dapat
mengharapkan pertumbuhan dengan melayani kebutuhan manusia saja, karena
kebutuhan manusia terbatas. Sementara itu persaingan semakin ketat karena
jumlah perusahaan bertambah dengan pemain-pemain baru.
Perusahaan kemudian mencoba mencari celah
untuk pertumbuhan dengan berbagai cara.
1)
Cara pertama adalah melalui
penciptaan keinginan manusia, karena keinginan manusia tidak terbatas dan dapat
diupayakan untuk selalu muncul keinginan baru.
Perusahaan berlomba-lomba menciptakan
produk-produk baru yang pada akhirnya menimbulkan
keinginan-keinginan baru di dalam masyarakat. Selain bersaing dalam produk
baru, perusahaan juga harus bersaing untuk menjadi yang pertama di pasar dan
bersaing untuk merebut konsumen pertama. Hal ini berdampak negatif ketika
perusahaan rokok memperebutkan anak-anak belasan tahun untuk menjadi konsumen
pertama mereka dan akibat persaingan ini semakin lama anak-anak yang diperebutkan semakin muda (kecil).
Sebelum dilarang, mereka membuat iklan dan acara-acara musik yang ditujukan
untuk anak-anak yang relatif muda. Perusahaan berusaha menciptakan keinginan
melalui iklan dan promosi yang mengakibatkan
masyarakat seakan dikepung dan dibombardir oleh iklan dan promosi, mulai dari
koran dan majalah, radio dan televisi, papan reklame, film, pembicaraan dan penampilan selebriti, teman dan tetangga,
rancangan toko-toko, SMS dan email, dan lain-lain.
Selain melalui iklan dan promosi,
perusahaan juga mendorong konsumerisme melalui conspicuous consumption,
konsumsi dengan tujuan utama untuk memamerkan kekayaan dan status sosial, dan
invidious consumption, konsumsi yang diniatkan untuk menimbulkan rasa cemburu
(envy). Conspicuous consumption menyebabkan seseorang diterima dalam kelompok
elite atau kelompok terkaya di dalam masyarakat. Sementara itu invidious
consumption berlangsung secara berkelanjutan karena di antara anggota kelompok
elite ini terjadi juga perlombaan, untuk membuat cemburu satu sama lain.
2)
Dalam persaingan, perusahaan
berupaya mempertahankan pelanggannya menciptakan pasar baru dan merebut
pelanggan pesaing.
Untuk memperoleh kekuasaan, perusahaan
berupaya mematikan atau mengakuisisi pesaing-pesaingnya. Larry Ellison, pendiri
Oracle dan salah seorang legenda bisnis Amerika, menyukai kutipan dari Genghis
Khan: “It’s not sufficient I succeed. Everyone else must fail.” Secara
tradisional, arena utama persaingan adalah harga, walaupun bukan berarti
perusahaan harus berlomba-lomba untuk memberikan harga terendah. Perusahaan membutuhkan
keleluasaan untuk mengelola harga. Untuk itu efisiensi dan produktivitas
merupakan kunci keunggulan. Sumber daya manusia sering merupakan objek utama
dalam peningkatan efisiensi dan produktivitas.
Berbagai upaya dilakukan dalam mengelola buruh, mulai dari
spesialisasi dan division of labour, sampai bentuk-bentuk time and motion
study, membagi kegiatan sekecil-kecilnya agar dapat dikerjakan lebih mudah,
lebih cepat dan lebih tepat. Upaya ini dikritik sebagai penekanan buruh untuk
bekerja seperti mesin.
3)
Selanjutnya dikembangkan berbagai
cara untuk meningkatkan efisiensi, seperti dengan cost reduction program,
downsizing, lean and mean organization, activity based management dan cost
management systems, sampai dalam bentuk menggantikan tenaga kerja dengan mesin
dan teknologi informasi serta dilakukannya outsourcing.
Dalam era globalisasi sekarang ini
outsourcing diberikan kepada negara- negara di mana tenaga kerja melimpah dan
infrastruktur hukum masih terbatas, sehingga upahnya jauh lebih murah dan tidak
memiliki daya tawar terhadap perusahaan yang mempekerjakannya. Bahkan banyak
perusahaan yang mempekerjakan buruh di bawah umur untuk mengejar biaya yang
lebih rendah. Untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas, pertumbuhan bukan
berarti penambahan lapangan pekerjaan di negaranya. Untuk mengejar pertumbuhan
perusahaan bahkan mengurangi kesempatan kerja.
4)
Perusahaan melakukan externalizing cost
Externalizing cost Yaitu membebankan
biaya pada para pemangku kepentingan, termasuk pembebanan biaya kepada konsumen
(misalnya biaya kesehatan dan keselamatan konsumen, biaya pelayanan konsumen),
kepada pekerja (misalnya biaya kesehatan dan keselamatan pekerja, biaya
pesangon), kepada pemerintah dan masyarakat di sekitarnya (misalnya biaya
pengelolaan limbah), kepada pemerintah dan masyarakat negara lain (misalnya biaya pembuangan limbah
industri), dan lainlain. Mengejar
pertumbuhan yang berlebihan malah menimbulkan biaya bagi konsumen, pemerintah
dan masyarakat.
Skandal korporasi
Skandal korporasi di Amerika dapat
ditelusuri pada tahun 1920an di saat perekonomian mengalami kemakmuran. Pasar
modal yang sedang booming pada saat itu, ternyata ditopang oleh aksi spekulasi
dari investor dan manipulasi laporan keuangan oleh emiten, yang pada akhirnya terjadi market crash
dan depresi ekonomi. Salah satu perusahaan pelaku manipulasi laporan keuangan yang terkenal adalah McKesson &
Robbins yang kasusnya terungkap pada akhir tahun
1930an. Setelah itu, dunia usaha di Amerika Serikat menjadi saksi berbagai
skandal korporasi yang terjadi sejak tahun 1970an, setelah masa-masa keemasan perekonomian Amerika
setelah Perang Dunia II berakhir.
1) Skandal Suap
Skandal penyuapan Lockheed terungkap
pada tahun 1975, ketika sebuah sub-committee di Senat berhasil menemukan
serangkaian suap senilai $22 juta yang dilakukan oleh Lockheed Aircraft
Corporation kepada pejabat tinggi di berbagai negara, antara lain kepada Pangeran Benhard dari Belanda
antara tahun 1961 dan 1972, pendiri LDP (Liberal Democratic Party) Yoshio Kodama dan perdana Menteri Kakuei
Tanaka dari Jepang, anggota parlemen dari Jerman Barat, dan politikus Partai Kristen
Demokrat di Italia. Padahal sebelumnya Lockheed mengalami masalah keuangan dan
nyaris bangkrut pada tahun 1971 jika tidak
secara kontroversial diselamatkan oleh Pemerintah dengan memberikan jaminan
atas pinjaman sebesar $250 juta. Akibat dari skandal Lockheed ini, pemerintah Amerika Serikat
mengeluarkan Foreign Corrupt Practices Act pada
tahun 1977 yang melarang perusahaan Amerika untuk terlibat dalam kegiatan
korupsi di luar negeri.
2)
Skandal Insider Trading
Setelah terjadinya skandal suap, pada
akhir tahun 1980an, terjadi skandal insider trading dari tiga serangkai Dennis
Levine, Ivan Boesky, dan Michael Milken serta investment bank Drexel Burnham Lambert. Terungkapnya
skandal ini berawal dari ditangkapnya Dennis Levine, managing director dari
Drexel Burnham Lambert pada Maret 1986. Levine mengaku bersalah dan membayar
denda sebesar $12,6 juta. Pengakuan Levine menyeret Ivan Boesky, seorang
arbitrageur yang terkenal dengan
keberhasilannya memperoleh $200 juta dari pengambilalihan The Beverly Hills
Hotel setelah kematian mertuanya yang telah menjalankan perusahaan tersebut
selama 25 tahun. Boesky juga mengaku bersalah dan membayar denda yang sangat
besar kepada SEC sebesar $100 juta.
Setelah pengakuan Levine dan Boesky,
sepanjang tahun 1987 dan 1988, SEC dan Kejaksaan New York Selatan terus mengejar
Drexel Burnham Lambert dengan menggunakan Racketeer Influenced and Corrupt
Organization Act (RICO) yang sebetulnya untuk menuntut kejahatan terorganisir.
Akhirnya pada Desember 1988, Drexel menyerah dan mengaku bersalah. Mereka
membayar denda sebesar $650 juta. Dalam proses penuntutan, terungkap kecurangan
yang dilakukan oleh Michael Milken. Milken adalah tokoh Wall Street yang
dikenal sebagai pencipta junk bond, suatu surat berharga yang memberikan hasil
dan risiko yang tinggi karena untuk membiayai hostile take over dan usaha kecil
menengah. Milken mengaku bersalah. Ia dihukum 10 tahun penjara dengan denda
sebesar $600 juta.
3)
Skandal Manipulasi Laporan Keuangan
Korporasi Amerika Sepanjang tahun 1990,
pasar modal Amerika Serikat kembali mengalami masa keemasan dengan semakin
banyaknya dana dari investor institusi yang menanam modalnya ke perusahaan yang
tercatat pada pasar modal. Namun,
seperti yang terjadi pada tahun 1920an, pasar modal ini ternyata ditopang oleh
manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh banyak korporasi Amerika. Kasus
ini baru terbongkar pada awal periode 2000an dengan Enron sebagai skandal yang
terbesar. Enron awalnya merupakan perusahaan yang
mempesona. Dalam tempo sepuluh tahun pendapatan Enron meningkat hampir 20 kali lipat dari $5,5 milyar
menjadi
$100,8 milyar dan dalam 10 tahun, antara tahun 1991-2000,
dengan puncak tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1999-2000, dari
$40,1 milyar menjadi $100,8 milyar. Mereka mengklaim keberhasilannya bersumber
dari inovasi yang mereka lakukan, terutama inovasi model bisnis. Jeffrey
Skilling, CEO Enron, yang merupakan alumni dari Harvard Business School dan
McKinsey menjadi idola para mahasiswa sekolah bisnis dan Enron menjadi pilihan
tempat kerja utama bagi alumni sekolah bisnis.
Belakangan terbongkar bahwa pertumbuhan
Enron lebih didukung oleh pemanfaatan celah dalam perlakuan akuntansi yang
menggelembungkan pendapatan dan menyembunyikan hutang. Namun akhirnya Enron
terjebak oleh pertumbuhan semu yang diciptakan. Hanya dalam tempo satu setengah
bulan setelah pengungkapan kerugian, Enron mengalami kebangkrutan bersama
dengan Kantor Akuntan Publik terbesar di dunia Arthur Andersen. Dan sepanjang
awal tahun 2000an, terungkap berbagai skandal akuntansi yang dilakukan oleh
corporate America, termasuk Xerox, Adelphia, AOL, Bristol-Myers Squibb, Freddie
Mac, Kmart, Sunbeam, Tyco International dan WorldCom. Akibat dari skandal
korporasi Amerika ini, pemerintah Amerika mengeluarkan Sarbanes–Oxley Act yang
mengatur lebih lengkap profesi akuntan dan tanggung jawab eksekutif atas
laporan keuangan perusahaan.
4) Skandal Industri Keuangan
Tidak sampai 10 tahun setelah skandal
manipulasi laporan keuangan korporasi Amerika, dunia usaha Amerika harus
menghadapi skandal yang lebih besar lagi yang membawa perekonomian global
mengalami krisis. Skandal kali ini dilakukan oleh industri keuangan melalui dua
kegiatan yang sangat spekulatif dan merugikan, yaitu :
a) Predatory
lending adalah pemberian kredit kepada orang-orang yang sebetulnya tidak
memiliki akses kredit karena kurang memiliki kemampuan untuk membayar kembali.
Kredit ini yang dikenal dengan subprime mortgage. Penyaluran subprime mortgage
ini memberikan keuntungan yang lebih besar dengan membebankan bunga yang lebih
tinggi, sementara itu risiko kredit dialihkan melalui sarana sekuritisasi asset
melalui produk derivatif yang disebut Collateralized Debt Obligations (CDO).
Semakin tinggi risiko kegagalan semakin disukai karena tingkat bunga dapat
dibebankan semakin tinggi. Untuk itu lembagalembaga kredit ini bahkan melakukan rekayasa untuk membuat
kreditor yang tidak layak tetap
dapat memperoleh kredit.
b) Credit Default Swap (CDS) adalah produk yang
dikembangkan oleh AIG, perusahaan asuransi terbesar di dunia, untuk melindungi
pemilik CDO dari risiko kegagalan kredit. Sebagai produk derivatif, AIG dapat
menjual produk juga kepada bukan
pemilik CDO. Walaupun tidak memiliki CDO dan tidak mengalami kerugian atas
kegagalan CDO, para pembeli CDS ini akan memperoleh ganti rugi jika terjadi
kegagalan pembayaran CDO. Dengan demikian, kerugian yang dihadapi oleh orang
lain akan merupakan keuntungan bagi mereka. Sebaliknya, jika tidak terjadi kegagalan CDO, maka mereka akan kehilangan
uangnya. Mereka seakan-akan berjudi atas risiko yang dihadapi orang lain.
AIG tidak melakukan “reasuransi” atas CDS
yang dikeluarkan karena CDS bukan
produk asuransi. AIG menggunakan dana hasil penjualan CDS untuk membayar bonus
yang besar kepada pegawainya yang berhasil
menjual CDS. Dengan demikian, sebetulnya AIG menghadapi risiko puluhan, ratusan
atau ribuan kali risiko asuransi, tergantung dari jumlah pembeli CDS, dan tidak
ada alokasi dana untuk membayar kerugian yang mungkin terjadi. Mereka
mengandalkan penjualan CDS tahun berikutnya yang diharapkan semakin besar dan
pada akhirnya menciptakan semacam ponzi scheme. Dengan berjalannya waktu,
kredit-kredit berisiko tinggi mulai mengalami kemacetan dan pada tahun 2008 kredit macet dan penyitaan jaminan rumah
meledak. Lembaga peminjaman tidak dapat menjual kreditnya kepada investment bank. Dengan semakin banyaknya kredit
macet dan jaminan yang tidak dapat
dilikuidasi, banyak lembaga peminjaman yang bangkrut. Selanjutnya pasar CDO kolaps.
Investment bank terjebak dalam pinjaman
yang sangat besar, CDO, dan jaminan rumah yang tidak dapat dijual. Maret 2008,
investment bank Bear Stearns menghadapi krisis likuiditas dan diakuisisi oleh
JP Morgan Chase dengan harga yang sangat murah dan dibiayai oleh dana jaminan
darurat dari Federal Reserve. September 2008, Menteri Keuangan Henry
Paulson, mantan CEO Goldman Sachs, mengumumkan Bank Sentral mengambil alih
Fannie Mae dan Freddie Mac, dua lembaga pemberi kredit pemilikan rumah. Dua
hari kemudian, Lehman Brothers mengumumkan kerugian sebesar US$3,2 miliar.
Kurang dari seminggu kemudian, pada hari Jumat tanggal 12 September 2008,
Lehman Brothers dan Merril Lynch mengalami kesulitan likuiditas. Merril Lynch
berhasil diselamatkan oleh Bank of America,
sementara itu hanya Barclay’s Bank
dari Inggris yang tertarik mengakuisisi Lehman
Brothers.
Pemerintah Amerika menanggapi skandal ini
dengan mengeluarkan Dodd–Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act
yang dianggap lemah karena tidak ada pengaturan mengenai lembaga rating,
lobbying dan kompensasi eksekutif, sebagaimana yang diharapkan sebelumnya.
Sementara itu, tidak ada eksekutif lembaga keuangan yang ditangkap dan diadili
atas tuduhan melakukan kecurangan dan tidak ada upaya untuk menggugat
kompensasi yang diberikan kepada para eksekutif. Situasi status quo ini tidak
terlepas dari kekuatan lobby yang dilakukan oleh para pelaku industri keuangan.
Sebelum krisis, mereka menyediakan dana sebesar lebih dari US$5 miliar untuk
lobbying dan dana kampanye. Setelah krisis mereka mengalokasikan dana yang
lebih besar. Mereka juga mempekerjakan 3000 lobbyist, lebih dari lima orang
untuk setiap anggota Kongres untuk melawan upaya-upaya reformasi. Setelah krisis
ternyata investment bank semakin besar karena mengakuisisi bank-bank kecil yang
bermasalah dan semakin berkuasa melalui kekuatan lobby-nya.
5)
Skandal Korporasi di Asia
Pada tahun 2009 terjadi skandal kegagalan
Corporate Governance pada perusahaan Satyam di India. Sebelumnya perusahaan ini
dikenal sebagai perusahaan yang melaksanakan praktik Corporate Governance yang
baik dengan memenangkan berbagai penghargaan Good Corporate Governance.
Perusahaan ini memiliki 9 orang BOD, di mana 6 orang di antaranya merupakan
independent director. Di antara ke enam independent director tersebut, dua
orang merupakan akademisi dan salah satunya adalah profesor dari Harvard
Business School. Independent director lainnya antara lain seorang konsultan
internasional dan mantan pejabat tinggi negara.
Kerugian Olympus dapat ditelusuri dari
awal tahun 1990an ketika perusahaan banyak melakukan investasi pada produk
derivatif dan investasi berisiko lainnya untuk mempertahankan laba. Ketika itu
penjualan perusahaan-perusahaan Jepang mengalami penurunan akibat penguatan
nilai Yen. Namun upaya untuk mempertahankan laba malah menghasilkan kerugian yang lebih besar. Untuk mengatasi kerugian ini,
Olympus melakukan strategi pertumbuhan melalui merjer dan akuisisi dengan
secara intensif melakukan akuisisi berbagai perusahaan. Permasalahannya adalah
informasi mengenai transaksi akuisisi dan pendanaannya dilakukan secara
terbatas pada pimpinan Perusahaan di kelompok keuangan dan terkesan rahasia.
Karena itu, ketika Michael Woodford, seorang executive managing director dari
Olympus Medical Systems Europe, diangkat sebagai Presiden merangkap COO pada
bulan April 2011, ia terkejut mendapati adanya transaksi akuisisi yang tidak
diketahuinya terhadap sebuah perusahan produsen alat kesehatan Gyrus Group di
Inggris yang seharusnya menjadi cakupan wilayah kerjanya.
Woodford mengajukan banyak pertanyaan
kepada Kikugawa yang menjadi Presiden Olympus pada saat terjadinya
akuisisi-akuisisi tersebut. Namun banyak yang tak terjawab. Woodford
merencanakan untuk mengundurkan diri, namun Olympus berupaya menahannya dengan
mengangkatnya menjadi CEO pada 1 Oktober 2011. Pengangkatan ini tidak
menghentikan Woodford untuk terus melakukan penyelidikan. Ia bahkan menunjuk
Kantor Akuntan PricewaterhouseCoopers (PwC) untuk melakukan investigasi atas
transaksi akuisisi tersebut. Dua minggu kemudian,
pada tanggal 14 Oktober 2011, ia diberhentikan
dan diganti oleh mantan Presiden Olympus terdahulu, Tsuyoshi Kikukawa. Setelah
pengakuan Takayama, Olympus memasuki babak baru. Harga saham semakin jatuh,
turun sebanyak 80% pada akhir Desember. Saham Olympus berada dalam pengawasan
khusus dan terancam delisting pada Tokyo Stock Exchange. Olympus diminta untuk
segera merevisi Laporan Keuangannya selama 5 tahun dan kantor Olympus digeledah
oleh kejaksaan. Olympus harus bersiap menghadapi tuntutan hukum dari lembaga
penegak hukum di Jepang, Inggris dan Amerika Serikat. Sementara itu, tim
independen, menemukan terdapat kerusakan moral (rotten to the core) pada
Kikugawa dan beberapa eksekutif, yang menular kepada orang-orang di sekitarnya.
lingkungan etika di
Indonesia
Peran pemerintah di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan peran bisnis.
Lembaga pasar modal masih relatif belum terinstitusionalisasi. Sebagian besar
bisnis masih merupakan perusahaan keluarga dimana pemegang saham pengendali
adalah pendiri perusahaan. Sebagian bisnis menjadi tumbuh berkembang berkat
bantuan Pemerintah ataupun hubungan istimewa dengan Pemerintah yang berkuasa. Sebagian bisnis masih
tergantung kepada proyek Pemerintah. Risiko dari suatu peranan negara yang
besar adalah korupsi. Di Indonesia, korupsi telah terjadi jauh sejak awal kemerdekaannya, di tahun 1950an, dengan pelaku yang
berganti-ganti tergantung siapa yang memegang kekuasaan.
·
Pada awal kemerdekaan, Indonesia
menerapkan sistem demokrasi liberal di mana
politisi sipil yang memegang kekuasaan dan yang melakukan korupsi. sumber
korupsi yang besar di masa demokrasi liberal adalah pelaksanaan Program
Benteng. Program ini bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan di dalam perekonomian yang sebelumnya didominasi oleh pengusaha
Belanda dan Cina, yaitu dengan
dengan mengembangkan pengusaha pribumi melalui pemberian lisensi importir dan
fasilitas kredit impor. Dalam kenyataannya sebagian besar lisensi diberikan
kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh yang berkuasa di birokrasi dan partai yang
memiliki kewenangan dalam pemberian lisensi dan kredit. Para pemegang lisensi
ini kemudian menjual lisensi dengan harga 200%-250% dari nilai nominalnya dan tidak mengembalikan kredit. Sedangkan
pembeli lisensi adalah pengusaha Cina yang sebelumnya
telah menjadi importir, sehingga ketika itu dikenal sebutan pengusaha Ali Baba.
·
Pada paruh kedua Orde Baru muncul
turunan baru dari korupsi, yaitu nepotisme, pada saat keluarga pejabat marak
menjadi pengusaha. Sebagaimana pengusaha era sebelumnya, mereka berusaha dengan
menjadi pemasok Pemerintah, dan kemudian memperoleh lisensi, konsesi, dan
kredit. Sebagian dari proyek, lisensi dan konsesi
dijual kepada pengusaha lain. Pengusaha
yang ingin berkembang harus bermitra
dengan mereka. Pada periode ini semakin sulit untuk dibedakan antara lembaga
Pemerintah dan perusahaan milik pribadi pejabat pemerintah. Para pejabat
berlomba-lomba untuk memajukan bisnis anak-anaknya.
·
Krisis ekonomi dan skandal BLBI
adalah skandal terbesar yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dimana Pemerintah
harus mengeluarkan dana sebesar Rp647 triliun, dimana di antaranya sebesar
Rp144,5 triliun merupakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI
merupakan bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada perbankan untuk
menghadapi penarikan dana besarbesaran dari nasabah. BLBI diberikan kepada 48 bank umum swasta nasional. BLBI kemudian
menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah bisnis di Indonesia. Skandal
berawal dari temuan audit BPK yang menemukan 59,7% dari dana BLBI tersebut,
atau sebesar Rp84,84 triliun tidak digunakan untuk membayar dana nasabah,
melainkan untuk membiayai kontrak derivatif, membiayai ekspansi kredit, dan
membayar kewajiban kepada pihak terkait. Permasalahan yang lebih besar muncul pada saat Pemerintah kesulitan untuk
melakukan penagihan. Pemerintah meminta kesediaan pemilik bank untuk membayar BLBI yang diberikan dengan imbalan akan
diberikan pengecualian hukum (release and discharge) atas berbagai pelanggaran
yang dilakukan. Jika mereka tidak bersedia, maka BPPN akan melakukan tuntutan
hukum. Awalnya pemerintah meminta pemilik bank yang tidak mampu membayar tunai
dapat melakukan pengembalian BLBI dengan menyerahkan asetnya, baik berupa
perusahaan, saham, aset tetap, dan piutang, melalui perjanjian master
settlement and acquisition agreement (MSAA). Pemerintah, melalui BPPN, akan
melakukan penjualan atas aset- aset tersebut Pemilik bank awalnya berkeberatan
dan mereka baru bersedia menandatangani perjanjian setelah disepakati
menggunakan auditor dan konsultan keuangan yang mereka tunjuk. Belakangan
terungkap nilai aset yang diberikan digelembungkan. Pemerintah lalu memperbaiki
MSAA dengana master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA),
dimana pemilik bank tidak menyerahkan asetnya, tapi hanya menjaminkan. Mereka
bertanggung jawab untuk penjualan aset tersebut. Selain itu mereka juga diminta
untuk memberikan jaminan pribadi (personal guarantee) jika terjadi kekurangan
atas aset yang dijual. Baik dengan MSAA ataupun MRNIA, pemilik bank diwajibkan
melunasi utangnya dalam tempo 4 tahun.
·
Kasus lainnya yang melibatkan
banyak perusahaan adalah kasus Gayus Tambunan yang
terjadi di tahun 2010. Gayus
adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan IIIA yang bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan. Awalnya ia tertangkap
karena terlibat tindak pidana pencucian uang akibat pencairan pencairan dana
tak wajar sebesar Rp24,6 miliar. Masyarakat terkejut dan marah mengetahui Gayus
PNS yang berusia 31 tahun tersebut sudah memiliki uang yang sangat besar,
berikut rumah dan mobil mewah. Bahkan belakangan kepolisian mengumumkan telah
menemukan dan menyita aset lainnya dari Gayus sebesar Rp74 miliar dalam mata uang asing dan logam
batangan yang disimpan di safe
deposit box sebuah bank swasta. Dalam persidangan Gayus menyatakan kekayaannya
diperoleh dari “membantu” wajib pajak yang tengah dililit masalah di pengadilan
pajak, sesuai dengan posisinya yang bertugas di Direktorat Keberatan dan
Banding. Selama bekerja di
Direktorat Keberatan dan Banding sejak tahun 2007, Gayus menangani sekitar 151 perusahaan dan perorangan dimana 45
ditangani langsung olehnya. Juga tersiar kabar, Gayus membantu perusahaan yang bukan ditanganinya. Selanjutnya dalam
repliknya, Gayus mengaku hanyalah ikan teri, dan masih banyak big fish yang belum
terkail. Dengan demikian, jika pengakuan
Gayus benar, maka sebetulnya akan lebih banyak
lagi pegawai pajak dan wajib pajak yang melakukan kecurangan pajak, dan
kasus pajak ini dapat menjadi skandal besar yang setara dengan skandal BLBI.
·
Kasus korupsi lain yang ramai
dibicarakan adalah kasus jual beli anggaran di DPR. Kasus ini melibatkan
beberapa anggota partai politik, dengan Nazarudin, Bendahara Umum Partai
Demokrat yang dipecat dari partai pada bulan Juli 2011, sebagai bintangnya. Terdapat
dua “pasar” untuk jual beli anggaran ini. Pasar
yang pertama adalah pada saat proses
persetujuan anggaran yang diajukan oleh Kementerian dan Lembaga Negara. Jual
beli angggaran terjadi pada saat pembahasan dengan komisi-komisi di DPR, dalam
bentuk mempercepat proses pengisian daftar isian pelaksanaan anggaran dan
tambahan anggaran yang melebihi
usulan Kementerian dan Lembaga. Sedangkan pasar yang kedua untuk transaksi jual
beli APBN Perubahan (APBN P). APBN P biasanya berupa anggaran pembangunan
infrastruktur yang ditawarkan oleh
anggota Badan Anggaran DPR kepada kepala-kepala daerah dan juga pejabat
Kementerian. Kepala daerah dan pejabat
Kementerian yang tertarik harus segera membayar fee anggaran, walaupun anggaran
tersebut belum disetujui. Dalam transaksi jual beli anggaran, kepala daerah
bermitra dengan perusahaan yang akan
melaksanakan proyek dari anggaran tersebut. Dapat pula terjadi, perusahaan pelaksana proyek sudah disediakan oleh
anggota DPR. Pengusaha tersebut sudah dipastikan akan menang dalam tender
proyek. Perusahaan yang biasanya membayar fee anggaran, baik kepada anggota DPR
maupun kepada kepala daerah atau pejabat Kementerian.
Tuntutan masyarakat terhadap bisnis
Beberapa permasalahan global yang terjadi
membuat penderitaan dan menimbulkan perubahan dalam tata kehidupan manusia. Situasi ini mendorong masyarakat untuk
menuntut akuntabilitas dan tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih besar.
a)
Masalah Pencemaran Lingkungan:
Pemanasan Global dan Krisis Energi Dampak dari pemanasan global dan krisis
energi semakin dirasakan
oleh semakin banyak orang dan dikhawatirkan semakin memburuk
jika tidak dilakukan perubahan.
Perusahaan yang bergerak di industri
pembangkit listrik, transportasi, manufaktur dan kehutanan dianggap memiliki
kontribusi yang besar dalam emisi CO2. Perusahaan besar mendapat kritik sebagai
penyebab terkikisnya hutan, terkurasnya perikanan dan barang tambang, sampai
dengan membuang sampah- sampah yang membahayakan
lingkungan. Terlebih lagi, beberapa perusahaan tercatat telah menimbulkan
malapetaka besar bagi lingkungan hidup. Contoh klasik tragedi terbesar adalah ledakan
pada pabrik pestisida Union Carbide di Bhopal India pada tahun 1984 yang
menyebabkan bocornya gas methyl isocyanate yang diperkirakan 500 kali lebih
beracun dari sianida. Lebih dari 2.000 orang meninggal dan 200.000 terluka, sebagian
besar adalah penghuni liar dari tempat-tempat kosong di sekitar pabrik.
b)
Anti Globalisasi
Gerakan anti globalisasi sering terlihat
dalam bentuk demonstrasi pada saat pertemuan KTT yang diselenggarakan oleh WTO,
IMF, Bank Dunia, G8 dan organisasi lainnya, mencerminkan sentimen sebagian
orang di negara berkembang atas kehadiran perusahaan multinasional melakukan
investasi di negaranya. Sentimen ini terutama berdasarkan pada alasan bahwa
investasi asing tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Investasi asing
memberikan lapangan kerja bagi masyarakat tapi dengan pengorbanan dalam bentuk
diskriminasi gaji, pemanfaatan tenaga kerja di bawah umur, pencemaran udara dan
kerusakan lingkungan, konsumerisme. Investasi asing juga sering menimbulkan
perbenturan budaya. Investasi asing menguras sumber daya alam tanpa memberikan
manfaat langsung bagi masyarakat sekitar. Bahkan sebagian malah menimbulkan
biaya sosial dalam bentuk kerusakan lingkungan dari area yang digarap, yang
menimbulkan penderitaan fisik seperti
penyakit maupun kesulitan mata pencaharian penduduk lokal.
Inisiatif untuk menciptakan bisnis yang
bertanggungjawab dan berkelanjutan
1)
Corporate Social Responsibility
dari World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
WBCSD bertujuan untuk menjadi
katalisator perubahan dan membantu tercapainya kerjasama yang lebih erat antara
dunia usaha, pemerintah dan organisasi lain yang peduli terhadap lingkungan
hidup dan pembangunan berkelanjutan. WBCSD merintis pengembangan CSR sejak
tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Pada saat itu WBCSD menyadari adanya
reputasi korporasi yang buruk yang menimbulkan berbagai aksi yang merugikan
korporasi, seperti pemboikotan terhadap produk layanan perusahaan, penyerangan
terhadap asset perusahaan, kegagalan memperoleh pegawai yang bermutu dan
kehilangan dukungan dari pegawai,
tambahan biaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu, pembatasan operasi dalam bentuk peraturan perundangan
yang baru, hambatan memperoleh pembiayaan, dan
lain-lain.
Masyarakat menuntut perusahaan
berperilaku lebih etis dan bertanggungjawab. Mempertahankan reputasi sebagai
perusahaan yang etis dan bertanggung
jawab penting bagi perusahaan untuk mendapat persetujuan dari masyarakat sehingga dapat beroperasi.
Selanjutnya, untuk dapat meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang, perusahaan harus menjamin bahwa tidak terjadi konflik dengan
masyarakat dan bahkan dapat mengupayakan agar memperoleh manfaat yang nyata.
Hal ini dapat terjadi jika perusahaan mampu menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan
dari para pemangku kepentingan, tidak sekedar pemenuhan kebutuhan pemegang
saham. Dengan demikian, pertanggungjawaban sosial merupakan hal yang penting
bagi penciptaan nilai untuk pemegang saham. WBCSD menyarankan beberapa prinsip
yang dapat digunakan dalam perumusan strategi,
yaitu:
·
Pembangunan kapasitas (capacity
building) dari masyarakat sehingga dapat membentuk modal sosial (social capital)
·
Pembangunan kemitraan (partnership building) dengan perusahaan lain dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat
·
Kerjasama dalam bidang
teknologi, sebagai
bagiandari pembangunan kapasitas dan pembangunan kemitraan.
·
Keterbukaan dan transparansi untuk mengkomunikasikan bukti-bukti prilaku perusahaan yang bertanggung
jawab.
2)
Global Corporate Citizenship dari World Economic Forum CEOs
Sekitar 44 pimpinan perusahaan terkemuka
yang tergabung dalam gugus tugas
dari World Economic Forum CEOs pada
tahun 2002 membuat suatu pernyataan bersama bahwa komitmen mereka untuk menjadi
global corporate citizen sama dengan komitmen mereka menjalankan bisnis.
Artinya, menjalankan usaha yang bertanggung jawab harus melebihi dari kegiatan filantropi dan harus
terintegrasi dengan strategi dan praktik usaha inti mereka. Mereka menyadari
bahwa kunci keberhasilan menjadi global corporate citizen adalah hubungan yang baik dengan para pemangku kepentingan
utama. Mereka merekomendasikan suatu Framework for Action untuk pimpinan
perusahaan sebagai penanggung jawab akhir penerapan Corporate Citizenship. A
Framework for Action yang direkomendasikan adalah :
1.
Provide Leadership: tetapkan arah
stratejik untuk corporate citizenship dan terlibat dalam perdebatan mengenai
globalisasi dan peran dunia usaha dalam pembangunan
a.
Artikulasikan maksud dan tujuan,
prinsip, dan nilai-nilai kepada pihak internal dan eksternal perusahaan
b.
Promosikan contoh-contoh implementasi yang baik
c.
Terlibat diskusi dengan sektor
keuangan untuk peningkatan kesadaran mengenai pentingnya masalah sosial dan
lingkungan hidup
d.
Ikuti perdebatan globalisasi dan peran dunia usaha
dalam pembangunan
2.
Define What It Means For Your
Company: definisikan isu kunci,
pemangku kepentingan dan cakupan pengaruh yang
relevan bagi perusahaan dan industri.
a.
Definisikan isu kunci, yang terdiri
dari Good Corporate governance & Ethics (termasuk ketaatan terhadap hukum
peraturan, dan standar internasional, upaya pencegahan tindak penyuapan dan
korupsi, dan isu etika lainnya),
tanggung jawab terhadap manusia (termasuk hak konsumen dan pekerja), tanggung
jawab terhadap lingkungan dan kontribusi yang lebih luas kepada pembangunan
(termasuk menjalin hubungan dengan pengusaha lokal,
pemberian akses produk dan layanan kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu).
b.
Tetapkan cakupan pengaruh (spheres
of influence) perusahaan, yang dapat meliputi kegiatan inti usaha (core
business), masyarakat lokal, asosiasi
industri, dan kebijakan publik.
c.
Identifikasi pemangku kepentingan
kunci untuk mengkomunikasikan isu-isu sosial, etika, dan lingkungan. Pemangku
kepentingan kunci utama adalah investor, pelanggan, dan pegawai. Pemangku
kepentingan lainnya dapat meliputi mitra bisnis, asosiasi industri, masyarakat lokal, serikat pekerja, LSM, institusi
riset dan pendidikan, media, lembaga
pemerintahan, lembaga internasional dan lain sebagainya.
3.
Make It Happen: Mengembangkan dan
melaksanakan kebijakan dan prosedur yang memadai,
terlibat dalam dialog dan kemitraan dengan pemangku kepentingan untuk
menyatukan corporate citizenship ke dalam strategi dan operasi perusahaan.
a.
Menjadikan corporate citizenship
dalam agenda pimpinan perusahaan, misalnya dengan menciptakan kebijakan dan
struktur yang mengawasi penyatuan
corporate citizenship ke dalam strategi dan operasi perusahaan dan memantau
kinerja sosial dan lingkungan.
Struktur dapat berupa: komite yang bertanggung
jawab terhadap Direksi dan Komisaris, external advisory panel, pemilihan
komisaris dengan komposisi yang mencerminkan keragaman latar belakang.
b.
Menciptakan sistem kinerja dan
insentif yang menjabarkan tujuan dan nilai-nilai perusahaan
c.
Terlibat dalam dialog dan kemitraan dengan pemangku kepentingan.
d.
Mendorong inovasi dan kreatifitas,
melalui insentif dan dukungan, untuk menciptakan operasi perusahaan yang ramah lingkungan.
e.
Menyiapkan calon-calon pimpinan
usaha di masa depan, dengan mengintegrasikan corporate citizenship ke dalam
kegiatan mentoring dan coaching dan program pengembangan eksekutif, mendorong sekolah bisnis untuk mengajarkan dan meneliti corporate
citizenship dan menjadi role model bagi mahasiswa sekolah bisnis.
4.
Be Transparent About It: membangun
keyakinan pemangku kepentingan dengan mengkomunikasikan prinsip, kebijakan, dan
operasi perusahaan secara transparan dan tidak
berlebihan.
a.
Kesepakatan mengenai apa dan
bagaimana mengukur kinerja perusahaan dengan pihak internal: pegawai dan mitra
bisnis, dan dengan berkonsultasi dengan pemangku kepentingan dari pihak di luar
perusahaan.
b.
Mengembangkan program untuk
pelaporan kepada pihak eksternal secara reguler dan konsisten mengenai tahapan
komitmen kepada corporate citizenship, dan jika terjadi permasalahan, diskusi
yang terbuka dan tepat waktu penting dilakukan untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan.
c.
Realistis untuk mengatur kecepatan
dan mengelola harapan melalui kesepakatan dalam strategi yang jelas, jadual, dan roadmaps untuk
implementasi komitmen kepada corporate citizenship.
3)
UN Global Impact
UN Global Impact merupakan inisiatif
yang diciptakan oleh PBB untuk mempromosikan corporate citizenship. PBB
menginginkan keterlibatan perusahaan swasta untuk memecahkan beberapa masalah
sosial dan lingkungan yang diakibatkan
oleh globalisasi. Perusahaan diharapkan dapat berkontribusi secara sukarela
melalui organisasi dan supply chain- nya. Latar belakang inisiatif ini adalah
terjadinya meningkatnya gerakan penolakan globalisasi sepanjang tahun 1990an.
Gerakan anti globalisasi ini menolak kemungkinan perusahaan untuk bergerak
bebas di pasar bebas dan globalisasi produksi dengan pengorbanan lingkungan
hidup, tenaga kerja dan hak asasi manusia. Inti dari Global Impact adalah
sepuluh prinsip yang dikembangkan
berdasarkan konvensi dan kesepakatan internasional terhadap hak asasi manusia,
tenaga kerja, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan anti korupsi.
Global Impact mengupayakan agar sepuluh
prinsip ini menjadi bagian yang terintegrasi dari strategi dan operasi
perusahaan. Sepuluh prinsip tersebut adalah:
1. Perusahaan
harus mendukung dan menghargai perlindungan terhadap hak asasi manusia yang
berada pada cakupan pengaruhnya, dan
2. Harus menjamin
mereka tidak terlibat dalam pelanggaran HAM
3. Perusahaan
harus menjamin kebebasan berserikat dan menghargai hak untuk berunding bersama,
4. Menghilangkan
segala bentuk kerja paksa dan wajib (forced
and compulsory labour),
5.
Menghapus tenaga kerja di bawah umur, dan
6. Menghilangkan
diskriminasi dalam kepegawaian dan pekerjaan.
7. Perusahaan harus mendukung pendekatan pencegahan terhadap tantangan lingkungan;
8. Melakukan inisiatif untuk mempromosikan tanggung jawab lingkungan yang lebih besar, dan
9. Mendorong pengembangan dan penyebaran teknologi ramah lingkungan.
10. Perusahaan
harus bekerja melawan korupsi dalam segala bentuknya, termasuk pemerasan dan penyuapan.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat, dikenal
nilai-nilai dan norma-norma etis.Begitu juga pada dunia bisnis pada
umumnya.Bisnis perlu mengenal dan memperhatikan etika.Dalam dunia persaingan
yang ketat, bisnis yang berhasil adalah bisnis yang memprhatikan nilai-nilai
moral.Jadi antara etika dan bisnis ada relevasinya.Adanya persaingan yang ketat
antara pelaku usaha dan adanya prinsip ekonomi untuk memperoleh kaentungan
sebesar-besarnya, membuat para pelaku bisnis bertindak tidak jujur. Oleh karena
itu membangun etika dalam sebuah bisnis sangat dibutuhkan agar skandal-skandal
yang terjadi selama ini dapt dikurangi dan dapat memberikan kepercayaan kepada
masyarakat bahwa sebuah bisnis tersebut dijalanakan dengan jujur dan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Tanpa nama. 2018. Makalah Etika Bisnis. https://simba- corp.blogspot.com/2018/12/makalah-etika-bisnis.html.
6 Maret 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar