IKSHAN HASAN

LightBlog

Breaking

TGM

loading...
loading...

Jumat, 13 Maret 2020

Makalah Lingkungan Etika dan Akuntansi (Etika Bisnis & Profesi Akuntan)



BAB I PENDAHULUAN

 

Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan atau lebih tepatnya keuntungan adalah hal yang pokok bagi kelangsungan bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk. Pertama, keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan, tidak ada ivestor yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang menjamin kemakmuran nasional. Ketiga, keuntungan memungkinkan perusahaan untuk tidak hanya bertahan  melainkan juga dapat menghidupi karyawan-karyawannya.
Dalam bisnis yang modern ini, para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang yang profesional di bidangnya. Mereka dituntut mempunyai keahlian dan keterampilan bisnis yang melebihi keterampilan dan keahlian bisnis orang kebanyakan lainnya. Kaum profesional bisnis ini dituntut untuk memperlihatkan kinerja tertentu yang berada diatas rata-rata kinerja pelaku bisnis amatir. Kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek bisnis, manajerial, dan organisasi teknis murni, melainkan juga menyangkut aspek etis. Kinerja yang menjadi prasyarat keberhasilan bisnis ini juga menyangkut komitmen moral, integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, dan sikap mengutamakan mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan (stakeholder), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam sebuah perusahaan.
Dalam persaingan bisnis yang ketat, para pelaku bisnis sadar bahwa perusahaan yang unggul bukan hanya perusahaan perusahaan yang mempunyai kinerja bisnis yang baik, melainkan juga perusahaan yang mempunyai kinerja etis, etos yang baik. Hanya perusahaan yang mampu melayani kepentingan semua pihak yang berbisnis dengannya, mempertahankan mutu, mampu memenuhi permintaan pasar dengan tingkat harga, kualitas, dan waktu yang tepat yang akan menang. Hanya perusahaan yang mampu menawarkan barang dan jasa sesuai dengan apa yang dianggapnya baik dan diterima masyarakat itulah yang akan berhasil dan bertahan lama.

         Rumusan Masalah
1.   Bagaimana Praktik bisnis yang tidak beretika?
2.   Apa saja Skandal korporasi ?
3.   Bagaimana lingkungan etika di Indonesia?
4.   Apa saja tuntutan masyarakat terhadap bisnis?
5.   Apa saja Inisiatif Untuk Menciptakan Bisnis yang Bertanggungjawab dan Berkelanjutan?

         Tujuan penyusunan makalah
1.     Untuk mengetahui praktik bisnis yang tidak beretika
2.     Untuk mengetahui apa saja skandal korporasi yang terjadi
3.     Untuk mengetahui lingkungan etika di Indonesia
4.     Untuk mengetahui apa saja tuntutan masyarakat terhadap bisnis
5.     Untuk mengetahui inisiatif untuk menciptakan bisnis yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.


BAB II PEMBAHASAN



         Praktik bisnis tidak beretika
Adam Smith percaya bahwa peran bisnis melalui pasar persaingan bebas akan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera. Perusahaan berlomba- lomba menciptakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dengan lebih murah dan lebih baik. Dengan persaingan dan motif untuk mendapatkan keuntungan maka akan terjadi proses produksi barang dan jasa yang lebih baik. Sebagian besar produk-produk kemajuan peradaban dunia merupakan produk yang dihasilkan oleh bisnis. Namun harapan Adam Smith tidak sepenuhnya terwujud, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat yang diakui sebagai negara yang konsisten menerapkan kebijakan persaingan bebas dan mendorong peran bisnis dalam perekonomian. Pada tahun 1920an, banyak perusahaan yang melakukan manipulasi laporan keuangan yang kemudian mendorong optimisme yang berlebihan dari pasar modal dan berakhir dengan kepanikan, market crash, dan depresi ekonomi yang berkepanjangan.
Pada tahun 1990an investor institusional mulai terlibat dalam  pengendalian perusahaan. Mereka antara lain mengubah sistem remunerasi eksekutif yang sebelumnya berbasis ukuran menjadi berbasis kinerja, yang kemudian menjadi kompensasi berbasis ekuitas dalam bentuk stock option. Stock option ini menjadi instrumen yang ampuh untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang saham. Eksekutif terdorong untuk menunjukkan kinerjanya yang mengesankan pasar, sehingga harga saham perusahaan terus mengalami kenaikan dan mereka memperoleh keuntungan dari kenaikan harga saham tersebut. Pertumbuhan dan laba merupakan dua kriteria kinerja yang paling populer digunakan. Dua kriteria ini harus dipenuhi oleh setiap perusahaan dengan kinerja yang mengalahkan estimasi analis sehingga harga saham perusahaan akan terus meningkat. Angka pertumbuhan perusahaan yang lebih tinggi dibandingkan pesaing mencerminkan kemenangan dan keunggulan daya saing perusahaan. Dengan pertumbuhan yang lebih tinggi, perusahaan akan menjadi lebih besar sehingga lebih mudah menarik pembeli, dan lebih memiliki posisi tawar untuk menekan pemasok, penyandang dana, dan sumberdaya manusia  dibandingkan  perusahaan pesaing yang lebih kecil. Permasalahannya adalah bisnis tidak dapat mengharapkan pertumbuhan dengan melayani kebutuhan manusia saja, karena kebutuhan manusia terbatas. Sementara itu persaingan semakin ketat karena jumlah perusahaan bertambah dengan pemain-pemain baru.

Perusahaan kemudian mencoba mencari celah untuk pertumbuhan dengan berbagai cara.
1)    Cara pertama adalah melalui penciptaan keinginan manusia, karena keinginan manusia tidak terbatas dan dapat diupayakan untuk selalu muncul keinginan baru.
Perusahaan berlomba-lomba menciptakan produk-produk baru  yang pada akhirnya menimbulkan keinginan-keinginan baru di dalam masyarakat. Selain bersaing dalam produk baru, perusahaan juga harus bersaing untuk menjadi yang pertama di pasar dan bersaing untuk merebut konsumen pertama. Hal ini berdampak negatif ketika perusahaan rokok memperebutkan anak-anak belasan tahun untuk menjadi konsumen pertama mereka dan akibat persaingan ini semakin lama anak-anak yang diperebutkan semakin muda (kecil). Sebelum dilarang, mereka membuat iklan dan acara-acara musik yang ditujukan untuk anak-anak yang relatif muda. Perusahaan berusaha menciptakan keinginan melalui iklan dan promosi yang mengakibatkan masyarakat seakan dikepung dan dibombardir oleh iklan dan promosi, mulai dari koran dan majalah, radio dan televisi, papan reklame, film, pembicaraan dan penampilan selebriti, teman dan tetangga, rancangan toko-toko, SMS dan email, dan lain-lain.
Selain melalui iklan dan promosi, perusahaan juga mendorong konsumerisme melalui conspicuous consumption, konsumsi dengan tujuan utama untuk memamerkan kekayaan dan status sosial, dan invidious consumption, konsumsi yang diniatkan untuk menimbulkan rasa cemburu (envy). Conspicuous consumption menyebabkan seseorang diterima dalam kelompok elite atau kelompok terkaya di dalam masyarakat. Sementara itu invidious consumption berlangsung secara berkelanjutan karena di antara anggota kelompok elite ini terjadi juga perlombaan, untuk membuat cemburu satu sama lain.

2)    Dalam persaingan, perusahaan berupaya mempertahankan pelanggannya menciptakan pasar baru dan merebut pelanggan pesaing.
Untuk memperoleh kekuasaan, perusahaan berupaya mematikan atau mengakuisisi pesaing-pesaingnya. Larry Ellison, pendiri Oracle dan salah seorang legenda bisnis Amerika, menyukai kutipan dari Genghis Khan: “It’s not sufficient I succeed. Everyone else must fail.” Secara tradisional, arena utama persaingan adalah harga, walaupun bukan berarti perusahaan harus berlomba-lomba untuk memberikan harga terendah. Perusahaan membutuhkan keleluasaan untuk mengelola harga. Untuk itu efisiensi dan produktivitas merupakan kunci keunggulan. Sumber daya manusia sering merupakan objek utama dalam peningkatan efisiensi dan produktivitas.
Berbagai upaya dilakukan dalam mengelola buruh, mulai dari spesialisasi dan division of labour, sampai bentuk-bentuk time and motion study, membagi kegiatan sekecil-kecilnya agar dapat dikerjakan lebih mudah, lebih cepat dan lebih tepat. Upaya ini dikritik sebagai penekanan buruh untuk bekerja seperti mesin.

3)    Selanjutnya dikembangkan berbagai cara untuk meningkatkan efisiensi, seperti dengan cost reduction program, downsizing, lean and mean organization, activity based management dan cost management systems, sampai dalam bentuk menggantikan tenaga kerja dengan mesin dan teknologi informasi serta dilakukannya outsourcing.
Dalam era globalisasi sekarang ini outsourcing diberikan kepada negara- negara di mana tenaga kerja melimpah dan infrastruktur hukum masih terbatas, sehingga upahnya jauh lebih murah dan tidak memiliki daya tawar terhadap perusahaan yang mempekerjakannya. Bahkan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruh di bawah umur untuk mengejar biaya yang lebih rendah. Untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas, pertumbuhan bukan berarti penambahan lapangan pekerjaan di negaranya. Untuk mengejar pertumbuhan perusahaan bahkan mengurangi kesempatan kerja.

4)    Perusahaan melakukan externalizing cost
Externalizing cost Yaitu membebankan biaya pada para pemangku kepentingan, termasuk pembebanan biaya kepada konsumen (misalnya biaya kesehatan dan keselamatan konsumen, biaya pelayanan konsumen), kepada pekerja (misalnya biaya kesehatan dan keselamatan pekerja, biaya pesangon), kepada pemerintah dan masyarakat di sekitarnya (misalnya biaya pengelolaan limbah), kepada pemerintah dan masyarakat negara lain (misalnya biaya pembuangan limbah industri), dan lainlain. Mengejar pertumbuhan yang berlebihan malah menimbulkan biaya bagi konsumen, pemerintah dan masyarakat.

         Skandal korporasi
Skandal korporasi di Amerika dapat ditelusuri pada tahun 1920an di saat perekonomian mengalami kemakmuran. Pasar modal yang sedang booming pada saat itu, ternyata ditopang oleh aksi spekulasi dari investor dan manipulasi laporan keuangan oleh emiten, yang pada akhirnya terjadi market crash dan depresi ekonomi. Salah satu perusahaan pelaku manipulasi laporan keuangan yang terkenal adalah McKesson & Robbins yang kasusnya terungkap pada akhir tahun 1930an. Setelah itu, dunia usaha di Amerika Serikat menjadi saksi berbagai skandal korporasi yang terjadi sejak tahun 1970an, setelah masa-masa keemasan perekonomian Amerika setelah Perang Dunia II berakhir.
1)    Skandal Suap
Skandal penyuapan Lockheed terungkap pada tahun 1975, ketika sebuah sub-committee di Senat berhasil menemukan serangkaian suap senilai $22 juta yang dilakukan oleh Lockheed Aircraft Corporation kepada pejabat tinggi di berbagai negara, antara lain kepada Pangeran Benhard dari Belanda antara tahun 1961 dan 1972, pendiri LDP (Liberal Democratic Party)  Yoshio Kodama dan perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang, anggota parlemen dari Jerman Barat, dan politikus Partai Kristen Demokrat di Italia. Padahal sebelumnya Lockheed mengalami masalah keuangan dan nyaris bangkrut pada tahun 1971 jika tidak secara kontroversial diselamatkan oleh Pemerintah dengan memberikan jaminan atas pinjaman sebesar $250 juta. Akibat dari skandal Lockheed ini, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan Foreign Corrupt Practices Act pada tahun 1977 yang melarang perusahaan Amerika untuk terlibat dalam kegiatan korupsi di luar negeri.

2)    Skandal Insider Trading
Setelah terjadinya skandal suap, pada akhir tahun 1980an, terjadi skandal insider trading dari tiga serangkai Dennis Levine, Ivan Boesky, dan Michael Milken serta investment bank Drexel Burnham Lambert. Terungkapnya skandal ini berawal dari ditangkapnya Dennis Levine, managing director dari Drexel Burnham Lambert pada Maret 1986. Levine mengaku bersalah dan membayar denda sebesar $12,6 juta. Pengakuan Levine menyeret Ivan Boesky, seorang arbitrageur yang terkenal dengan keberhasilannya memperoleh $200 juta dari pengambilalihan The Beverly Hills Hotel setelah kematian mertuanya yang telah menjalankan perusahaan tersebut selama 25 tahun. Boesky juga mengaku bersalah dan membayar denda yang sangat besar kepada SEC sebesar $100 juta.
Setelah pengakuan Levine dan Boesky, sepanjang tahun 1987 dan 1988, SEC dan Kejaksaan New York Selatan terus mengejar Drexel Burnham Lambert dengan menggunakan Racketeer Influenced and Corrupt Organization Act (RICO) yang sebetulnya untuk menuntut kejahatan terorganisir. Akhirnya pada Desember 1988, Drexel menyerah dan mengaku bersalah. Mereka membayar denda sebesar $650 juta. Dalam proses penuntutan, terungkap kecurangan yang dilakukan oleh Michael Milken. Milken adalah tokoh Wall Street yang dikenal sebagai pencipta junk bond, suatu surat berharga yang memberikan hasil dan risiko yang tinggi karena untuk membiayai hostile take over dan usaha kecil menengah. Milken mengaku bersalah. Ia dihukum 10 tahun penjara dengan denda sebesar $600 juta.

3)    Skandal Manipulasi Laporan Keuangan
Korporasi Amerika Sepanjang tahun 1990, pasar modal Amerika Serikat kembali mengalami masa keemasan dengan semakin banyaknya dana dari investor institusi yang menanam modalnya ke perusahaan yang tercatat pada pasar modal. Namun, seperti yang terjadi pada tahun 1920an, pasar modal ini ternyata ditopang oleh manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh banyak korporasi Amerika. Kasus ini baru terbongkar pada awal periode 2000an dengan Enron sebagai skandal yang terbesar. Enron awalnya merupakan perusahaan yang mempesona. Dalam tempo sepuluh tahun pendapatan Enron meningkat hampir 20 kali lipat dari $5,5 milyar menjadi
$100,8 milyar dan dalam 10 tahun, antara tahun 1991-2000, dengan puncak tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1999-2000, dari $40,1 milyar menjadi $100,8 milyar. Mereka mengklaim keberhasilannya bersumber dari inovasi yang mereka lakukan, terutama inovasi model bisnis. Jeffrey Skilling, CEO Enron, yang merupakan alumni dari Harvard Business School dan McKinsey menjadi idola para mahasiswa sekolah bisnis dan Enron menjadi pilihan tempat kerja utama bagi alumni sekolah bisnis.
Belakangan terbongkar bahwa pertumbuhan Enron lebih didukung oleh pemanfaatan celah dalam perlakuan akuntansi yang menggelembungkan pendapatan dan menyembunyikan hutang. Namun akhirnya Enron terjebak oleh pertumbuhan semu yang diciptakan. Hanya dalam tempo satu setengah bulan setelah pengungkapan kerugian, Enron mengalami kebangkrutan bersama dengan Kantor Akuntan Publik terbesar di dunia Arthur Andersen. Dan sepanjang awal tahun 2000an, terungkap berbagai skandal akuntansi yang dilakukan oleh corporate America, termasuk Xerox, Adelphia, AOL, Bristol-Myers Squibb, Freddie Mac, Kmart, Sunbeam, Tyco International dan WorldCom. Akibat dari skandal korporasi Amerika ini, pemerintah Amerika mengeluarkan Sarbanes–Oxley Act yang mengatur lebih lengkap profesi akuntan dan tanggung jawab eksekutif atas laporan keuangan perusahaan.
4)    Skandal Industri Keuangan
Tidak sampai 10 tahun setelah skandal manipulasi laporan keuangan korporasi Amerika, dunia usaha Amerika harus menghadapi skandal yang lebih besar lagi yang membawa perekonomian global mengalami krisis. Skandal kali ini dilakukan oleh industri keuangan melalui dua kegiatan yang sangat spekulatif dan merugikan, yaitu :

a)  Predatory lending adalah pemberian kredit kepada orang-orang yang sebetulnya tidak memiliki akses kredit karena kurang memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Kredit ini yang dikenal dengan subprime mortgage. Penyaluran subprime mortgage ini memberikan keuntungan yang lebih besar dengan membebankan bunga yang lebih tinggi, sementara itu risiko kredit dialihkan melalui sarana sekuritisasi asset melalui produk derivatif yang disebut Collateralized Debt Obligations (CDO). Semakin tinggi risiko kegagalan semakin disukai karena tingkat bunga dapat dibebankan semakin tinggi. Untuk itu lembagalembaga kredit ini bahkan melakukan rekayasa untuk membuat kreditor yang tidak layak tetap dapat memperoleh kredit.
b)  Credit Default Swap (CDS) adalah produk yang dikembangkan oleh AIG, perusahaan asuransi terbesar di dunia, untuk melindungi pemilik CDO dari risiko kegagalan kredit. Sebagai produk derivatif, AIG dapat menjual produk juga kepada bukan pemilik CDO. Walaupun tidak memiliki CDO dan tidak mengalami kerugian atas kegagalan CDO, para pembeli CDS ini akan memperoleh ganti rugi jika terjadi kegagalan pembayaran CDO. Dengan demikian, kerugian yang dihadapi oleh orang lain akan merupakan keuntungan bagi mereka. Sebaliknya, jika tidak terjadi kegagalan CDO, maka mereka akan kehilangan uangnya. Mereka seakan-akan berjudi atas risiko yang dihadapi orang lain.

AIG tidak melakukan “reasuransi” atas CDS yang dikeluarkan karena CDS bukan produk asuransi. AIG menggunakan dana hasil penjualan CDS untuk membayar bonus yang besar kepada pegawainya yang berhasil menjual CDS. Dengan demikian, sebetulnya AIG menghadapi risiko puluhan, ratusan atau ribuan kali risiko asuransi, tergantung dari jumlah pembeli CDS, dan tidak ada alokasi dana untuk membayar kerugian yang mungkin terjadi. Mereka mengandalkan penjualan CDS tahun berikutnya yang diharapkan semakin besar dan pada akhirnya menciptakan semacam ponzi scheme. Dengan berjalannya waktu, kredit-kredit berisiko tinggi mulai mengalami kemacetan dan pada tahun 2008 kredit macet dan penyitaan jaminan rumah meledak. Lembaga peminjaman tidak dapat menjual kreditnya kepada investment bank. Dengan semakin banyaknya kredit macet dan jaminan yang tidak dapat dilikuidasi, banyak lembaga peminjaman yang bangkrut. Selanjutnya pasar CDO kolaps.
Investment bank terjebak dalam pinjaman yang sangat besar, CDO, dan jaminan rumah yang tidak dapat dijual. Maret 2008, investment bank Bear Stearns menghadapi krisis likuiditas dan diakuisisi oleh JP Morgan Chase dengan harga yang sangat murah dan dibiayai oleh dana jaminan darurat dari Federal Reserve. September 2008, Menteri Keuangan Henry Paulson, mantan CEO Goldman Sachs, mengumumkan Bank Sentral mengambil alih Fannie Mae dan Freddie Mac, dua lembaga pemberi kredit pemilikan rumah. Dua hari kemudian, Lehman Brothers mengumumkan kerugian sebesar US$3,2 miliar. Kurang dari seminggu kemudian, pada hari Jumat tanggal 12 September 2008, Lehman Brothers dan Merril Lynch mengalami kesulitan likuiditas. Merril Lynch berhasil diselamatkan oleh Bank of America, sementara itu hanya Barclay’s Bank dari Inggris yang tertarik mengakuisisi Lehman Brothers.
Pemerintah Amerika menanggapi skandal ini dengan mengeluarkan Dodd–Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act yang dianggap lemah karena tidak ada pengaturan mengenai lembaga rating, lobbying dan kompensasi eksekutif, sebagaimana yang diharapkan sebelumnya. Sementara itu, tidak ada eksekutif lembaga keuangan yang ditangkap dan diadili atas tuduhan melakukan kecurangan dan tidak ada upaya untuk menggugat kompensasi yang diberikan kepada para eksekutif. Situasi status quo ini tidak terlepas dari kekuatan lobby yang dilakukan oleh para pelaku industri keuangan. Sebelum krisis, mereka menyediakan dana sebesar lebih dari US$5 miliar untuk lobbying dan dana kampanye. Setelah krisis mereka mengalokasikan dana yang lebih besar. Mereka juga mempekerjakan 3000 lobbyist, lebih dari lima orang untuk setiap anggota Kongres untuk melawan upaya-upaya reformasi. Setelah krisis ternyata investment bank semakin besar karena mengakuisisi bank-bank kecil yang bermasalah dan semakin berkuasa melalui kekuatan lobby-nya.

5)    Skandal Korporasi di Asia
Pada tahun 2009 terjadi skandal kegagalan Corporate Governance pada perusahaan Satyam di India. Sebelumnya perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan yang melaksanakan praktik Corporate Governance yang baik dengan memenangkan berbagai penghargaan Good Corporate Governance. Perusahaan ini memiliki 9 orang BOD, di mana 6 orang di antaranya merupakan independent director. Di antara ke enam independent director tersebut, dua orang merupakan akademisi dan salah satunya adalah profesor dari Harvard Business School. Independent director lainnya antara lain seorang konsultan internasional dan mantan pejabat tinggi negara.
Kerugian Olympus dapat ditelusuri dari awal tahun 1990an ketika perusahaan banyak melakukan investasi pada produk derivatif dan investasi berisiko lainnya untuk mempertahankan laba. Ketika itu penjualan perusahaan-perusahaan Jepang mengalami penurunan akibat penguatan nilai Yen. Namun upaya untuk mempertahankan laba malah menghasilkan kerugian yang lebih besar. Untuk mengatasi kerugian ini, Olympus melakukan strategi pertumbuhan melalui merjer dan akuisisi dengan secara intensif melakukan akuisisi berbagai perusahaan. Permasalahannya adalah informasi mengenai transaksi akuisisi dan pendanaannya dilakukan secara terbatas pada pimpinan Perusahaan di kelompok keuangan dan terkesan rahasia. Karena itu, ketika Michael Woodford, seorang executive managing director dari Olympus Medical Systems Europe, diangkat sebagai Presiden merangkap COO pada bulan April 2011, ia terkejut mendapati adanya transaksi akuisisi yang tidak diketahuinya terhadap sebuah perusahan produsen alat kesehatan Gyrus Group di Inggris yang seharusnya menjadi cakupan wilayah kerjanya.
Woodford mengajukan banyak pertanyaan kepada Kikugawa yang menjadi Presiden Olympus pada saat terjadinya akuisisi-akuisisi tersebut. Namun banyak yang tak terjawab. Woodford merencanakan untuk mengundurkan diri, namun Olympus berupaya menahannya dengan mengangkatnya menjadi CEO pada 1 Oktober 2011. Pengangkatan ini tidak menghentikan Woodford untuk terus melakukan penyelidikan. Ia bahkan menunjuk Kantor Akuntan PricewaterhouseCoopers (PwC) untuk melakukan investigasi atas transaksi akuisisi tersebut. Dua minggu kemudian, pada tanggal 14 Oktober 2011, ia diberhentikan dan diganti oleh mantan Presiden Olympus terdahulu, Tsuyoshi Kikukawa. Setelah pengakuan Takayama, Olympus memasuki babak baru. Harga saham semakin jatuh, turun sebanyak 80% pada akhir Desember. Saham Olympus berada dalam pengawasan khusus dan terancam delisting pada Tokyo Stock Exchange. Olympus diminta untuk segera merevisi Laporan Keuangannya selama 5 tahun dan kantor Olympus digeledah oleh kejaksaan. Olympus harus bersiap menghadapi tuntutan hukum dari lembaga penegak hukum di Jepang, Inggris dan Amerika Serikat. Sementara itu, tim independen, menemukan terdapat kerusakan moral (rotten to the core) pada Kikugawa dan beberapa eksekutif, yang menular kepada orang-orang di sekitarnya.

         lingkungan etika di Indonesia
Peran pemerintah di Indonesia relatif lebih besar dibandingkan peran bisnis. Lembaga pasar modal masih relatif belum terinstitusionalisasi. Sebagian besar bisnis masih merupakan perusahaan keluarga dimana pemegang saham pengendali adalah pendiri perusahaan. Sebagian bisnis menjadi tumbuh berkembang berkat bantuan Pemerintah ataupun hubungan istimewa dengan Pemerintah yang berkuasa. Sebagian bisnis masih tergantung kepada proyek Pemerintah. Risiko dari suatu peranan negara yang besar adalah korupsi. Di Indonesia, korupsi telah terjadi jauh sejak awal kemerdekaannya, di tahun 1950an, dengan pelaku yang berganti-ganti tergantung siapa yang memegang kekuasaan.
·         Pada awal kemerdekaan, Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal di mana politisi sipil yang memegang kekuasaan dan yang melakukan korupsi. sumber korupsi yang besar di masa demokrasi liberal adalah pelaksanaan Program Benteng. Program ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan di dalam perekonomian yang sebelumnya didominasi oleh pengusaha Belanda dan Cina, yaitu dengan dengan mengembangkan pengusaha pribumi melalui pemberian lisensi importir dan fasilitas kredit impor. Dalam kenyataannya sebagian besar lisensi diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh yang berkuasa di birokrasi dan partai yang memiliki kewenangan dalam pemberian lisensi dan kredit. Para pemegang lisensi ini kemudian menjual lisensi dengan harga 200%-250% dari nilai nominalnya dan tidak mengembalikan kredit. Sedangkan pembeli lisensi adalah pengusaha Cina yang sebelumnya telah menjadi importir, sehingga ketika itu dikenal sebutan pengusaha  Ali Baba.
·         Pada paruh kedua Orde Baru muncul turunan baru dari korupsi, yaitu nepotisme, pada saat keluarga pejabat marak menjadi pengusaha. Sebagaimana pengusaha era sebelumnya, mereka berusaha dengan menjadi pemasok Pemerintah, dan kemudian memperoleh lisensi, konsesi, dan kredit. Sebagian dari proyek, lisensi dan konsesi dijual kepada pengusaha lain. Pengusaha yang ingin berkembang harus bermitra dengan mereka. Pada periode ini semakin sulit untuk dibedakan antara lembaga Pemerintah dan perusahaan milik pribadi pejabat pemerintah. Para pejabat berlomba-lomba untuk memajukan bisnis anak-anaknya.
·         Krisis ekonomi dan skandal BLBI adalah skandal terbesar yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dimana Pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar Rp647 triliun, dimana di antaranya sebesar Rp144,5 triliun merupakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). BLBI merupakan bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada perbankan untuk menghadapi penarikan dana besarbesaran dari nasabah. BLBI diberikan kepada 48 bank umum swasta nasional. BLBI kemudian menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah bisnis di Indonesia. Skandal berawal dari temuan audit BPK yang menemukan 59,7% dari dana BLBI tersebut, atau sebesar Rp84,84 triliun tidak digunakan untuk membayar dana nasabah, melainkan untuk membiayai kontrak derivatif, membiayai ekspansi kredit, dan membayar kewajiban kepada pihak terkait. Permasalahan yang lebih besar muncul pada saat Pemerintah kesulitan untuk melakukan penagihan. Pemerintah meminta kesediaan pemilik bank untuk membayar BLBI yang diberikan dengan imbalan akan diberikan pengecualian hukum (release and discharge) atas berbagai pelanggaran yang dilakukan. Jika mereka tidak bersedia, maka BPPN akan melakukan tuntutan hukum. Awalnya pemerintah meminta pemilik bank yang tidak mampu membayar tunai dapat melakukan pengembalian BLBI dengan menyerahkan asetnya, baik berupa perusahaan, saham, aset tetap, dan piutang, melalui perjanjian master settlement and acquisition agreement (MSAA). Pemerintah, melalui BPPN, akan melakukan penjualan atas aset- aset tersebut Pemilik bank awalnya berkeberatan dan mereka baru bersedia menandatangani perjanjian setelah disepakati menggunakan auditor dan konsultan keuangan yang mereka tunjuk. Belakangan terungkap nilai aset yang diberikan digelembungkan. Pemerintah lalu memperbaiki MSAA dengana master refinancing agreement and note issuance agreement (MRNIA), dimana pemilik bank tidak menyerahkan asetnya, tapi hanya menjaminkan. Mereka bertanggung jawab untuk penjualan aset tersebut. Selain itu mereka juga diminta untuk memberikan jaminan pribadi (personal guarantee) jika terjadi kekurangan atas aset yang dijual. Baik dengan MSAA ataupun MRNIA, pemilik bank diwajibkan melunasi utangnya dalam tempo 4 tahun.
·         Kasus lainnya yang melibatkan banyak perusahaan adalah kasus Gayus Tambunan yang terjadi di tahun 2010. Gayus adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan IIIA yang bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Awalnya ia tertangkap karena terlibat tindak pidana pencucian uang akibat pencairan pencairan dana tak wajar sebesar Rp24,6 miliar. Masyarakat terkejut dan marah mengetahui Gayus PNS yang berusia 31 tahun tersebut sudah memiliki uang yang sangat besar, berikut rumah dan mobil mewah. Bahkan belakangan kepolisian mengumumkan telah menemukan dan menyita aset lainnya dari Gayus sebesar Rp74 miliar dalam mata uang asing dan logam batangan yang disimpan di safe deposit box sebuah bank swasta. Dalam persidangan Gayus menyatakan kekayaannya diperoleh dari “membantu” wajib pajak yang tengah dililit masalah di pengadilan pajak, sesuai dengan posisinya yang bertugas di Direktorat Keberatan dan Banding. Selama bekerja di Direktorat Keberatan dan Banding sejak tahun 2007, Gayus menangani sekitar 151 perusahaan dan perorangan dimana 45 ditangani langsung olehnya. Juga tersiar kabar, Gayus membantu perusahaan yang bukan ditanganinya. Selanjutnya dalam repliknya, Gayus mengaku hanyalah ikan teri, dan masih banyak big fish yang belum terkail. Dengan demikian, jika pengakuan Gayus benar, maka sebetulnya akan lebih banyak lagi pegawai pajak dan wajib pajak yang melakukan kecurangan pajak, dan kasus pajak ini dapat menjadi skandal besar yang setara dengan skandal BLBI.
·         Kasus korupsi lain yang ramai dibicarakan adalah kasus jual beli anggaran di DPR. Kasus ini melibatkan beberapa anggota partai politik, dengan Nazarudin, Bendahara Umum Partai Demokrat yang dipecat dari partai pada bulan Juli 2011, sebagai bintangnya. Terdapat dua “pasar” untuk jual beli anggaran ini. Pasar yang pertama adalah pada saat proses persetujuan anggaran yang diajukan oleh Kementerian dan Lembaga Negara. Jual beli angggaran terjadi pada saat pembahasan dengan komisi-komisi di DPR, dalam bentuk mempercepat proses pengisian daftar isian pelaksanaan anggaran dan tambahan anggaran yang melebihi usulan Kementerian dan Lembaga. Sedangkan pasar yang kedua untuk transaksi jual beli APBN Perubahan (APBN P). APBN P biasanya berupa anggaran pembangunan infrastruktur yang ditawarkan oleh anggota Badan Anggaran DPR kepada kepala-kepala daerah dan juga pejabat Kementerian. Kepala daerah dan pejabat Kementerian yang tertarik harus segera membayar fee anggaran, walaupun anggaran tersebut belum disetujui. Dalam transaksi jual beli anggaran, kepala daerah bermitra dengan perusahaan yang akan melaksanakan proyek dari anggaran tersebut. Dapat pula terjadi, perusahaan pelaksana proyek sudah disediakan oleh anggota DPR. Pengusaha tersebut sudah dipastikan akan menang dalam tender proyek. Perusahaan yang biasanya membayar fee anggaran, baik kepada anggota DPR maupun kepada kepala daerah atau pejabat Kementerian.

         Tuntutan masyarakat terhadap bisnis
Beberapa permasalahan global yang terjadi membuat penderitaan dan menimbulkan perubahan dalam tata kehidupan manusia. Situasi ini mendorong masyarakat untuk menuntut akuntabilitas dan tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih besar.
a)                 Masalah Pencemaran Lingkungan: Pemanasan Global dan Krisis Energi Dampak dari pemanasan global dan krisis energi semakin dirasakan
oleh semakin banyak orang dan dikhawatirkan semakin memburuk jika tidak dilakukan perubahan. Perusahaan yang bergerak di industri pembangkit listrik, transportasi, manufaktur dan kehutanan dianggap memiliki kontribusi yang besar dalam emisi CO2. Perusahaan besar mendapat kritik sebagai penyebab terkikisnya hutan, terkurasnya perikanan dan barang tambang, sampai dengan membuang sampah- sampah yang membahayakan lingkungan. Terlebih lagi, beberapa perusahaan tercatat telah menimbulkan malapetaka besar bagi lingkungan hidup. Contoh klasik tragedi terbesar adalah ledakan pada pabrik pestisida Union Carbide di Bhopal India pada tahun 1984 yang menyebabkan bocornya gas methyl isocyanate yang diperkirakan 500 kali lebih beracun dari sianida. Lebih dari 2.000 orang meninggal dan 200.000 terluka, sebagian besar adalah penghuni liar dari tempat-tempat kosong di sekitar pabrik.
b)                Anti Globalisasi
Gerakan anti globalisasi sering terlihat dalam bentuk demonstrasi pada saat pertemuan KTT yang diselenggarakan oleh WTO, IMF, Bank Dunia, G8 dan organisasi lainnya, mencerminkan sentimen sebagian orang di negara berkembang atas kehadiran perusahaan multinasional melakukan investasi di negaranya. Sentimen ini terutama berdasarkan pada alasan bahwa investasi asing tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Investasi asing memberikan lapangan kerja bagi masyarakat tapi dengan pengorbanan dalam bentuk diskriminasi gaji, pemanfaatan tenaga kerja di bawah umur, pencemaran udara dan kerusakan lingkungan, konsumerisme. Investasi asing juga sering menimbulkan perbenturan budaya. Investasi asing menguras sumber daya alam tanpa memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar. Bahkan sebagian malah menimbulkan biaya sosial dalam bentuk kerusakan lingkungan dari area yang digarap, yang menimbulkan penderitaan fisik seperti penyakit maupun kesulitan mata pencaharian penduduk lokal.

         Inisiatif untuk menciptakan bisnis yang bertanggungjawab dan berkelanjutan
1)       Corporate Social Responsibility dari World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
WBCSD bertujuan untuk menjadi katalisator perubahan dan membantu tercapainya kerjasama yang lebih erat antara dunia usaha, pemerintah dan organisasi lain yang peduli terhadap lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. WBCSD merintis pengembangan CSR sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Pada saat itu WBCSD menyadari adanya reputasi korporasi yang buruk yang menimbulkan berbagai aksi yang merugikan korporasi, seperti pemboikotan terhadap produk layanan perusahaan, penyerangan terhadap asset perusahaan, kegagalan memperoleh pegawai yang bermutu dan kehilangan dukungan dari pegawai, tambahan biaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu, pembatasan operasi dalam bentuk peraturan perundangan yang baru, hambatan memperoleh pembiayaan, dan lain-lain.
Masyarakat menuntut perusahaan berperilaku lebih etis dan bertanggungjawab. Mempertahankan reputasi sebagai perusahaan  yang etis dan bertanggung jawab penting bagi perusahaan untuk mendapat persetujuan dari masyarakat sehingga dapat beroperasi. Selanjutnya, untuk dapat meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, perusahaan harus menjamin bahwa tidak terjadi konflik dengan masyarakat dan bahkan dapat mengupayakan agar memperoleh manfaat yang nyata. Hal ini dapat terjadi jika perusahaan mampu menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan dari para pemangku kepentingan, tidak sekedar pemenuhan kebutuhan pemegang saham. Dengan demikian, pertanggungjawaban sosial merupakan hal yang penting bagi penciptaan nilai untuk pemegang saham. WBCSD menyarankan beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam perumusan strategi, yaitu:
·   Pembangunan           kapasitas          (capacity building) dari masyarakat sehingga dapat membentuk modal sosial (social capital)
·   Pembangunan           kemitraan        (partnership        building)        dengan perusahaan lain dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat
·   Kerjasama    dalam  bidang teknologi,        sebagai bagiandari pembangunan kapasitas dan pembangunan kemitraan.
·   Keterbukaan            dan      transparansi     untuk mengkomunikasikan bukti-bukti   prilaku perusahaan               yang    bertanggung jawab.
2)       Global Corporate Citizenship dari World Economic Forum CEOs
Sekitar 44 pimpinan perusahaan terkemuka yang tergabung dalam gugus tugas dari World Economic Forum CEOs pada tahun 2002 membuat suatu pernyataan bersama bahwa komitmen mereka untuk menjadi global corporate citizen sama dengan komitmen mereka menjalankan bisnis. Artinya, menjalankan usaha yang bertanggung jawab harus melebihi dari kegiatan filantropi dan harus terintegrasi dengan strategi dan praktik usaha inti mereka. Mereka menyadari bahwa kunci keberhasilan menjadi global corporate citizen adalah hubungan yang baik dengan para pemangku kepentingan utama. Mereka merekomendasikan suatu Framework for Action untuk pimpinan perusahaan sebagai penanggung jawab akhir penerapan Corporate Citizenship. A Framework for Action yang direkomendasikan adalah :
1.   Provide Leadership: tetapkan arah stratejik untuk corporate citizenship dan terlibat dalam perdebatan mengenai globalisasi dan peran dunia usaha dalam pembangunan
a.            Artikulasikan maksud dan tujuan, prinsip, dan nilai-nilai kepada pihak internal dan eksternal perusahaan
b.           Promosikan contoh-contoh implementasi yang baik
c.            Terlibat diskusi dengan sektor keuangan untuk peningkatan kesadaran mengenai pentingnya masalah sosial dan lingkungan hidup
d.           Ikuti perdebatan globalisasi dan peran dunia usaha dalam pembangunan

2.   Define What It Means For Your Company: definisikan isu kunci, pemangku kepentingan dan cakupan pengaruh yang relevan bagi perusahaan dan industri.
a.            Definisikan isu kunci, yang terdiri dari Good Corporate governance & Ethics (termasuk ketaatan terhadap hukum peraturan, dan standar internasional, upaya pencegahan tindak penyuapan dan korupsi, dan isu etika lainnya), tanggung jawab terhadap manusia (termasuk hak konsumen dan pekerja), tanggung jawab terhadap lingkungan dan kontribusi yang lebih luas kepada pembangunan (termasuk menjalin hubungan dengan pengusaha lokal, pemberian akses produk dan layanan kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu).
b.           Tetapkan cakupan pengaruh (spheres of influence) perusahaan, yang dapat meliputi kegiatan inti usaha (core business), masyarakat lokal, asosiasi industri, dan kebijakan publik.
c.            Identifikasi pemangku kepentingan kunci untuk mengkomunikasikan isu-isu sosial, etika, dan lingkungan. Pemangku kepentingan kunci utama adalah investor, pelanggan, dan pegawai. Pemangku kepentingan lainnya dapat meliputi mitra bisnis, asosiasi industri, masyarakat lokal, serikat pekerja, LSM, institusi riset dan pendidikan, media, lembaga pemerintahan, lembaga internasional dan lain sebagainya.

3.   Make It Happen: Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan dan prosedur yang memadai, terlibat dalam dialog dan kemitraan dengan pemangku kepentingan untuk menyatukan corporate citizenship ke dalam strategi dan operasi perusahaan.
a.            Menjadikan corporate citizenship dalam agenda pimpinan perusahaan, misalnya dengan menciptakan kebijakan dan struktur yang mengawasi penyatuan corporate citizenship ke dalam strategi dan operasi perusahaan dan memantau kinerja sosial dan lingkungan. Struktur dapat berupa: komite yang bertanggung jawab terhadap Direksi dan Komisaris, external advisory panel, pemilihan komisaris dengan komposisi yang mencerminkan keragaman latar belakang.
b.           Menciptakan sistem kinerja dan insentif yang menjabarkan tujuan dan nilai-nilai perusahaan
c.            Terlibat dalam dialog dan kemitraan dengan pemangku kepentingan.
d.           Mendorong inovasi dan kreatifitas, melalui insentif dan dukungan, untuk menciptakan operasi perusahaan yang ramah lingkungan.
e.            Menyiapkan calon-calon pimpinan usaha di masa depan, dengan mengintegrasikan corporate citizenship ke dalam kegiatan mentoring dan coaching dan program pengembangan eksekutif, mendorong sekolah bisnis untuk mengajarkan dan meneliti corporate citizenship dan menjadi role model bagi mahasiswa sekolah bisnis.

4.   Be Transparent About It: membangun keyakinan pemangku kepentingan dengan mengkomunikasikan prinsip, kebijakan, dan operasi perusahaan secara transparan dan tidak berlebihan.
a.            Kesepakatan mengenai apa dan bagaimana mengukur kinerja perusahaan dengan pihak internal: pegawai dan mitra bisnis, dan dengan berkonsultasi dengan pemangku kepentingan dari pihak di luar perusahaan.
b.           Mengembangkan program untuk pelaporan kepada pihak eksternal secara reguler dan konsisten mengenai tahapan komitmen kepada corporate citizenship, dan jika terjadi permasalahan, diskusi yang terbuka dan tepat waktu penting dilakukan untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan.
c.            Realistis untuk mengatur kecepatan dan mengelola harapan melalui kesepakatan dalam strategi yang jelas, jadual, dan roadmaps untuk implementasi komitmen kepada corporate citizenship.

3)       UN Global Impact
UN Global Impact merupakan inisiatif yang diciptakan oleh PBB untuk mempromosikan corporate citizenship. PBB menginginkan keterlibatan perusahaan swasta untuk memecahkan beberapa masalah sosial dan lingkungan yang diakibatkan oleh globalisasi. Perusahaan diharapkan dapat berkontribusi secara sukarela melalui organisasi dan supply chain- nya. Latar belakang inisiatif ini adalah terjadinya meningkatnya gerakan penolakan globalisasi sepanjang tahun 1990an. Gerakan anti globalisasi ini menolak kemungkinan perusahaan untuk bergerak bebas di pasar bebas dan globalisasi produksi dengan pengorbanan lingkungan hidup, tenaga kerja dan hak asasi manusia. Inti dari Global Impact adalah sepuluh prinsip yang dikembangkan berdasarkan konvensi dan kesepakatan internasional terhadap hak asasi manusia, tenaga kerja, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan anti korupsi.
Global Impact mengupayakan agar sepuluh prinsip ini menjadi bagian yang terintegrasi dari strategi dan operasi perusahaan. Sepuluh prinsip tersebut adalah:
1.  Perusahaan harus mendukung dan menghargai perlindungan terhadap hak asasi manusia yang berada pada cakupan pengaruhnya, dan
2.  Harus menjamin mereka tidak terlibat dalam pelanggaran HAM
3.  Perusahaan harus menjamin kebebasan berserikat dan menghargai hak untuk berunding bersama,
4.  Menghilangkan segala bentuk kerja paksa dan wajib (forced and compulsory labour),
5.  Menghapus tenaga kerja di bawah umur, dan
6.  Menghilangkan diskriminasi dalam kepegawaian dan pekerjaan.
7.  Perusahaan    harus    mendukung    pendekatan   pencegahan    terhadap tantangan lingkungan;
8.  Melakukan     inisiatif     untuk     mempromosikan     tanggung     jawab lingkungan yang lebih besar, dan
9.  Mendorong     pengembangan     dan    penyebaran     teknologi     ramah lingkungan.
10.  Perusahaan harus bekerja melawan korupsi dalam segala bentuknya, termasuk pemerasan dan penyuapan.



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat, dikenal nilai-nilai dan norma-norma etis.Begitu juga pada dunia bisnis pada umumnya.Bisnis perlu mengenal dan memperhatikan etika.Dalam dunia persaingan yang ketat, bisnis yang berhasil adalah bisnis yang memprhatikan nilai-nilai moral.Jadi antara etika dan bisnis ada relevasinya.Adanya persaingan yang ketat antara pelaku usaha dan adanya prinsip ekonomi untuk memperoleh kaentungan sebesar-besarnya, membuat para pelaku bisnis bertindak tidak jujur. Oleh karena itu membangun etika dalam sebuah bisnis sangat dibutuhkan agar skandal-skandal yang terjadi selama ini dapt dikurangi dan dapat memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa sebuah bisnis tersebut dijalanakan dengan jujur dan baik.



DAFTAR PUSTAKA




Tanpa        nama.        2018.        Makalah        Etika        Bisnis.         https://simba- corp.blogspot.com/2018/12/makalah-etika-bisnis.html. 6 Maret 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Iklan Bawah Artikel